Cantik Itu Tidak Ternilai

60
1262

Sudah 68 tahun Miss World hadir di Bumi melalui tayangan televisi berjenis kontes kecantikan. Miss world mewakili The Big Four International Beauty Pageants dengan moto beauty with purpose. Bersamaan dengan hadirnya Miss World, stigma tentang nilai cantik juga lahir di kalangan masyarakat. Kontes kecantikan melahirkan pakem nilai baru, sebuah garis standar kecantikan. Pemberian label untuk setiap perempuan menjadi variabel yang melekat kuat sampai semua perempuan menjadi tunduk pada standardisasi yang diciptakan oleh media melewati kontes kecantikan.

Cantik itu harus tinggi seperti Gigi Hadid (Victoria Secret’s angel), katanya. Cantik itu kulitnya harus putih, tapi jangan terlalu putih dan bukan coklat, contohnya seperti Priyanka Chopra (Miss World 2000). Juga contoh lainnya yang sejenis.

Di Indonesia, kontes kecantikan Puteri Indonesia dan Miss Indonesia mempunyai andil dalam mengecoh kepercayaan diri perempuan pribumi dengan standardisasi yang mereka buat, bahwa cantik harus memiliki tinggi setidaknya 168 cm, tidak berjerawat, tidak bau, kulit mulus. Orang cantik juga tidak punya bulu-bulu halus di badan, berat badan dan tinggi seimbang, cakap berbicara, berpakaian rapi. Duh, pokoknya repot kalau harus diperinci lagi persyaratan perempuan agar bisa masuk ke dalam kategori cantik.

Tentu saja media bertanggung jawab atas pemberian label cantik. Contohnya BBC, stasiun televisi dan radio Inggris mulai menyiarkan acara Miss World di tahun 1959. BBC membantu Miss World untuk menyebarluaskan kepada publik tentang motto “Beauty with purpose.” And what does the purpose means?

Lewat media, Miss World menjelaskan maksud dari motto di atas adalah kecantikan yang penuh intelegensi dan personalitas. Tapi tetap saja, yang dipertontonkan adalah kemolekan tubuh, kilau mata biru, gerai rambut halus, kulit tanpa bulu, kaki jenjang, gigi rapi, hidung mancung. Intinya tidak ada cacat yang terlihat. Inteligensi dan personalitas menjadi hilang, yang diperlihatkan kepada publik adalah patung hidup yang harus mereka ikuti tampilan fisiknya agar bisa masuk ke dalam kategori perempuan cantik.

Peran media dalam merubah dan menanamkan pola pikir standar nilai cantik ternyata sudah ada dari ranah anak-anak. Disney menargetkan anak-anak sebagai konsumen mereka. Disney memperkenalkan standar kecantikan melalui film seperti Cinderella, Snow White, Beauty & The Beast, Sleeping Beauty, dan lainnya yang sejenis. Dari layar perfilman, anak-anak belajar apa itu nilai kecantikan dan bagaimana cara menjadi perempuan yang dianggap cantik.

Polanya pun sama, perempuan yang cantik adalah putri kerajaan yang berpakaian bagus rapi, berambut halus berkilau, berbola mata besar—kalau bisa warnanya biru—badan semampai. Stigma ini beredar di kalangan anak-anak karena film Disney yang paling sering diputar adalah yang diperankan Cinderella dan Aurora, di mana dua karakter ini mempunyai perawakan fisik yang nyaris sama, rambut panjang pirang, bibir merah muda, mata biru bersinar, kulit putih.

Hampir tidak pernah mendengar juga ada anak TK yang dengan bangga ingin menjadi Pocahontas. Malah mereka bertanya, apakah benar Pocahontas seorang putri? Mengapa kulitnya berwarna coklat? Mengapa hidungnya tidak mancung? Mengapa tidak memakai gaun? Rambutnya warna hitam? Dan bagaimana bisa seorang putri ikut berperang? Pocahontas memang salah satu dari karakter Disney Princess, tapi sepertinya Ia tidak merepresentasikan kecantikan seorang putri.

Mungkin Disney ingin merubah persepsi kepada anak-anak tapi nyatanya Pocahontas harus diam menunggu giliran di barisan belakang untuk diputar. Pocahontas sendiri pun tahu, setiap minggu, publik hanya akan memutar Cinderella karena film ini juga dibuat ulang beberapa kali. Sama juga dengan Aurora yang masih eksis hingga saat ini karena muncul di film Maleficent.

Di antara sadar atau tidaknya publik bahwa acara Beauty pageants ini telah mempengaruhi pola pikir tentang nilai kecantikan. Beberapa komunitas sampai orang ternama sudah banyak yang mengecam acara ini karena kontennya yang berisi pengeksploitasian perempuan. Miss World sempat diboikot pada penghujung tahun 1970 – 1980. BBC berhenti menyiarkan kontes kecantikan tersebut dan pindah siaran ke ITV’s Thames Television.

Dan Indonesia sudah sejak awal sebelum pembentukan Miss Indonesia oleh Simon Petrus Goni pada 1960, Presiden Soekarno sudah terlebih dahulu melarang adanya ajang kontes kecantikan. Soekarno sadar kalau kontes kecantikan ini sudah lari dari karakter bangsa, hanya membuat perdebatan publik dengan perempuan sebagai korban eksploitasinya, juga membangun klasemen sosial di masyarakat.

Tetapi, bukan pebisnis sejati namanya jika menyerah begitu saja. Simon kembali membuat pengajuan kontes Miss Indonesia di era Soeharto. Akhirnya Miss Indonesia diselenggarakan pertama kali di Jakarta tahun 1967 dengan Sylvia Taliwongso sebagai pemenang pertama dan kembali kena kecam oleh Ibu Tien yang saat itu adalah Ibu Negara di tahun 1977. Lagi, bukan pebisnis sejati jika menyerah. Para oknum masih menggelar acara tersebut dan kontes tetap di adakan, model juga masih banyak yang dikirim ke luar negeri secara diam-diam.

Dalam kasus ini terlihat sekali bahwa penyelenggara sangat memaksa. Apalagi alasannya kalau bukan karena keuntungan berupa uang. Beauty pageants, atau kontes kecantikan sangat membantu beauty company dalam menjualkan produk mereka seperti, pemutih kulit, obat penghilang jerawat, lensa kontak untuk mata, obat peninggi badan, dan barang kecantikan lain yang sampai saat ini laris di pasar.

Di tahun-tahun selanjutnya, semakin banyak label cantik bertebaran di masyarakat dengan kondisi fisik di luar standar barat yang lama

Beauty company ini menggandeng model hasil kualifikasi dari kontes kecantikan tadi sebagai brand ambassador produk mereka. Perempuan yang merasa dirinya di bawah standar cantik yang dibuat oleh media pun berbondong-bondong untuk membeli produk kecantikan demi bisa diterima publik dengan fisik yang baik selayaknya para model.

Bukankah suatu kebanggaan jika memiliki tubuh yang indah? Berlembar-lembar uang rela dikeluarkan sampai-sampai lupa keperluan yang lain dan malah jadi membohongi diri sendiri. Jati diri perempuan hilang jika mereka sudah tidak bisa percaya dengan diri sendiri dan tidak menghargai inner beauty di diri masing-masing.

Pada dasarnya, kontes kecantikan dinaungi oleh negara-negara di Barat. Standar kecantikan menjadi mengiblat pada kualitas kecantikan yang dimiliki orang-orang barat. Tentu itu sangat bertolak belakang dengan keadaan di Asia atau Afrika. Hingga sampai di tahun 1999, Mpule Kwelagobe berhasil mendapatkan mahkota kecantikan untuk orang kulit hitam pertama asal Afrika melalui kontes kecantikan Miss Universe.

Kemenangan Kwelagobe menjadi titik balik di mana publik menemukan standar baru dari kata cantik. Di tahun-tahun selanjutnya, semakin banyak label cantik bertebaran di masyarakat dengan kondisi fisik di luar standar barat yang lama. Artis-artis di negara barat pun semakin banyak yang menunjukkan ketidaksempurnaan mereka menjadi nilai cantik tersendiri yang mereka miliki.

Dapat kita katakan Beyonce adalah salah satu penyanyi barat yang sukses dengan semua hasil karyanya dan dia berkulit hitam. Lagu “Pretty Hurts” yang ditulisnya bersama dengan Sia mempunyai konsep lirik dan video klip yang menyindir bagaimana kerja para model kecantikan di balik layar yang sangat menyiksa sampai-sampai mereka kehilangan jati dirinya sendiri karena dipaksa cantik.

Winnie Harlow, model asal Jamaica pengidap vitiligo juga membuat publik mengesampingkan kecantikan standar barat. Harlow dengan kulit vitiligo yang membuat warna kulitnya tidak merata ternyata bisa menjadi model cover majalah kelas dunia seperti Elle dan Vogue.

Vitiligo sendiri adalah penyakit kulit di mana sel-sel penghasil pigmen kulit dari pengidapnya mati atau tidak lagi berfungsi, maka kulit akan kehilangan warna dan akan lebih terlihat beda jika si pengidap mempunyai kulit berwarna. Kondisi kulit seperti ini tidak dapat disembuhkan dan dapat bertahan sampai seumur hidup. Winnie Harlow membuktikan di sini bahwa ketidaksempurnaannya juga dapat masuk ke nilai standar cantik yang baru.

Berbeda dengan Harlow yang lebih terbuka dengan keadaan tubuhnya, Halima Aden memilih untuk menutup tubuh serapat mungkin kapan pun, di mana pun. Saat pemotretan dengan majalah Vogue, ia juga menutup tubuhnya sampai ke bagian kepala dengan jilbabnya. Tidak ada lagi pakem nilai cantik harus memiliki gelombang rambut halus yang berkilau.

“Saya pikir itu adalah keindahan dalam mengenakan jilbab. Anda tidak hanya bisa memutuskan bagaimana dan di mana dan kapan, Anda juga bisa memutuskan gaya mana, karena ada banyak,” kata Halima Aden saat diwawancarai oleh Vogue Arabia. Aden menggencarkan kampanye cantik dalam balutan hijab di bantu oleh kontes kecantikan di Amerika Serikat dan majalah Vogue. Lagi-lagi, media bermain di dalamnya.

Memasuki perfilman

Sedangkan di ranah perfilman, Amandla Stenberg sempat kewalahan dalam memainkan beberapa peran penting dalam film-filmnya. Sebagai perempuan berkulit warna, Stenberg cukup sering memerankan karakter perempuan untuk merepresentasikan apa yang dialami oleh perempuan-perempuan dengan kulit warna dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut justru malah makin membangun emosi Stenberg karena memang ia adalah bagian dari perempuan berkulit warna yang hidupnya merasa terancam bahkan sampai sekarang.

Setiap kali ia melakukan promo film, Stenberg kerap kali menyelipkan slogan kampanye ‘Black lives matter’. Akting Stenberg dapat di lihat dalam film Where Hand Touch (2018). Film ini menceritakan bagaimana perempuan kulit warna dipandang dan diperlakukan tidak seimbang oleh masyarakat pada jamannya karena dianggap ras yang paling rendah dan jauh dari kata cantik.

Karena sudah banyak media yang merubah garis standar kecantikan yang mereka buat sendiri pada tahun-tahun sebelum milenium, Disney tidak mau kalah. Di pertengahan tahun ini (2019), Disney Studio mengumumkan akan menggarap film live action baru berjudul The Little Mermaid dengan Princess Ariel sebagai karakter utamanya. Berbeda dengan Aurora yang diperankan oleh Elle Fanning yang bermata biru, rambut pirang dan kulit putih, Disney banting stir 180 derajat dalam menunjuk Halle Bailey sebagai pemeran Princess Ariel. Publik sempat dibuat kacau.

Penggiat sosial media mengkritik saat Disney Studio menyebut nama Bailey. Stigma awal masih melekat cukup kuat di otak publik bahwa putri cantik harus memenuhi standardisasi kecantikan yang ada, sedangkan Bailey mempunyai klasifikasi fisik dan warna kulit yang bertolak belakang dengan yang seharusnya direpresentasikan karakter Princess Ariel. Entah Disney Studio menolak untuk dikomentari atau pura-pura buta tuli, komen-komen publik yang menolak Halle Bailey tidak diindahkan. Disney tetap akan menjadikan Bailey sebagai pemeran Princess Ariel.

Pengecohan media dengan merubah rumus awal untuk mencari nilai cantik tak luput dari keuntungan bagi Beauty company. Bisa dilihat di toko alat dan perangkat kecantikan,  toko obat, mini/super market, dan pusat perbelanjaan. Produk kecantikan semakin tumpah ruah dengan berbagai macam jenis kulit. Tidak lagi sekadar pemoles kulit untuk yang berwarna putih. Coklat, merah, sampai hitam pun ada.

Publik berbondong-bondong pamer perawatan kulit dan wajah dengan harga mahal. Sejatinya, kontes kecantikan yang memiliki standar khusus dan kampanye cantik itu tidak memiliki standar khusus adalah dua hal yang memiliki kesamaan di mata pebisnis. Dua hal tersebut menjadi pihak luar untuk promosi terselubung produk kecantikan mereka. Korbannya pun masih sama, perempuan.

Perempuan dibuat tidak percaya diri dan merasa tidak pernah puas akan kecantikan diri mereka masing-masing dan akan merasa puas dengan adanya tata rias. Sebenarnya tidak akan ada yang bisa menyalahkan atau memberhentikan nilai seseorang dalam merasakan kepuasan. Tidak benar juga jika sampai ada oknum yang membuat gerakan anti tata rias  dan harus percaya pada inner beauty masing-masing orang. Toh, jika pada akhirnya tata rias yang membuat perempuan percaya diri, maka yang lain bisa apa?

Garis standar kecantikan juga masih melekat pada otak-otak perempuan terutama remaja. Mereka tidak percaya akan kecantikan yang mereka miliki

Yang sangat disayangkan dalam kasus ini adalah pengeksploitasian perempuan. Diskriminasi yang terjadi di kalangan masyarakat masih kerap terjadi. Garis standar kecantikan juga masih melekat pada otak-otak perempuan terutama remaja. Mereka tidak percaya akan kecantikan yang mereka miliki, tidak pernah merasa percaya diri saat berdiri di atas kaki mereka dengan fisik yang jauh berbeda dengan model kelas dunia. Merasa paling buruk rupa ketika tahu Tuhan menciptakan wujud manusia tak ada yang sama.

Ketika pertanyaan, bagaimana sih, rasanya jadi cantik ?  dilontarkan, beberapa remaja perempuan mengelak untuk menjawab. Ada yang balik bertanya, apakah ia cukup cantik? Ada yang melemparkan pertanyaan ke temannya yang lain yang ia rasa lebih cantik dan lebih cocok untuk menjawab. Ada pula yang bersikap diplomatis, mengatakan kalau cantik itu relatif dan tidak bisa dilihat hanya dari fisik. Jawaban sungguh beragam, tapi jika dirangkum keseluruhan, jawaban serempaknya berbunyi seperti, saya tidak cantik, tolong jangan tanya saya.

Cantik itu hanya sebuah kata, anonim dari buruk. Cantik itu tidak punya pakem nilai dan perempuan bukanlah barang yang dapat dinilai dengan standardisasi cantik hasil karya media. Biarkan perempuan berekspresi dengan dirinya masing-masing dan merasa cantik dengan apa yang mereka peroleh.

Cantik itu tidak ternilai, kecantikan bukan suatu hal yang patut diperdebatkan apalagi dijadikan ajang perlombaan. Cantik bukan sebuah hak istimewa karena mahkota terberat sekali pun tak bisa menjadi junjungan dari kecantikan perempuan yang membawanya. Semua perempuan sudah cantik dan mempunyai mahkota mereka masing-masing dalam bentuk harga diri.

Diffa Zahra Mahasiswi Jurusan Penerbitan Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta