”There Is No Love Like Family”

49
347

 Aku benci selalu menjadi nomor dua,

Aku benci harus selalu melihat ke arah Tasya,

Mengapa tidak bisa sekali saja dunia ini berputar di sekelilingku saja?

Adis menghembuskan asap rokok itu dari dalam mulutnya, seperti biasa, ketika hari sudah mulai berubah gelap, Adis selalu meluangkan waktu untuk naik keatas rooftop rumahnya itu untuk mencari udara segar.

Satu bulan belakangan ini, rooftop rumah selalu menjadi spot favorit remaja berumur 18 tahun itu untuk sekedar bersantai ataupun menyegarkan pikirannya. Adis menatap kotak rokok yang ada tepat disebelahnya itu, sebenarnya Adis baru saja mulai merokok sejak minggu lalu.

Padahal dulu ia sangat benci dengan batangan berisi tembakau itu. Tapi, apa yang bisa dia lakukan? Rokok hanya satu-satunya penghilang penat yang bisa membuat sedikit beban Adis terangkat.

Adis membuka kamera ponselnya yang otomatis memperlihatkan wajahnya yang terlihat berbeda. Biasanya, Adis paling anti untuk menggunting rambutnya pendek, tapi kemarin ia justru memangkas habis rambut panjangnya itu sampai tersisa hanya setelinganya saja.

Tentu saja, hal spontan tersebut mengundang reaksi luar biasa dari ibu Adis setelah melihat anak perempuannya itu nekat menggunting rambut asal-asalan seperti itu.

Tiba-tiba saja, ponsel Adis berbunyi nyaring. Nama kakak perempuannya itu tertera jelas di layar ponselnya. Membuat Adis langsung seketika menghela nafas panjang.

“Ah… ngapain sih ini orang telfon?”

Adis langsung menggeser tombol berwarna merah untuk menolak panggilan dari Tasya, namun beberapa detik kemudian ponselnya kembali berdering dan nama yang sama kembali menghiasi layar ponsel Adis.

Ia tahu bahwa kakak perempuannya yang saat ini sedang menempuh studi S1 di Melbourne, Australia itu tidak akan berhenti untuk meneleponnya, jika Adis lagi-lagi tidak mengangkat panggilan tersebut. Dengan berat hati, Adis langsung menekan tombol hijau dilayar ponselnya yang otomatis menyambungkan Adis dengan Tasya lewat panggilan suara tersebut.

“Adis? Kenapa telfon kakak dimatiin barusan?”

“Lagi gak pengen angkat telfon,” jawab Adis tak acuh.

“Kakak denger dari mamah, kamu baru aja potong rambut bondol tiba-tiba? Kenapa?”. Kini suara Tasya terdengar sedikit jengkel.

“Ya, suka-suka aku dong? Lagian Adis juga udah gede, mau ngapain juga terserah Adis!”

Tasya terdengar menarik nafasnya dalam-dalam. “Kamu kenapa akhir-akhir ini jadi aneh begitu sih, Dis? Coba ceritain ke kakak kalo ada masalah.”

Adis langsung memutar bola matanya setelah mendengar ucapan Tasya barusan. “Sejak kapan kak Tasya peduli sama keadaanku? Paling nanya gini juga cuma formalitas, kan?”

“Adis!” Nada suara Tasya terdengar meninggi. “Kamu itu kenapa, sih? Akhir-akhir ini mamah papah sampe bingung ngadepin perubahan sikap kamu yang tiba-tiba suka gak nurut, ngelawan omongan orang tua, sampe mereka dipanggil ke sekolah gara-gara kamu bolos??? Kakak nanya gini justru karena peduli sama kamu!”

Udah deh! Kalian gak usah sok peduli sama aku! Selama ini kemana aja papah sama mamah? Mereka cuma sibuk ngurusin kak Tasya dan ngebanggain kakak ke semua orang! Kak Tasya itu gak pernah bisa ngerasain ada di posisi Adis! Jadi mending kakak diem aja!.” Seru Adis lalu segera memutus panggilan tersebut tanpa memberikan kesempatan Tasya untuk menjawab.

Perlahan-lahan, air mata mulai mengalir deras dari kedua kelopak mata Adis. Ia langsung memeluk kedua dengkulnya erat-erat sambil berusaha untuk menahan suara tangisnya yang semakin lama semakin tidak bisa terbendung.

Adis benci semua orang. Bahkan, keluarga yang harusnya menjadi tempatnya berkeluh kesah, seakan malah menjadi tempat yang paling tidak ingin Adis kunjungi. Bagi Adis, dirinya tidak akan pernah cukup di mata kedua orang tuanya, hanya Tasya, Tasya, dan Tasya.

Adis sudah lelah selalu menjadi pushover untuk Tasya yang selalu berada dipuncak. Dia sudah muak dengan seluruh keadaan yang hanya memojokkan dirinya saja selama ini.

***

Ini adalah kedua kalinya Adis berada didalam ruang BK selama seminggu terakhir, ibu Heny—guru BK SMA Harapan, sampai terlihat begitu bingung saat menatap wajah siswi yang ada di hadapannya tersebut.

“Adis, kamu tahu kan kenapa ibu panggil ke sini?”

Adis mengangguk malas. “Karena ketahuan merokok di luar sekolah?”

Ibu Heny melihat Adis dengan alisnya yang bertaut. “Kenapa kamu melakukan itu, Adis?”

Loh, saya kan merokok di luar lingkungan sekolah, bu? Bukannya itu tidak melanggar peraturan?”. Sanggah Adis berusaha membela diri.

“Memang benar, tapi yang mau ibu tanyakan sekarang, ada apa dengan kamu sebenarnya? Kenapa ibu perhatikan sebulan belakangan ini sikap kamu berubah? Nilai-nilai kamu juga mulai menurun, padahal kamu adalah salah satu siswi teladan disekolah ini, Adis.”

“Saya gak mau bahas ini sama ibu,” jawab Adis dingin. “Saya akan terima apapun hukumannya, bu. Kalau begitu, izinkan saya kembali ke kelas.”

Ibu Heny menatap Adis dengan pandangan serius, siswi itu memang terlihat sangat berbeda—sebelumnya, Adis dikenal sebagai seorang anak yang sangat ceria dan memiliki banyak teman.

Ia juga selalu mendapatkan nilai yang bagus bahkan sering menorehkan prestasi diajang kompetisi debat antar sekolah. Tapi, entah kenapa, akhir-akhir ini Adis seperti berubah 180 derajat, membuat ibu Heny langsung merasa khawatir terhadap kondisi siswinya itu.

“Ya sudah, kamu boleh kembali ke kelas,” sahut ibu Heny. “Tidak ada hukuman untuk kamu kali ini, tapi jika kamu membuat satu pelanggaran lagi, maka saya harus memberikan skors untuk kamu, Adis. Mengerti?”

Adis hanya menganggukan kepalanya satu kali, “Kalo gitu saya pamit ya, bu.”

Adis langsung memutar badannya ke belakang dan berjalan malas menuju kearah pintu ruangan BK yang kelihatan terbuka sedikit itu. Bahkan, saat ini, mendapatkan peringatan dari guru BK hingga ancaman skors bukan menjadi suatu masalah besar untuk Adis. Dia sudah terlalu merasa tidak peduli dengan semua hal dihidupnya—seluruhnya terasa mati dan tidak menarik.

***

Ketika Adis melihat sosok ibunya yang tengah berdiri didekat pos satpam yang ada disamping gerbang sekolah, Adis sudah tahu bahwa ibu Heny telah memanggil ibunya itu kesekolah, dan tentu saja guru BK-nya itu pasti sudah membeberkan seluruh kelakuan Adis hari ini kepada wanita berumur 47 tahun itu.

Ketika wanita itu menoleh dan melihat kearah Adis, tidak ada senyum yang terlukis diwajahnya. Ibunya itu hanya menatap Adis dengan sorot matanya yang kelihatan dingin, lalu beberapa detik kemudian, wanita itu mulai melangkah menuju kearah parkiran mobil sambil memberikan isyarat kepada Adis dengan gerakan kepala untuk segera mengikuti langkahnya.

Dengan malas, Adis langsung berbelok menuju ke arah parkiran mobil mengikuti langkah ibunya yang sudah berada lumayan jauh dari posisi Adis sekarang itu.

Saat sudah masuk kedalam mobil SUV yang selalu dibawa ibunya kemana-mana itu, Adis langsung memasang sabuk pengamannya sepeti apa yang biasa ia lakukan setiap baru duduk diatas kursi mobil. Tanpa berkata sepatah kata apapun, ibu Adis langsung melajukan mobilnya tersebut keluar dari kawasan SMA Harapan.

“Adis, kamu tahu kan kenapa mamah dipanggil kesekolah hari ini?”

“Tahu.” Jawab Adis singkat.

“Terus, kamu merasa perlu jelasin sesuatu nggak ke mamah?”

Jelasin apa?”

Setelah mendengar jawaban Adis barusan, ibunya langsung menoleh kearah Adis sambil melemparkan tatapan tidak percaya sebelum akhirnya kembali menatap lurus kearah jalan raya.

“Kamu merasa tindakan kamu itu benar, Adis?”

“Memangnya ngerokok salah, ya? Lagian aku juga ngerokok di luar sekolah, apes aja lagi kelihatan sama bu Heny.”

Ibu Adis terlihat menarik nafasnya dalam-dalam lalu kembali menghembuskannya kembali. Ia sempat diam beberapa saat tanpa menjawab pernyataan Adis barusan.

“Besok, kamu gak usah masuk sekolah,” jawab ibu Adis pada akhirnya.

Adis yang merasa cukup kaget atas pernyataan ibunya tersebut lantas menoleh ke arah wanita yang sedang menyetir mobil itu sambil memasang ekspresi kebingungan. “Kenapa?”

“Mamah sudah izinkan kamu selama tiga hari untuk tidak masuk.”

“Ya, tapi kenapa, mah?”

“Kamu istirahat saja dulu dirumah,” jawab ibu Adis lagi tanpa sedikit-pun menoleh ke arah anak bungsunya itu. “Nanti kita bahas soal ini lebih lanjut kalau sudah sampai, ya.”

Adis langsung merebahkan tubuhnya disandaran kursi mobil, ia menghela nafas berat sambil membuang wajahnya kearah kaca mobil yang samar-samar memantulkan bayangan wajahnya tersebut. Adis kemudian memejamkan kedua matanya perlahan, entah kenapa rasanya ia ingin tertidur saja dan tidak bangun lagi untuk selamanya.

***

Adis membuka kedua matanya perlahan ketika sinar matahari mulai masuk dari sela-sela gorden kamarnya. Tanpa ia sadari hari sudah berganti menjadi pagi kembali. Kemarin setelah pulang dari sekolah, ibu Adis tidak mengatakan apa-apa lagi kepadanya dan hanya menyuruh Adis untuk segera beristirahat, yang membuat Adis kemudian langsung kebablasan tidur sampai pagi.

Adis merenggangkan seluruh otot-otot tubuhnya, kemudian ia segera melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan puku 6.00 itu. Jika ia tidak disuruh untuk meliburkan diri oleh ibunya, mungkin saat ini Adis sudah sibuk untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu yang otomatis membuat Adis langsung melirik ke arah pintu kamarnya. Ah, paling bi Ijah yang mengantarkan baju seragam sekolah Adis, kelihatannya asisten rumah tangganya itu belum tahu kalo Adis akan libur selama tiga hari kedepan dan tidak masuk sekolah.

“Masuk aja, bi!,” seru Adis.

Pintu kamar Adis mulai terbuka, sosok bi Ijah yang diekspetasikan oleh Adis tersebut tiba-tiba berubah menjadi sosok ibunya yang datang dari balik pintu sambil membawa nampan berisi roti panggang dan susu yang ada diatasnya.

Kedua mata Adis lantas membesar, ia hanya bisa terpaku diatas tempat tidurnya sambil memperhatikan pemandangan langka tersebut.

“Mamah?”

Wanita itu kemudian tersenyum sambil berjalan mendekat kearah tempat tidur Adis, “Cuci muka dulu sana, abis itu makan sarapannya,” jawab ibu Adis sambil meletakan nampan itu dimeja kecil yang ada di samping tempat tidur Adis.

“Bi Ijah kemana?”

“Ada di dapur, mamah yakin kamu masih capek jadi mamah bawain sarapannya kesini. Ada roti panggang isi selai coklat kacang kesukaan kamu, jangan lupa dimakan, susunya juga diminum sampai habis.”

Ibunya itu lalu tersenyum lembut sambil mengusap kepala Adis pelan. Beberapa detik kemudian, wanita itu langsung berbalik dan melangkah kembali menuju kearah pintu kamar Adis yang masih terbuka.

Adis masih menatap tubuh ibunya itu dengan ekspresi bingung, hingga sosok ibunya tersebut sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang kembali ditutup.

Adis lantas melirik kearah nampan berisi sarapannya tersebut yang diletakan oleh ibunya diatas meja kecil disamping tempat tidur Adis. Padahal dirinya sedang tidak sakit, kenapa ibunya harus repot-repot mengantarkan sarapannya itu ke kamar? Sungguh terasa aneh.

***

Dua hari belakangan ini, Adis hanya sibuk bersantai di kamarnya dan seperti biasa ia selalu mengunjungi tempat favoritnya yaitu rooftop rumah.

Tidak ada yang spesial, kecuali panggilan tidak terjawab dari Tasya yang memenuhi panel notifikasi ponsel Adis. Setelah perdebatan mereka melalui telepon beberapa hari yang lalu, Adis masih tidak punya keinginan untuk berbicara dengan kakak perempuannya itu.

Adis sibuk menyusuri timeline Instagramnya, dibagian DM (Direct Message) beberapa teman Adis ada yang menanyakan keadaan Adis setelah dua hari tidak masuk sekolah. Adis tentu saja tidak membalasnya. Ia masih belum menemukan niat untuk kembali bersosialisasi dengan orang-orang.

Tiba-tiba saja terdengar suara pintu kamarnya yang diketuk dua kali. Adis langsung mengalihkan pandangannya dan kedua matanya lantas menangkap sosok ibunya yang sudah muncul dari balik pintu kamar Adis.

“Adis, makan malam dulu ya ke bawah. Ayah baru aja pulang dari tugas dinas.”

Adis langsung mendengus malas, tapi tentu saja kali ini dia tidak bisa menolak permintaan ibunya. Ayah Adis memang sedang dinas di luar kota beberapa bulan ini, jadi dia hanya satu atau dua kali sekali pulang ke rumah, dan sudah menjadi tradisi keluarga Adis untuk makan malam bersama setiap kali ayahnya itu pulang.

Adis berjalan menuruni tangga dengan langkah lesu, Adis dapat melihat sosok ayahnya yang telah duduk manis di kursi meja makan yang ada di dekat dapur.

Saat sudah sampai di area meja makan, Adis langsung menarik kursinya kebelakang dan duduk tanpa berkata sepatah kata apapun.

“Adis, kamu gak kangen sama papah? Kok diem aja tumben?” Ayahnya itu membuka percakapan dengan suaranya yang terdengar berat namun tetap halus.

“Adis cuma lagi capek aja, yah.”

Ibu Adis langsung membawa sepiring besar nasi goreng yang langsung ia letakkan diatas meja makan, disusul dengan bi Ijah yang membawa piring berisi tempe goreng dan ayam kecap manis kesukaan Adis.

“Yuk, kita makan dulu,” ucap ibu sambil menyerahkan piring kosong ke arah ayahnya lalu ke arah Adis.

“Besok Tasya pulang,” ucap Ayah Adis sambil menyendok nasi goreng yang terlihat masih berasap itu. “Dia berangkat dari Melbourne hari ini.”

Adis langsung menghentikan aktivitasnya, “Kenapa pulang tiba-tiba?”

“Katanya dia cuma pengen pulang aja,” jawab ayahnya sambil tersenyum. “Mungkin dia kangen sama kamu?”

Adis langsung memutar kedua bola matanya dan kembali mengambil sendoknya yang semula ia letakkan di atas piring. “Bilang aja mau pamer kalo dia abis menang lomba lagi di sana.”

Setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Adis barusan, kedua orang-tua Adis otomatis menghentikkan aktivitas mereka secara bersamaan. Ayah dan Ibu langsung menatap Adis dengan pandangan penuh tanda tanya.

“Kenapa? Memangnya aku salah ngomong?” Tanya Adis.

“Kamu sedang ada masalah sama Tasya?”. Ibu melihat Adis dengan sungguh-sungguh.

“Kalo iya kenapa?”

“Kenapa kamu gak pernah ngomong sama ayah atau ibu?”

“Buat apa aku ngomong? Toh, pasti kalian akan belain kak Tasya kan??? Secara dia kan anak emas ayah sama ibu! Sedangkan aku cuma bisa apa sih? Mungkin ayah sama ibu juga malu punya anak kayak aku”.

“Adis!,” seru ayahnya sambil meletakkan sendok dan garpunya diatas meja.

“Emang kalian tuh gak pernah peduli sama Adis! Selalu kak Tasya, Tasya, dan Tasya! Sekalian aja aku gak usah dilahirin ke dunia ini, percuma!”. Balas Adis lalu segera beranjak dari kursinya, tanpa menunggu lama lagi, Adis langsung melangkah cepat meninggalkan area meja makan untuk kembali ke kamar tidurnya.

Adis mengunci kamar tidurnya rapat-rapat, kedua orang tuanya sudah berusaha membujuk Adis untuk bicara baik-baik, tapi Adis memilih menutup telinganya rapat-rapat. Malam sudah semakin larut dan air mata masih terus mengucur deras dari kelopak mata Adis. Suasana kamarnya gelap, bahkan Adis tidak menyalakan lampu tidurnya dan sengaja bersembunyi dibalik selimut tebalnya.

Adis terus menangis, meluapkan seluruh perasaannya yang terpendam selama ini. Kedua matanya sampai terasa begitu berat dan tenggorokannya mulai terasa kering, tanpa sadar akhirnya Adis mulai tertidur lelap dengan bekas air mata yang masih terlukis jelas dikedua pipinya.

***

Hari mulai berubah cerah, sinar matahari pagi mulai menyinari ruangan kamar Adis yang semula gelap gulita. Adis sebenarnya sudah terbangun, namun ia memilih untuk tetap memejamkan kedua matanya, sampai ketika telinga Adis mendengar suara pintu kamarnya yang dibuka. Adis otomatis langsung membuka kedua matanya perlahan, bukannya pintu kamar Adis sudah ia kunci sejak kemarin malam?

Ditengah pandangannya yang masih terasa kabur, sosok familiar itu tiba-tiba muncul di hadapan Adis. Ia sampai harus memastikan bahwa dirinya sedang tidak bermimpi melihat sosok kakak perempuannya yang kini sudah berdiri disamping tempat tidurnya.

“Kak Tasya?”

Perempuan itu mengangguk, “Iya, kamu sudah bangun?”

“Kok kakak bisa masuk? Bukannya kamar Adis dikunci?”

Tasya meunjukan sebuah kunci yang ia selipkan dijari telunjuknya, “Aku punya kunci cadangan, aku udah paham banget kalo setiap ngambek kamu suka kunci pintu kamar tiba-tiba.”

Adis langsung mendengus malas, ia tidak percaya bahwa diam-diam Tasya menyimpan kunci pintu kamarnya itu. “Kamu ngapain kesini?”

“Aku udah denger kejadian kemarin malam dari mamah.”

“Terus?”

“Kamu akhir-akhir ini kenapa, sih?”

“Pertanyaan itu lagi.”

Tasya langsung duduk di atas tempat tidur Adis, “Kalo kamu jawab, aku gak akan nanya pertanyaan itu terus.”

“Kamu gak perlu tahu, lagian kak Tasya juga gak akan ngerti rasanya jadi Adis gimana.”

“Maksud kamu?”

“Kakak kan anak kesayangan mamah papah, selalu dibanggain kesiapapun! Adis gak pernah denger mamah papah muji Adis di depan orang-orang, selalu kak Tasya! Adis ngerasa seluruh usaha Adis selama ini sia-sia! Selalu aja dibandingin sama kak Tasya, seakan aku harus jadi sama kayak kak Tasya! Mungkin mereka emang gak pernah sayang sama Adis!”

Tasya langsung menghembuskan nafas berat, ia menyentuh kepala Adis lalu mengusap-usapnya lembut. “Adis, kata siapa mereka gak sayang sama kamu?”

Adis langsung menepis tangan Tasya dari kepalanya, “Emang gitu kenyataannya! Kapan sih mereka pernah peduli sama aku? Support aku???”

Tasya hanya tersenyum tipis sambil menyerahkan sebuah amplop coklat besar kearah Adis. Dengan pandangan bingung, Adis menatap Tasya dan amplop itu secara bergantian.

“Ini apa?” Tanya Adis dengan kedua alisnya yang bertaut.

“Coba buka dulu.”

Adis langsung membuka amplop itu dan mengeluarkan lembaran putih yang berisikan tulisan berbahasa inggris itu. Ia membacanya dengan sungguh-sungguh, beberapa saat kemudian ia langsung memandang Tasya dengan pandangan serius.

“New York Music Institute?”

“Iya.” Ucap Tasya. “Mamah sama papah tahu banget kalo kamu punya bakat luar biasa dibidang musik, selama ini mereka sibuk mencari sekolah musik terbaik untuk studi lanjutan kamu setelah lulus SMA.

Bahkan, papah sempet langsung ke New York untuk survei NYMI, dan mereka berniat untuk ngasih ini sebagai hadiah kelulusan kamu. Mereka udah daftarin kamu ke institut musik ini.”

Adis hanya terdiam, kedua matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

“Mereka itu selalu peduli sama kamu, Dis. Kata siapa mereka gak pernah banggain kamu? Mamah sama papah sering telfon aku dan bilang kalo kamu makin jago main gitar, keyboard, bahkan mereka sempet kasih tahu lagu yang kamu tulis ke kakak loh. Papah juga sempet minta pendapat sama aku buat beliin kamu alat musik baru dan pengen bikin studio khusus untuk kamu dirumah.

Dis, mereka tuh sayang banget sama kamu, tapi mungkin mereka gak tahu cara ngungkapinnya gimana? Mereka takut kamu ngerasa risih ‘dimanjain’ karena selama ini kamu selalu bersikap mandiri.”

Tanpa sadar air mata langsung menetes dari kelopak mata Adis, Tasya yang melihat hal tersebut langsung sontak memeluk Adis erat-erat. Setelah berada didalam pelukan Tasya, tangis Adis semakin pecah, ia merasa begitu bersalah karena telah berprasangka buruk pada orang-tuanya selama ini, padahal mereka selalu mendukung Adis diam-diam.

Tiba-tiba saja, sosok kedua orang tua Adis muncul dari balik pintu kamarnya, dengan pandangan penuh haru mereka perlahan melangkah mendekati Tasya dan Adis. Tanpa berkata apapun, mereka langsung memeluk kedua putrinya itu erat-erat. Adis bisa merasakan kehangatan yang selama ini ia rindukan itu, kehangatan yang hanya bisa ia dapatkan dari keluarganya.

“Mah, pah, Adis minta maaf ya selama ini udah jahat sama mamah dan papah.” Ucap Adis dengan suaranya yang terdengar sesegukan.

“Iya Adis, kami juga minta maaf udah bikin kamu ngerasa seperti itu. Mulai sekarang, kami janji akan berubah dan jadi orang tua yang lebih baik untuk kamu.” Sahut ibunya yang ikut menangis.

Adis langsung menganggukan kepalanya sambil tersenyum, hati Adis mulai terasa seperti hidup kembali. Mendapatkan perlakuan tersebut dari seluruh anggota keluarganya, membuat Adis menyadari bahwa tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta dari keluarganya.

Tidak semua keluarga sempurna, tapi Adis yakin bahwa pasti ada cinta didalam setiap keluarga tersebut, entah ditunjukkan secara terang-terangan atau mereka yang lebih suka mencintai dalam diam. Sebagai keluarga, kita harus saling mengevaluasi, sebab tidak ada manusia yang sempurna. Masalah akan menjadi pemacu untuk mendewasakan diri dan berubah menjadi lebih baik, menciptakan suatu kehangatan diantara hati dan suasana yang sudah membeku.

Sukma Gayatri Dewi