“Mau cepat-cepat lulus sekolah biar bisa kuliah.”
“Kuliah itu enak ya, nggak kayak sekolah.”
Pernyataan di atas biasa dilontarkan oleh pelajar-pelajar sekolah menegah atas. Terutama mereka yang akan lulus dari masa belajar wajib 12 tahun. Tidak heran, sebab aku juga pernah berpikir hal yang sama, padahal belum tahu seperti apa realitanya. Di sini aku akan sedikit menceritakan tentang pengalaman di dunia perkuliahan.
Bisa masuk ke kampus impian merupakan keinginan lumrah setiap para pelajar, termasuk aku. Dulu aku mendaftar di salah satu sekolah tinggi pariwisata yang berada di Kota Bandung, Jawa Barat (Jika kalian sefrekuensi denganku, pasti kalian tahu kampus yang aku maksud). Percaya diri sangatlah dibutuhkan, tapi perlu digaris bawahi untuk seleksi kampus yang peminatnya terbilang cukup banyak diminati ini.
Sangat banyak calon mahasiswa dan mahasiswi yang turut serta mendaftar di kampus tersebut. Janganlah overpede, cukup yakin dan berusaha semaksimal mungkin, karena biasanya hasilnya malah diluar ekspetasi kita. Segala upaya telah aku lakukan untuk bisa diterima menjadi seorang mahasiswi di sana, tapi apalah daya rezeki sudah memilih empunya.
Sebelum aku mendaftar dan menjalani berbagai tes persyaratan masuk di kampus tersebut, sebenarnya akupun sudah terlebih dahulu mengikuti pendaftaran program beasiswa di sekolah tinggi pariwisata yang berada di daerah Bintaro, Jakarta Selatan. Tidak terbayang sedikitpun akan diterima kuliah di sana, karena biaya kuliah di kampus tersebut terbilang lumayan mahal. Cukup membuat kantong ingin menjerit melihat nominal yang tertera di kampus tersebut. Namun, aku tetap berusaha supaya aku bisa kuliah. Kemudian melalui program beasiswa 100 persen dari pemerintah falam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itulah yang memberiku semangat dan kemantapan hati untuk menimba ilmu di sana.
“Enak ya, dapat beasiswa, nggak mikirin bayar kuliah.”
“Kakak enak banget, bisa dapat beasiswa seperti itu, uangnya aman”
Oke, aku akui memang keuntungan dari program beasiswa ini sangatlah banyak dan bisa dibilang memudahkan jalanku untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Di samping itu, tak perlu merogoh kocek dalam untuk membayar biaya di setiap semestern. Dengan kata ‘beasiswa’, aku bisa menjadi terlihat beda di sudut pandang orang-orang. Tetapi, apa kalian tahu tanggungjawab seorang penerima beasiswa?
Untuk program beasiswa yang aku tempuh selama perkuliahanku ini, aku dituntut bertanggung jawab atas nilai-nilaiku persemester. Tidak boleh kurang dari syarat yang sudah ditentukan oleh pihak penyelenggara beasiswa di kampusku. Jika nilai di bawah dari batas ketentuan yang telah disepakati, maka beasiswa terancam dicabut. Sebagai penerima beasiswa dituntut untuk aktif bahkan tidak boleh terjadi sesuatu yang tidak diinginkan semasa kuliah sampai dapat menyebabkan drop out (dikeluarkan). Atau dengan kata lain, harus menyelesaikan masa perkuliahan sampai lulus dengan mendapatkan gelar.
Jika tidak dapat mencapai syarat itu, maka akan dikenakan denda. Kira-kira seperti itulah tanggungjawabnya dan masih ada beberapa peraturan lainnya yang harus ditaati juga. Mengapa demikian? Sebab beasiswaku ini memiliki kontrak. Penerima beasiswa akan menandatanganinya, jika setuju dengan semua isi persyaratan dan aturannya, maka aku berhak memperoleh dan mengemban tugas-tugasku sebagai mahasiswi penerima beasiswa.
Belajar mandiri
Sampai di sini, apakah opini kalian tentang dunia perkuliahan sudah berubah? Jika belum, aku akan melanjutkannya di mana aku mendapatkan kesempatan kuliah di Negeri Tirai Bambu.
“Kok bisa kuliah di luar negeri? Enak banget, bisa jalan-jalan! Bisa ngerasain luar negeri dan blablabla.”
Lagi-lagi aku setuju dengan opini tersebut, pengalaman yang didapat ketika kuliah di luar negeri sangatlah banyak. Aku bisa mendapat teman baru, mengenal lingkungan baru, mengetahui suasana dan cuaca yang tidak ada di negaraku, Tanah Air Indonesia. Namun, ketika aku terjun langsung ke negeri tersebut, bisa terbayang bagaimana bingungnya aku untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan penduduk lokal di negara itu? (yang hampir setiap daerahnya memiliki logat yang sangat berbeda-beda).
Belum lagi kondisi harus jauh dari keluarga. Harus pintar mengelola kebutuhan sehari-hari dan yang terpenting dilatih menjadi mandiri. Belum lagi tugas dan kegiatan belajar mengajar yang ternyata hampir 85 persen menggunakan bahasa mandarin, bahasa inggris hanya menjadi selingan saja, karena aku bergabung di kelas yang berisikan mahasiswa lokal, bukan yang berisi mahasiswa Internasional. Dan tidak hanya dilakukan satu atau dua semester, tetapi empat semester (2 tahun). Di program itu satu semester diantaranya, diisi dengan program magang di salah satu hotel yang berada di Kota Shenzhen, China.
Berjuang, berani, mandiri, menghargai waktu, mengelola sesuatu yang nothing menjadi something, itulah yang aku sadari dan aku dapatkan ketika memulai dunia perkuliahan. Tidak bisa hanya dipandang dari sisi enaknya saja, berkhayal memang tidak salah, tetapi di sini berpikir realistis juga diperlukan. Kita tidak pernah tahu mengapa, apa yang dilewati dan bagaimana yang dirasakan oleh orang lain, karena kita hanya bisa melihat dari luarnya saja.
Di sini aku mengajak kalian yang belum mencapai tujuan atau meraih kampus yang kalian impikan, janganlah menyerah, dan jangan takut untuk mencoba membuka pilihan yang lain, karena kita tidak pernah tahu di mana jalan kita dan bagaimana kita ditakdirkan. Bisa jadi, pilihan yang lain tersebut lebih baik dan memiliki manfaat serta keuntungan yang luar biasa untukmu.
Dan untuk berada dikata ‘enak’ tersebut, siapkah kalian untuk berjuang? Memang betul, “rumput tetangga lebih hijau”. Jadi cobalah lihat dirimu, manfaatkan apa yang sedang kau tempuh, siapa tahu orang lain saat ini sedang berpikir, dan ingin merasakan berada di posisimu yang sekarang.
Berjuanglah. Selagi kita mampu, di depan sana akan ada kejutan yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Alaika Salamah, mahasiswi Program Studi D4 Perhotelan di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Jakarta