Melawan Wabah Tanpa Keluarga di Negeri Orang

0
541

Kegiatan perkuliahan dan perkantoran di Indonesia dialihkan ke rumah sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pertemuan tatap muka berubah menjadi tatap layar. Namun, di belahan dunia lain, ada warga negara Indonesia (WNI) yang terkunci di luar negeri dalam hal ini Barcelona, Spanyol dan Munich, Jerman. Mereka harus melawan pandemi jauh dari sanak famili.

Nadia berfoto bersama teman-teman apartemennya. Foto: Nadia Safitri

Pengalaman melawan pandemi di negeri orang dirasakan Nadia Diah Safitri (24), mahasiswi tingkat akhir yang mengambil master UI/UX Design ESDi di Universitas Ramon Llull. Ia sudah 14 bulan berada di Barcelona.

Nadia baru saja menyelesaikan sidang secara daring. Kegiatan bersejarah yang semestinya di podium terpaksa dialihkan di kamar. Sidang yang diuji oleh empat panelis ini terkendala koneksi. Kadang-kadang slide yang ia tampilkan berbeda dengan yang panelis lihat, jadi harus pelan-pelan dan diulang-ulang.

Selepas sidang, seharusnya ia pulang ke Indonesia. Keadaan yang tidak memungkinkan memaksanya untuk tetap bertahan di Barcelona. Ia menerima kondisi itu karena menyadari bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja.

“Aku tuh pengen pulang awal Mei, tapi terhalang karena enggak ada penerbangan akibat lockdown. Aku pernah ngecek, katanya paling cepet bulan Juli atau Agustus baru ada penerbangan ke Indonesia,” ujar Nadia.

Sewaktu awal pandemi, ia merasa sangat paranoia. Ketakutan tersebut membuatnya takut ke mana-mana. Untuk memenuhi kebutuhan, ia menggunakan jasa belanja daring. Setiap ada barang dari luar langsung buru-buru dicuci. Paranoia ini disebabkan informasi yang diterimanya secara berlebihan.

Sempat stres

Secara psikologis, Nadia dan teman-temannya merasa stres karena tugas yang semakin banyak. Ditambah bosan dan enggak tahu harus berbuat apa. Istilah yang tepat menggambarkan kondisi ini yaitu mental breakdown. Untungnya, ia tinggal bersama dua mahasiswi Indonesia lainnya, sehingga mereka bisa melewati masa sulit bersama.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Spanyol memberikan bantuan khusus untuk pelajar Indonesia dan WNI yang tidak memiliki surat tinggal. Mekanismenya, pelajar harus menghubungi KBRI secara langsung. Bantuan yang diberikan berupa kebutuhan pokok yang berlaku untuk satu kali pengajuan.

Lockdown yang dilakukan pemerintah Spanyol sejak 16 Maret sampai 25 April 2020 dinilai cukup efektif. Masyarakat yang patuh akan kebijakan tersebut menjadi faktor pendukung. Hal ini terlihat dengan budaya antre ketika berbelanja. Ketika swalayan penuh, mereka tetap antre dengan jarak satu meter di luar. Mereka dinilai menerapkan pembatasan fisik dengan disiplin.

Pengawasan yang dilakukan petugas keamanan setempat dinilai tegas. Mereka kerap melakukan patroli untuk memastikan tidak ada penduduk yang berkeliaran. Jika ditemukan penduduk yang berkeliaran lebih dari satu kilometer dari rumahnya, orang itu kena denda sebesar 600-700 euro (dari Rp 9,7 juta sampai Rp 11,3 juta).

Penduduk di sana mendapat satu masker gratis dengan menunjukkan kartu identitas. Kebijakan ini berlaku buat penduduk asli dan penduduk asing. Pengurangan waktu operasional transportasi umum juga diberlakukan.

Perdana menteri Spanyol, Pedro Sanchez menerapkan pelonggaran lockdown dengan skema empat fase sejak 26 April 2020. Fase pertama, masyarakat diperkenankan keluar rumah pada jam-jam tertentu. Penduduk dewasa dan lanjut usia memiliki jam keluar terpisah. Fase kedua, masyarakat diperbolehkan ke tempat penyedia layanan seperti salon, tetapi harus membuat janji terlebih dahulu.

Fase ketiga, restoran dan usaha-usaha lainnya diizinkan beroperasi dengan catatan hanya membuka 30 persen dari total kapasitas, menghindari kerumunan. Fase terakhir, masyarakat boleh melakukan perjalanan ke daerah lain dengan fase yang sama.

Setiap daerah memiliki tingkatan fasenya masing-masing. Tergantung tingkat pertambahan kasus. Jika tidak terjadi peningkatan selama fase tersebut, bisa naik ke fase selanjutnya. Sebaliknya, jika terjadi peningkatan bisa dikembalikan ke fase sebelumnya.

Selama karantina, ia berusaha tetap produktif. Nadia mengerjakan beberapa proyek, memasak makanan atau kue, dan membuat konten di YouTube. Untuk menjaga kebugaran, ia kerap jogging di sekitar apartemen.

“Hikmah pandemi buat aku sih, bisa lebih hemat. Biasanya habis dari kampus ke kafe buat nongkrong atau nugas bareng temen. Tapi semenjak karantina, jadi lebih sering masak sendiri. Satu lagi, jadi lebih sabar karena enggak bisa keluar dua bulan,” tuturnya.

Selain harus menghadapi pandemi secara mandiri, Nadia juga harus menjalankan ibadah puasa jauh dari keluarga. Makanan sahur dan berbuka harus dibuat sendiri karena restoran tidak beroperasi.

“Tahun kemarin masih bisa ngabuburit dan buka bersama, waktu itu temen muslim dari berbagai negara suka ngajak buka bersama di rumahnya. Sedangkan sekarang cuma bisa berbuka di apartemen,” ujarnya.

Seharusnya tahun ini ia berlebaran bersama keluarga. Akibat pandemi, terpaksa hanya bisa merayakan Lebaran bersama teman seapartemen. Untuk menghibur diri, ia berencana memasak makanan dan kue khas Lebaran. Upaya itu Nadia lakukan supaya suasana lebarannya masih terasa.

Situasi Munich

Setelah pelonggaran lockdown, penduduk muslim Jerman melakukan sholat Jumat pakai masker dan jaga jarak. Foto : Razan Wibowo.

Pengalaman serupa dirasakan Razan Wibowo (27). Pemuda asal Yogyakarta ini menempuh pendidikan sarjana di Ruhr University Bocho jurusan psikologi. Gelar master jurusan kesehatan masyarakat ia peroleh dari Ludwig Maximilan University of Munich, Jerman. Sudah sembilan tahun Razan tinggal di Jerman.

Ia sekarang bekerja di Trium Analysis Online GmbH sebagai staf hubungan masyarakat. Perusahaan di bidang pembuatan alat kesehatan di Munich. Razan diterima kerja beberapa saat sebelum lockdown. Kondisi ini menghambat masa penyesuaian dengan lingkungan kerja baru.

Jerman mulai melakukan lockdown pada 16 Maret 2020. Sektor usaha yang boleh beroperasi hanya super market dan apotek. Pengawasan yang dilakukan petugas keamanan diakui cukup ketat. Patroli rutin dilakukan sampai ke komplek-komplek. Jika petugas mendapati penduduk yang berkeliaran, dikenakan denda 150 euro (sekitar Rp 2,4 juta).

“Waktu awal-awal lockdown, Munich benar-benar sepi. Orang yang lewat cuma satu-dua, padahal penduduknya lebih dari satu juta. Sudah kayak kota mati,” ujar Razan.

Penduduk Jerman diakuinya sangat heterogen. Tidak semua orang kuat dengan kondisi seperti itu. Kaum liberalis menilai pemerintah merenggut hak asasi manusia. Golongan ini menilai Covid-19 hanya flu biasa yang dibesar-besarkan.

Dengan dalih itu mereka mengenyampingkan anjuran memakai masker dan jaga jarak. Bahkan, di Berlin mereka beramai-ramai melakukan demonstrasi. Pemerintah tidak tinggal diam, oknum tersebut ditangkap dengan pasal provokasi.

Pemerintah Jerman memberikan fasiltas penunjang selama lockdown. Karyawan perusahaan besar yang memiliki anak, jam kerjanya dipangkas, tetapi diganti pascapandemi. Bagi perusahaan kecil, pemerintah membayarkan gaji karyawan, supaya perusahaan tetap beroperasi.

Bagi warga negara asing (WNA), pemerintah menerapkan perpanjangan izin tinggal otomatis selama setengah tahun. Mereka tidak perlu mengurus ke imigrasi. Sama seperti KBRI Spanyol, KBRI Jerman juga memberikan bantuan sembako bagi yang membutuhkan.

“Semangat kerja di rumah sama di kantor beda. Kalo di rumah memang ada target, cuma di sisi lain ada Netflix juga. Sehingga distraksinya besar yang berpengaruh terhadap produktivitas,” tambahnya.

Setelah pelonggaran lockdown, masyarakat Munich mulai berkegiatan di luar rumah. Foto: Razan Wibowo.

Saat ini pemerintah mulai melonggarkan lockdown secara bertahap. Kebijakan pelonggaran menjadi kewenangan penuh negara bagian. Menyesuikan perkembangan kasus Covid-19 di daerahnya. Di Bavaria, tempat Razan tinggal, pelonggaran diberlakukan sejak 27 April 2020.

Kebijakan pelonggaran terbaru dikeluarkan setiap hari Senin. Minggu pertama pangkas rambut dan salon mulai buka. Pada 4 Mei 2020, sekolah yang menyelenggarakan ujian akhir diperbolehkan. Toko skala kecil juga mulai buka dengan batasan pengunjung. Pada 11 Mei 2020, toko skala besar sudah boleh beroperasi. Awal minggu ini restoran mulai melayani pembeli, tetapi belum bisa makan di dalam ruangan.

“Masa pandemi menghadirkan toleransi beragama di Jerman. Waktu lockdown masjid boleh mengumandangkan adzan secara bebas. Sebelumnya hanya boleh di dalam masjid. Di sisi lain orangtua juga kembali mengasuh anak mereka. Biasanya mereka sibuk dengan pekerjaan, anaknya dititipin,” tutupnya.

Alwin Jalliyani, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.