Peran besar sastra sebagai bentuk perjuangan tak lagi patut dipertanyakan. Entah untuk memperjuangkan kemerdekaan negara, hingga kemerdekaan manusia sebagai makhluk yang berdaulat. Namun, tak banyak yang menyinggung bahwa sastra adalah representasi dari realitas sosial dalam masyarakat.
Meski kerap disebut sebagai fiksi, bukan berarti peran serta sastra bisa disepelekan. Janganlah kita lupakan buku mahakarya Pramoedya Ananta Toer dan banyak sastrawan lain yang berhasil mengguncang sebuah rezim karena kelihaian permainan kata untuk mengupas kecacatan pemerintahan dan kolonialisme.
Kondisi Indonesia hari ini nampaknya layak disebut memprihatinkan. Negara multikultural yang memiliki semboyan “bhinneka tunggal ika” ini tengah mengalami serangan intoleransi dari rakyatnya sendiri. Dimulai dari pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017, sampai kampanye dan pelaksanaan pemilu serentak April 2019 lalu. Masa-masa itu sarat dengan sentimen suku, agama, ras (SARA), hingga pelbagai langkah represif dari masyarakat dan aparat terhadap kelompok tertentu dengan alasan perbedaan keyakinan.
Rambu dan kode etik yang mengikat karya tulis sastra terbilang minim, nyaris tidak ada. Hal itu memberikan para sastrawan lebih banyak keleluasaan untuk mengungkapkan ide-ide liarnya. Liar dalam hal ini tak melulu diartikan sebagai hal-hal yang menyalahi nilai dan norma, melainkan hal-hal yang sulit untuk tersalurkan melalui media arus utama.
Fenomena pers dan jurnalisme Indonesia hari ini yang sarat akan bias konglomerasi media, diperburuk dengan relasi pemilik dengan jabatan politik di pemerintahan. Hal itu membuat pers dikuasai oleh kelompok elit tertentu yang kerap kali berbalik fungsinya menjadi public relation dari pemerintah.
Belum lagi kedudukan konten di media massa sebagai sebuah bentuk representasi, yang dinilai sosiolog asal Inggris, Stuart Hall, dalam bukunya The Work of Representation, sebagai sebuah rekonstruksi realitas yang bukan kenyataan sesungguhnya. Representasi banal terhadap berbagai fenomena banyak menghiasi media massa hari ini. Termasuk isu perbedaan agama dan keyakinan yang acapkali malah disalahgunakan dengan tambahan bumbu sensasionalitas.
Agenda politik penguasa yang kerap memainkan sentimen agama membuat media bisa memberitakan suatu peristiwa dari sudut yang memecah belah. Di lain sisi, sastra adalah produk manusia bebas dan kebebasan manusia. Tidak ada yang memiliki maupun menguasai karya sastra. Menurut sejarawan kelahiran Swiss, Philip Schaff, dalam Religion and Literature, kebebasan sastra hadir menyuguhkan imajinasi liar yang berpihak pada kehidupan.
Sastra dan agama juga memiliki kesamaan sumber fundamental, yaitu kekuatan emosi manusia dalam bentuk cinta, ketakutan, hingga rasa ingin tahu. Keduanya selalu dapat berjalan beriringan, meraih titik yang mempertemukan kepentingan, imajinasi penulis, hingga kebudayaan manusia.
Meski begitu, bukan berarti karya sastra semata-mata merupakan produk hasil khayalan. Ahli Literatur Amerika dari Universitas Oxford, Nicholas Gaskill, dalam tulisannya yang berjudul Experience and Signs: Towards a Pragmatist Literary Criticism berpendapat, karya sastra lahir dari hasil penghayatan dan perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Unsur-unsur fiktif sastra merupakan bagian dari kreativitas sang sastrawan. Kreativitas itu didukung pula oleh keragaman latar belakang sastrawan, seperti kelas, pengalaman, hingga preferensi. Hal itu memungkinkan sastra memfasilitasi kontekstualisasi gagasan yang lebih luwes, namun sarat akan argumen segar nan kuat.
Terdapat banyak karya sastra Indonesia yang menyajikan representasi perbedaan agama dalam konteks persatuan. Oka Rusmini, seorang sastrawan asal Bali, konsisten menghasilkan karya-karya bertemakan masyarakat multikultural. Meski sebagian besar karyanya mengarah pada feminisme, satu hal yang tak pernah absen Oka lakukan adalah memperkenalkan harmoni dalam konteks perbedaan. Salah satunya tertuang dalam novel Sagra yang terdiri dari kumpulan cerpen karyanya.
Di dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Esensi Nobelia”, Oka menceritakan sosok Sobrah, seorang mantan pekerja seks komersial (PSK) yang selalu membantu sang tokoh utama ketika tengah mengalami kesulitan keuangan. Sobrah diceritakan kerap memberikan makanan pada anak perempuan sang tokoh utama.
Sebagai pemeluk agama Islam, Sobrah adalah muslimah yang rajin melakukan ibadah salat, hingga mengajarkan sang tokoh utama cara-cara untuk melaksanakan salat. Sobrah juga kerap memberikan bantuan besar bagi pembangunan pesantren di desa seberang.
Hal itu menunjukkan bagaimana keharmonisan bisa tetap tercipta di antara kelompok mayarakat yang memiliki perbedaan. Di tengah masyarakat Bali yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu, misalnya, masih ada sosok Sobrah yang secara sukarela memberikan bantuan untuk orang-orang desa. Hal penting lainnya adalah bagaimana sastra berperan memunculkan sisi lain diri seseorang yang kerap dianggap patut disalahkan.
Karya sastra merupakan tempat para sastrawan mensosialisasikan ide dan pesan moral yang dipercayainya. Sebagai seorang mantan PSK, konsensus akan mengarah pada konstruksi citra diri Sobrah yang lekat dengan hal-hal buruk. Tapi, melalui karya sastra, para pembaca disuguhkan sebuah konstruksi pemikiran baru bahwa terlepas dari masa lalunya, seseorang memiliki sisi-sisi baik dan upaya menebus kesalahan.
Bayangkan bila masyarakat Indonesia secara konstruktif mengedukasi dirinya dengan karya-karya sastra yang menggambarkan keharmonisan hidup di tengah perbedaan. Masyarakat Indonesia kelak akan memiliki ide bagaimana memandang dan menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekitarnya secara toleran. Di samping segala perbedaan ideologi yang ada, masyarakat kelak memiliki pemahaman mengenai cara-cara mengekspresikan perbedaan dan pendapat dengan cara-cara yang tidak menyinggung pihak lain.
Karya sastra merepresentasikan perbedaan sebagai sebuah warna dalam masyarakat. Ibaratkanlah kehidupan masyarakat sebagai sebuah kanvas, maka perbedaan adalah warna-warna yang menghiasinya. Identitas agama dalam karya sastra adalah warna dalam kehidupan, bukan sebuah perangkat yang mengkotak-kotakan manusia.
Sekalipun Sobrah adalah mantan PSK, Oka Rusmini tak menekankan keburukan masa lalu Sobrah, melainkan kehidupannya di masa kini yang dihiasi dengan berbagai perbuatan baik. Hal itu menunjukkan bahwa karya sastra bisa berperan memberikan gambaran tentang kerukunan di tengah perbedaan melalui wacana dan ide tentang toleransi. Sastra bisa memberikan gambaran bagaimana hal-hal yang dipandang menyulut sentimen golongan, sesungguhnya hanyalah dinamika perbedaan bila dimaknai secara bijak dan toleran.
Selma Kirana Haryadi, mahasiswi Prodi Jurnalistik Universitas Padjadjaran