Titik Hijau Di Tengah Kotak Cokelat

0
161

“Kita menganggap hewan adalah hewan, lalu mungkinkah hewan menganggap kita manusia?”. Pernyataan Mar tak dihiraukan Wilyan. Tangannya konsisten membabat rumput pinggir ladang. Rumput liar untuk pakan tiga ekor kambingnya di rumah.

Bukan tak memghargai apa yang Mar katakan, namun Wilyan paham Mar akan selalu berkata-kata aneh bak seorang filsuf Yunani kuno. Memandang semua dari berbagai sudut pandang yang semestinya tak perlu dipikirkan. Setiap kali merumput bersama ia hanya akan menjadi pendengar yang baik, dengan sesekali merespon tak peduli.

Selain bualannya, Mar juga dikenal sebagai pribadi yang cukup aneh. Di penghujung musim kemarau kemrin, Mar memperdalam sumur samping rumahnya. Meski sebenarnya sumur itu sudah lebih tujuh belas meter, sangat dalam untuk ukuran sumur di daerah ia tinggal yang rata-rata sepuluh sampai dua belas meter.

Kedalaman segitu sudah menjamin mata airnya tidak akan mengering, walau diterpa kemarau panjang. Namun masih Mar cangkuli hingga sembilan be;as meter dalamnya. Selain itu, sekitar pekarangan Mar ditanami dengan berbagai pohon tahunan. Tanah warisan keluarganya seluas seratus meter persegi, dengan rumah kecil 4×4 meter itu dijejali bibit jambu, mangga, alpukat, sawo, kelengkeng, pepaya, sengon, jati, mahoni, akasia, masing-masing satu buah.

Warga di kampung kecilnya heran, untuk apa pekarangan tak begitu luas itu ditanami berbagai pohon. Mereka tinggal di pinggir hutan yang cukup asri dan melimpah sumber dayanya. Meski ada kabar bahwa tanah-tanah mereka akan dibeli perusahaan besar untuk dialih fungsikan menjadi lahan tebu. Namun itu belum pasti, dan mereka juga belum tentu melapaskan tanah warisan leluhur itu.

“Yuk mar udah dapet sekarung ini,” ajak Wilyan sembari mengikat karung.

“Lah masih setengah aku.”

“Ya udah duluan,”. Wilyan beranjak meninggalkan Mar yang masih merumput, satu kaurung penuh rumput cukup untuk dua hari.

***

Sepulangnya dari mencari rumput, Mar penasaran dengan berkumpulnya banyak warga di rumah kepala dusun. Mereka ramai berduyun-duyun lantaran katanya ada tamu penting. Tamu yang mengaku utusan perusahaan tersohor tanah air. Tamu itu memperesentasikan mengenai perusahaan tempat ia bekerja, membeberkan maksud dan tujuan akan membeli seluruh tanah warga.

Dengan uang sebanyak itu warga menyarankan Mar untuk pindah jika tak suka tetap tinggal disini. Mencari kehidupan baru yang diinginkannya.

Tanah ladang juga tanah rumah mereka dengan harga tiga kali lipat. Harga sangat fantastis jika menghitung total seluruh luas tanah yang dimiliki. Tentu masing-masing warga bisa mengantongi milyaran rupiah.

Meski dibeli, warga akan direlokasi ke perumahan yang lebih baik selama lima tahun awal. Mereka dijanjikan akan dipekerjakan merawat tanaman tebu. Tentu warga dusun yang tak lebih dari tiga puluh KK itu antusias, girang bukan main. Mendapat uang hasil jual tanah, mendapat pekerjaan jelas, plus mempunyai pendapatan tetap. Terlebih si kepala dusun. Ia akan menerima banyak komisi jika bisa membujuk warga melepas tanah mereka, juga jabatan dari perusahaan. Namun Mar yang ikut nimbrung keberatan.

Ia menolak dengan alasan bahwa uang sebanyak apapun tak akan pernah cukup untuk mengganti tanah yang sudah dijual. Uang bisa habis, sementara tanah akan tetap, tak akan pernah habis selama bumi belum kiamat. Ia protes mengungkapkan pendapatnya. Berusaha menyadarkan warga agar jangan memepercayai bujuk rayu si utusan perusahaan.

Warga jutru berbalik menyerang Mar, tak setuju dengan apa yang dikatakannya. Ia selama ini hanya buruh ladang yang hidup seorang diri dianggap tak paham persoalan semacam ini. Tak pusing memikirkan biaya anak, kebutuhan rumah tangga, kepeluan istri. Dengan uang sebanyak itu warga menyarankan Mar untuk pindah jika tak suka tetap tinggal disini. Mencari kehidupan baru yang diinginkannya.

“Jika hanya dengan lembaran uang kertas kita mengkhianati tanah luhur ini, maka bumi akan mengkhianati kita. Belum tentu kita bisa membeli tanah baru dengan uang-uang kertas itu,” sekali lagi Mar berargumen menolak.

Kali ini warga sudah muak dengan kata-katanya. Mar diusir pergi dari rumah kepala dusun. Warga yang marah mengatakan padanya agar mengurusi kehidupannya sendiri jika memang tak mau menjual tanahnya. Si utusan dengan lagak bijaknya meredam emosi warga, jika memang Mar tak mau menjual tanahnya tak jadi masalah.

Biarlah ia melihat nanti apa yang dikatakannya benar, atau hanya bualan sok tahu belaka. Mar memikul lagi sekarung rumput hasil merumputnya hari ini. Berjalan pulang dengan kecewa, apa yang dikhawatirkannya selama ini menjadi kenyataan. Bahwa perusahaan multinasional itu pasti akan melebarkan lahannya dengan mengiming-imingi warga dusun menjual tanah mereka.

Oleh karena itu Mar dengan susah payah memperdalam sumurnya dipenghujung musim kemarau ini. Pekarangannya mulai ditanami berbagai bibit pohon, membuat pagar sekelilingnya dengan pohon randu hutan. Ia berharap jika warga lain terbujuk oleh perusahaan dan melepas tanahnya, pasti ladang juga lahan-lahan sekitar akan dibabat, menjadi tanah gersang. Keadaan itu pasti akan mengurangi air, selain karena air digunakan untuk pengairan tanaman, juga tak adanya pohon sebagai penahan air hujan.

Karena hal yang sama sudah terjadi dua tahun lalu pada tiga dusun sekitar. Warga di tiga dusun iu sudah mulai merasakan akibat keputusan mereka menjual tanah. Tanah ladang dengan hutannya yang hijau rindang, kini berubah segersang padang pasir.

Mereka juga dijanjikan hal yang sama, bekerja kontrak selama lima tahun oleh perusahaan, direlokasi ke perumahan  dan diupah layak. Namun ternyata upah dari perusahaan kerap telat, alasan profit kecil menjadi tameng perusahaan telat membayar upah. Hasilnya upah yang diberikan semakin hari semakin tidak layak. Sementara uang milyaran mereka yang tertabung di bank, kerap dijadikan penambal kebutuhan.

Sesampainya dirumah, Mar bergegas menuju kandang kambing di belakang. Meletakkan karungnya, tangannya mengambil sabit yang tersempit di punggung untuk membuka ikatan karung. Mengorek rumput lalu dituangnya dalam wadah pakan, kedua kambingnya sudah mengembik keras kelaparan.

“Nah aku berkali-berkali sudah mengkambingkanmu, maka kamu juga memanusiakanku. Jangan nyeruduk-nyeruduk lagi kalau aku sedang membersihkan dalam kandang ya.”

Mar kemudian masuk rumah sembari mengaso meregangkan badan, rebahan santai bersanding kopi. Sepeninggal orang tuanya, Mar hidup sendirian. Ia dulu sekolah di SMK luar kota, setelah lulus Mar pulang kampung, membantu kedua orang tuanya yang juga buruh ladang.

Lantas tak berselang berapa lama, keduanya meninggal dalam kecelakaan kapal tengglam saat hendak menginjungi kakeknya. Setelah orang tuanya meninggal, Mar diminta agar ke kampung kakeknya, menjual tanah di dusun, hidup disana dengan kakek, juga bibinya. Mar menolak, dan memilih tetap tinggal dengan mandiri.

***

Acap kali beberapa warga yang kebetulan melintas masih kerap menolok-olok karena pilihan ‘bodohnya’ tak mau menjual tanah

Enam bulan berlalu, Mar tetap beraktifitas seperti biasa. Kondisi sosialnya dengan warga sudah berangsur baik. Karena Mar memang pribadi yang humble juga pekerja keras. Kini seluruh tanah milik warga sudah dijual, hamparan ladang depan rumahnya berangsur dibabat, berubah menjadi hamparan lahan.

Pun dengan tanah-tanah bekas rumah yang sudah tergusur rata, menjadi hamparan lahan terbuka siap tanam. Acap kali beberapa warga yang kebetulan melintas masih kerap menolok-olok karena pilihan ‘bodohnya’ tak mau menjual tanah, hingga membuatnya banyak menganggur. Tak lagi bekerja sebagai buruh ladang warga dusun. Dengan hanya bergantung panenan sepetak ladangnya, juga beberapa puluh ekor unggas, karena kmbing Mar hanya akan dijual setahun sekali, setiap Idhul Adha.

Musim hujan kemarin snagat deras, bibit-bibit berbagai pohon yang ditanamn Mar mulai tumbuh subur, pagar randu sekeliling rumahnya cepat berdaun lebat. Pun dengan beberapa pohon mangga besar di depan rumahnya, bertambah rindang. Meski terkepung lahan yang panas, angin yang menerpa rumah Mar tetap menyejukkan. Sumur milik Mar juga penuh dengan air. Saat musim hujan airnya meninggi sampai dua meter di bawah tembok sumur.

Hal sebaliknya justru terjadi pada warga dusun. Setelah mereka direlokasi ke permukimna khusus pekerja. Akses air bersih dialirkan oleh PDAM yang akhir-akhir ini airnya kerap macet. Begitu mengalir tak banyak air yang bisa ditampung, hanya dapat dimanfaatkan secukupnya.

Beberapa warga medatangi rumah Mar, menanyakan apa ada air di sumurnya. Terkejutnya mereka melihat sumur Mar penuh dengan air berlebih. Kondisi di rumahnya yang sejuk juga dibandingkan denga perumahan mereka yang panas, bahkan sampai harus kerap menyalakan kipas angin, hal yang dulunya jarang terjadi pada warga dusun.

Kepala dusun bersama beberapa perwakilan warga akhirnya mendatangi Mar, menyampaikan maksud untuk meminta air pada Mar, dengan memasang pipa yang nantinya akan dialirkan ke perumahan guna membantu warga yag lain. Mar memperbolehkan para warga meminta air, tak peduli dengan perlakuan warga dulu padanya.

Tapi Mar tak akan memberinya secara cuma-cuma. Ia menjualnya dengan harga dua puluh ribu per seratus liter air. Warga dan kepala dusun yang datang mengagnggapnya gila. Menjual air sangat mahal pada tetangga sendiri, dimana harga dari PDAM saja hanya empat ribu rupiah per meter kubik. Lagi-lagi Mar diolok-olok untuk barang yang menjadi haknya.

“Jika kalian tak mau membayar tak apa, kalian masih mempunyai banyak uang juga upah tetap yang seharusnya bisa dipakai untuk mensejahterakan hidup kalian sendiri. Bukankah tindakan juga diriku ini gila?,” kata-kata Mar begitu menusuk ulu hati.

Warga dengan berat hati mengiyakan permintaan Mar. Kekurangan air selama ini sangat menyusahkan warga. Dalam benaknya Mar sebenarnya kasian, Ia terppaksa manjual airnya agar warga menyadari, bahwa uang tak selamanya bisa diapakai untuk kehidupan. Hidup membutuhkan uang, tapi uang tak menajamin kehidupan.

Setelah satu bulan kaya mendadak dengan penjualan air. Mar menggunakan uang penjualan airnya untuk membantu warga menggali sumur. Membeli banyak bibit pohon untuk ditanam di sekitar perumahan. Menjelaskan pada warga bahwa pohon dan tanah adalah investasi terpenting bagi keberlangsungan hidup manusia. Jika manusia selalu bertindak kejam pada alam. Alampun tak kalah kejam kepada manusia.

Bagas Abi