“Bulan, aku rindu kamu malam ini. Kamu di mana?” tanyaku dengan kuat di balkon rumahku. Namun yang terlihat hanyalah langit gelap tanpa bintang. Aku duduk di balkon itu sambil mencari keberadaan Sang Bulan. Namun sayang, air setitik demi setitik turun dari langit. Untungnya saja tidak lama jadi aku masih bisa menikmati malam dan mencari Bulan.
“Bulan, aku kesepian. Temani aku malam ini walau sejenak!” teriakku dari balkon menatap langit. Ku lirik ke barat hingga ke timur, tetap saja bayangan cahayanya pun tidak terlihat. Rasanya aku makin kesepian tanpa dia yang setia ku ajak bercanda hingga mendengarkan keluh kesahku.
Lagi-lagi di kala aku duduk menatap langit malam tanpa bintang, air setitik demi setitik mulai terjun dari langit kembali. Kali ini lebih lama dari pada tadi. Ku rasakan titik-titik air hujan yang tidak lebat ini. Ditengah aku memahami titik-titik air yang terjun bebas di hadapanku, perlahan mulai mereda kembali.
“Bulan?” sapa ku dengan penuh tanya. Namun sayang, aku hanya dibalas isak tangis olehnya lalu disusul kalimat “Jangan galau dulu kamu malam ini.” Ku balas dengan senyum tipisku padanya. Mataku menatap langit kembali, mencari tahu kenapa ia tak seceria kemarin kemarin.
Aku menatap langit dan memikirkan Sang Bulan.
Di balkon ini aku merasa Sang Bulan malam ini ingin sendiri. Aku sekarang tahu air apa yang ku rasakan tadi. Air itu tangisan Sang Bulan dari balik selimutnya. Semakin ke sini aku semakin bingung, ada apa dia denganku? Kenapa dia? Atau malah ia ingin meninggalkanku untuk malam ini dan bisa saja di malam-malam selanjutnya?
Malam makin larut dan makin dingin, tubuhku mulai menggigil. Aku beranjak dari balkon menuju kamarku dan duduk persis di samping jendela. Ku raih buku bacaanku lalu menikmatinya, sesekali aku memandang keluar dari balik jendela. Aku menatap langit dan memikirkan Sang Bulan.
Lagi-lagi air turun kembali persis seperti tadi, durasinyapun tak beda jauh. Aku berfikir apakah apa yang ku lihat sejak sore tadi itu selimut Sang Bulan yang ia pakai malam ini? Mengapa ia berselimut malam ini? Bukankah seharusnya malam ini yang paling ditunggu siapapun di akhir pekan? Lantas mengapa ia menangis tersedu-sedu begini?
Malam ini ku rasa memang aneh. Aku rindu dia, tapi dia hanya mengucapkan beberapa kata sebagai isyarat unukku. “Jangan ganggu aku dulu.” Itulah penafsiranku. Aku tatap lagi apa yang ada di balik jendela sambil memikirkan Sang Rembulan. Dalam batinku aku berhusnuzan pada sang rembulan.
Dalam padanganku dari balik jendela, mulutku berbisik pada rembulan yang berselimut dan tersendu-sendu. “Jika kau tak mau diganggu dulu, yah sudahlah aku kan pergi sejenak dulu. Melihatmu dari balik jendela. Hingga kita bertegur sapa lagi.”
Muhammad Irfan Habibi, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Walisongo, Semarang