Mendaras wajahmu tak akan pernah selesai,
setiap lekuk memiliki lekuk lain,
kesakasian bulu mata atas aksara-aksara,
bibir yang darinya lahir doa-doa pengikat (si)apa saja
dan tubuhmu sendiri, apalagi
deru udara nafasmu yang abadi itu.
Seutuhmu tahu,
puisi akan hidup lebih lama dari dirimu sendiri.
Itu sebabnya kau bercinta dengannya saban malam.
Akan tiba suatu hari aku tanggal dari daratan,
menuju ke yang lebih dalam,
dan inti diriku terbang
sambil terus menyaksikan kau
bercinta dengan puisi.
Sementara puisi yang kau telanjangi malam lalu
kusaksikan sedang sibuk melahirkan anak-anakmu,
menjadi buku-buku.
Pun akan tiba hari di mana
kau tak lagi bercinta dengan puisi.
Pada hari itu
setiap kepala akan melantunkan janji untuk terus mengingatmu.
Pada hari itu pula,
aku telah selesai menyiapkan rembulan untuk kita nikmati bersama
di pinggir kali yang mengalir susu,
kesukaanmu.
Afaf Mutia Zahwa