”Marandang”, Tradisi Suku Minang dan Sejuta Filosofi Dibaliknya

59
3201

Ramadan sudah hampir dipenghujung. Bulan Syawal sebentar lagi datang. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan budaya dan tradisi. Biasanya, berbagai tradisi menjelang lebaran sudah semarak dilakukan. Kali ini, mari kita lihat salah satu tradisi menyambut hari kemenangan dari Ranah Minangkabau, Sumatera Barat.

Lain lubuk, lain ikannya. Lain ladang, lain pula belalangnya. Begitu pepatah yang sering dilantunkan ketika menanggapi perbedaan. Begitu pun dengan tradisi di daerah Minangkabau dalam menyambut hari kemenangan. Terdapat berbagai dan beragam tradisi. Mulai dari marandang, malamang, atau membuat galamai, yang merupakan salah satu penganan khas suku Minangkabau.

Perbedaan tradisi ini ini merupakan bentuk penyesuaian dengan lingkungan sekitar. Bentuk tradisi disesuaikan dengan kondisi dan sumber daya yang ada. Di daerah Pariaman, marandang atau membuat rendang merupakan kegiatan yang selalu dilakukan setiap menjelang hari raya. Randang atau rendang yang dibuat biasanya berbahan dasar daging kerbau.

Marandang menggunakan daging kerbau dilakukan masyarakat Pariaman karena kebanyakan masyarakat di sini beternak kerbau, jadi memanfaatkan sumber daya dari ternaknya,” ujar Ajo Enek, seorang pengamat budaya Minangkabau yang bertempat tinggal di Pariaman pekan lalu.

Marandang adalah proses memasak daging, santan, dan rempah lainnya yang nantinya akan menjadi randang. Tradisi ini dilakukan pada hari-hari terakhir ramadan. Semepet-mepetnya dilakukan sehari sebelum lebaran datang.

“Sehari atau dua hari menjelang hari raya biasanya marandang sudah dilakukan. Tapi tidak jarang juga dilakukan H-1 lebaran. Semepet-mepetnya selalu diusahakan untuk marandang,” ujar Ajo Enek.

Sejarah, budaya, dan tradisi Minangkabau banyak diwariskan secara lisan. Hal tersbut menyebabkan sulitnya menemukan kapan mulai dilakukan dan bagaimana asal-muasal tradisi marandang. Namun, tradisi marandang yang masih eksis di masa kini, secara tidak langsung merupakan bukti bahwa tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun.

“Untuk tahun dan kapan kejadian awalnya, mungkin sulit untuk ditelusuri. Mengingat tradisi Minangkabau banyak diwariskan secara lisan. Namun, adanya marandang pada masa kini sebetulnya sudah mencerminkan bahwa tradisi ini sudah ada dan diwariskan pada tiap generasi,” jelas Ajo.

Hal tersebut dibenarkan oleh Rahyul Hayani, wanita berusia 77 tahun asal Pariaman yang rutin melakukan tradisi marandang setiap tahunnya. “Sewaktu kecil saya melakukan tradisi marandang ini bersama almarhum ibu saya. Setiap menjelang lebaran pasti marandang. Dan itu tetap saya lakukan hingga sekarang,” ucap Rahyul sewaktu dihubungi via telepon, pekan ini.

Untuk alek dan lebaran

Sebetulnya, marandang tidak hanya dilakukan sebagai tradisi menyambut idul fitri semata. Secara umum di Ranah Minang, pada bulan biasa marandang juga dilakukan sebelum alek. Randang akan dimasak dengan porsi yang besar untuk kelangsungan alek atau perhelatan. Marandang untuk alek dilakukan di ruang terbuka secara bersama-sama oleh warga kampung.

Berbeda dengan tradisi marandang guna menyambut lebaran. Randang dimasak tidak dalam porsi besar, melainkan menyesuaikan kebutuhan keluarga tertentu. Karena hanya untuk kepentingan keluarga, makanya marandang hanya dilakukan di rumah masing-masing.

Marandang untuk alek bisa mencapai puluhan kilogram. Paling banyak saya pernah marandang 30 kilogram daging. Kalau untuk menyambut hari raya, ya secukupnya saja, biasanya dua kilogram,” ujar Rahyul.

Waktu yang dihabiskan untuk marandang tidaklah sebentar. Jika memasak dalam porsi besar marandang bisa sampai seharian.

“Kalau untuk alek, karena porsinya besar bisa seharian. Kalau marandang untuk lebaran biasanya sekitar empat hingga lima jam,” tambahnya.

Bukan sekadar tradisi penyambutan hari suci dan untuk alek belaka, marandang ternyata memiliki nilai filosofis adat dibaliknya.

Panghulunyo samba

“Dalam kajian adaik sabatang panjang, randang hitungannya jatuh pada ‘panghulunyo samba.’ Hal ini dinilai dari cara memasaknya yang penuh filosofi,” tutur Ajo.

Panghulu dalam Minangkabau merupakan seorang pemimpin adat. Randang atau rendang, dalam adat Minangkabau disebut sebagai ‘panghulunyo samba.’ Dengan kata lain, randang adalah makanan atau lauk yang paling ‘wah’ di ranah Minangkabau. Hal ini juga terlihat dari banyaknya restoran masakan padang yang menjadikan randang sebagai menu utamanya.

Penggunaan daging sebagai bahan utama, lalu dipadukan dengan bumbu yang kaya rempah, serta protein yang terkandung dalam randang cukup tinggi, menjadikan randang tergolong masakan yang mewah bagi masyarakat Minangkabau.

Aroma kelezatan randang tidak hanya menyeruak di tanah Minangkabau saja, atau di Indonesia saja, melainkan sudah merambah hingga luar negeri. Hal ini dibuktikan oleh hasil survei oleh CNN yang menempatakan randang sebagai makanan terlezat di dunia.

Penuh filosofi

Selain membutuhkan kesabaran dan ketelatenan, serta membutuhkan waktu yang sedikit panjang, ternyata proses marandang sarat akan filosofis Minangkabau. Cara pengadukan dalam proses membuat randang tidak boleh sembarangan.

Raiah ka kida, raiah ka tapi, tulak di tangah. Bia masak marato,” ucap Ajo fasih berbahasa Minang, dalam perbincangan via telepon di siang itu.

Aduk ke kiri, aduk ke tepi, dorong ke tengah, begitulah kira-kira jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Cara mengaduk tersebut dimaksudkan agar randang matang secara merata. Selama proses memasak, ternyata randang tersebut harus selalu diaduk. Tidak boleh ditinggalkan atau didiamkan walau beberapa saat.

“Selama memasak harus diaduk terus, agar matangnya sempurna dan merata. Kalau tidak, bisa gosong sebagian,” tambah Rahyul. Selain itu, cara pengadukan randang tersebut memiliki nilai filosofis tersendiri bagi adat Minangkabau. Cara mengaduk tersebut dianologikan bagai seorang pemimpin.

“Cara mengaduk tersebut dianalogikan bagai seorang pemimpin dalam mengambil keputusan. Sebelum memutuskan sesuatu, pemimpin harus melihat kondisi A, B, C, dan segala kondisi terlebih dahulu,” kata Ajo Enek menerangkan makna filosofi dari cara mengaduk dalam membuat rendang.

Dalam mengambil sebuah keputusan, pemimpih harus memikirkan segala faktor dengan memepertimbankan baik-buruknya. Seorang pemimpin harus menimbang segala aspek terlebih dahulu. Hal tersebut diharapkan agar keputusan yang diambil adalah keputusan yang paling bijaksana, dan tidak ada penyesalan setelanya.

Tidak lengkap

Bagi masayarakat Minagkabau, khususnya Pariaman, lebaran tidak lengkap tanpa menyajikan randang. Dari itu, marandang selalu dilakukan beberapa hari menjelang hari raya.

“Karena saya sudah melakukan hal ini dari kecil, jadi lebaran tidak lengkap jika tidak marandang. Hitungannya jua melakukan adat, rasanya ada yang kurang jika tidak. Sasusah-suahanyo, saindaknyo sakilo dagiang dibuek untuak marandang,” Artinya, sesusah-susahnya, setidaknya sekilo daging akan diusahakan agar tetap bisa marandang, ujar Rahayul

Selain randang memiliki posisi tersendiri sebagai makanan khas Minangkabau, kehadiran makanan tersebut juga sebagai simbol rasa syukur atas rezeki yang telah didapatkan. Randang yang disajikan untuk tamu yang berkunjung juga sebagai bentuk ungkapan berbagi kepada sesama.

“Tamu yang datang berkunjung saat lebaran biasanya akan senang jika disuguhi randang. Selain melanjutkan tradisi, ini juga sebagai bentuk syukur dan berbagi, karena tidak semua keluarga bisa marandang,” tambahnya.

 

Muthyarana Darosha, mahasiswi Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran