Beragam persepsi mengenai Covid-19 bermunculan di sekitar masyarakat. Virus yang mengakibatkan kematian lebih dari 600 ribu orang di seluruh dunia itu memicu masyarakat untuk turut responsif terhadap keadaan yang terjadi sebagaimana setiap ada aksi pasti muncul reaksi. Ada yang berasumsi Covid-19 sebagai konspirasi global atau justru bencana kemanusiaan yang melanda umat manusia.
Covid-19 tak selalu positif, tak juga selalu negatif. Selalu ada dua sisi di balik virus tersebut, seperti halnya manis dengan pahit. Begitulah seterusnya secara alamiah. Segala sesuatu di dunia ini tercipta dalam satu paket yang utuh dengan berpasangan, karena itu Covid-19 memiliki dua sisi berbeda yang terdapat untung dan rugi.
Masyarakat yang skeptis akan memandang virus itu dengan pandangan yang negatif. Ia hanya melukai dinamika masyarakat secara ekonomi, politik, maupun pendidikan di berbagai negara. Masyarakat merasa berpangku tangan dengan keadaan karena serangan Covid-19 pada kehidupannya. Masyarakat lebih sulit memenuhi kebutuhan primernya apalagi sekundernya dengan kebijakan penutupan wilayah atau di rumah saja tanpa kegiatan produktif untuk terpenuhinya kebutuhan hidup.
Berbeda lagi dengan cara pandang masyarakat yang optimis terhadap Covid-19. Bagi masyarakat optimis tentu akan memandang adanya virus itu secara positif. Kebijakan penutupan wilayah atau di rumah jaja, tak membuat masyarakat ikut tertahan aktivitas produktifnya dalam sehari-hari.
Justru yang muncul tepatnya suatu hikmah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hikmah lebih harmonis bersama keluarga di rumah. Lebih peduli terhadap pola hidup bersih dan sehat, dan melek teknologi.
Hikmah adanya virus yang pertama kali ditemukan di Tiongkok yang membuat masyarakat untuk lebih progresif lagi justru sebenarnya lebih baik dijadikan pegangan dalam hidup. Masyarakat lebih baik berpikir jernih dalam memandang Covid-19 karena kualitas usaha dan hasil akan ikut menyesuaikan. Berpikir positif untuk berbagai hal yang lebih baik untuk dilakukan dalam keseharian.
Membangun budaya masyarakat bukanlah perkara mudah, terlebih serangan virus telah memunculkan pandemi yang telah melanda masyarakat. Budaya masyarakat sebagaimana masyarakat yang positif memandang Covid-19 justru lebih baik dan lebih membangun budaya yang progresif dengan asimilasi dalam keadaan normal baru. Masyarakat kian lebih progresif dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang positif dengan lebih harmonis bersama keluarga di rumah, lebih peduli terhadap pola hidup bersih dan sehat, dan melek teknologi.
Fase asimilasi dalam normal baru membuat budaya lama berbaur dengan budaya baru yang lebih positif terhadap realitas di masyarakat. Salah satu keadaan yang sering dengan mudah dijumpai misalnya, imbauan agar masyarakat lebih baik di rumah saja, akan membuat mereka lebih sering berjumpa bersama keluarga di rumah daripada teman sekolah atau teman kantor.
Masyarakat lebih rajin mencuci tangan dengan handsanitizer ketika beraktivitas di dalam maupun di luar rumah. Masyarakat pun akan terbiasa dengan platform tertentu seperti halnya para pelajar yang melangsungkan kegiatan belajar mengajarnya melalui Google Meet, Google Classroom, dan Zoom.
Kebiasaan-kebiasaan baru yang muncul akibat fase asimilasi ini tentu harus menjadi dorongan bagi perkembangan budaya masyarakat yang baik. Budaya masyarakat yang sadar dan tersadarkan yang disebabkan fase asimilasi akan lebih efektif bagi kelangsungan hidup.
Segala sesuatu yang berasal dari hati nurani tentu akan lebih mudah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana kebiasaan baik yang sudah menjadi karakter masyarakat yang unggul dan kokoh.
Finka Setiana Adiwisastra, mahasiswa S1 Jurusan Hubungan Internasional Unila