Apakah menjadi seseorang yang terinfeksi virus korona merupakan sebuah aib?
COVID-19 atau sebagaian orang menyebutnya virus korona menjadi istilah yang tidak asing lagi dalam perbincangan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Presiden Djoko Widodo, pertama kali mengumumkan keberadaan virus itu menyerang dua warga Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu .
Bagaikan gelindingan bola salju, setiap hari kasus positif korona terus bertambah dan tak mengenal siapa saja. Mulai dari kalangan pejabat pemerintahan, professor, sampai pada masayarakat biasa.
Belum habis kita menceritakan duka negeri ini saat menangani kasus makin bertambahnya warga yang terinfeksi virus korona, duka yang lain muncul. Jagat dunia maya digegerkan oleh berbagai pemberitaan tentang ditolaknya pemakaman jenazah pasien virus korona.
Tidak hanya para pasien, para tenaga medis yang menangani kasus inipun mendapat perlakuan yang sama. Mereka mendapat stigma dan diskriminasi dari masayarakat di sekitar mereka. Ironi memang, di saat kita semua harusnya bisa saling mendukung dan berkerja sama.
Kurang pengetahuan
Stigma merupakan pandangan negatif terhadap suatu hal yang dianggap menyimpang dan tidak sesuai dengan kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Secara umun, stigma di masyarakat bisa terbentuk karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman terkait suatu hal. Lebih lanjut, kurangnya pengetahuan tersebut akan mengakibatkan miskonsepsi dan mengakibatkan rasa takut pada orang-orang dengan atribut tertentu.
Stigma memengaruhi orang-orang yang memiliki gejala korona untuk menghindari stigmasi. Hal itu dilakukan dengan menyembunyikan gejala yang ia miliki kepada masyarakat sekitarnya. Mereka akan terjebak dalam “kebisuan” dan ketakutan akan dikucilkan oleh masyarakat. Tidak hanya bagi mereka, tapi juga bagi keluarganya dan orang-orang yang dekat dengan mereka akan mendapat cap yang sama.
Penyebaran pandemi corona akan terus mengalami peningkatan apabila stigma ini terus ada. Hal itu terjadi karena stigma tersebut akan memengaruhi akses terhadap pelayanan kesehatan dan informasi yang dibutuhkan terkait pemutusan mata rantai penyebaran virus itu sendiri. Dengan demikian, stigma jelas dapat membuat program pencegahan penyebaran virus korona menjadi tidak optimal.
Upaya untuk menghapuskan stigma adalah hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini karena cara tersebut diyakini dapat menekan laju peningkatan pandemi ini. Sosialisasi tentang bagaimana virus korona yang dilakuan oleh pemerintah tidaklah cukup.
Diperlukan upaya yang lebih untuk menghapus pandangan negatif terhadap mereka yang terinfeksi korona. Sejauh ini, sudah banyak pihak ikut terlibat dalam upaya penghentian stigma ini. Mulai dari tokoh masyarakat, tokoh agama, artis hingga para influencer.
Kontribusi nyata
Mengubah pandangan masyarakat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, tidak dapat dipungkiri arus informasi di media sosial menjadi salah satu faktor yang banyak membentuk dan mengarahkan pandangan masyarakat hari ini. Bahkan sebagian besar pengetahuan kita sendiri tentang virus korona ini berasal dari media sosial. Dengan demikian, kita semua dapat berkontribusi menghentikan stigma ini lewat akun media sosial kita masing-masing.
Banyak hal yang bisa kita lakukan berdasar pada jargon “memulai dari diri sendiri”. Mari lebih bijak menyaring dan menyebarkan informasi yang kita dapatkan. Ikut menyebarkan dan memberikan informasi positif untuk menghentikan pandangan negatif masyarakat.
Memberikan semangat dan bantuan logistik kepada orang-orang yang kita kenal dan berstatus sebagai pasien ataupun menjalani karantina mandiri. Masih banyak lagi kontribusi positif lainnya yang bisa kita lakukan. Mereka juga manusia, mereka juga tidak pernah menginginkan berada di posisi mereka sekarang. Korona bukanlah sebuah aib!
Dicky Indirwan, mahasiswa Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin Makassar