Sebuah Otoritas yang Semu

0
167

Usia Embun 10 tahun waktu beberapa teman lelakinya tersenyum-senyum jahil sepanjang jam pelajaran PJOK (Pendidikan Jasmani Olahraga Kesehatan). Kejadian itu membuat Embun takut mengikuti mata pelajaran yang sesungguhnya tak pernah ia sukai itu. Pada suatu siang, pak guru menginstruksikan anak-anak kelas 5 A dan B sebuah sekolah dasar untuk berolahraga lompat tali menggunakan skipping. Tak terkecuali Embun, yang mau tak mau harus mengikutinya.

Sebelum pak guru menilai kemampuan bermain skipping masing-masing siswa, Embun dan seorang teman perempuannya terlebih dahulu berlatih di sisi lapangan. Supaya lancar saat tes nanti, pikir Embun. Sayang seribu sayang, niat polos Embun untuk belajar malah mengantarkannya pada sebuah ketakutan baru yang tak pernah ia sangka akan datang.

Saat tengah melompat sembari mengayunkan tali skipping, Embun menoleh ke segerombolan teman lelaki yang tengah menatap ke arahnya. Teman-teman lelakinya terlihat memerhatikan terlalu seksama. Tak lama, gerombolan itu tertawa-tawa penuh arti sambil beberapa orang mengarahkan jari telunjuknya ke arah Embun yang sedang melompat.

Seorang teman lelaki Embun berteriak sambil tertawa.  “Lompat terus, Embun! Bagus!,” katanya. Ia lalu kembali tertawa bersama gerombolannya. Sontak, Embun berhenti melompat dan menatap heran ke arah gerombolan itu.

Sampai satu orang dari mereka melontarkan kata-kata yang tak senonoh, hati Embun mencelos. Barulah Embun tahu, para anak lelaki itu tengah membicarakan salah satu bagian tubuh Embun, yang saat itu terlihat jelas bentuknya karena dirinya sedang melompat.

Apa yang dialami Embun hanyalah satu contoh kisah menyedihkan yang dialami banyak perempuan muda dan dewasa di Indonesia. Dapat dibayangkan betapa dalamnya lubang kesedihan yang tercipta didalam diri bocah usia 10 tahun itu. Ketika dirinya bahkan belum banyak mengerti  definisi dan bentuk-bentuk hasrat seksual manusia, sekelompok orang-orang terdekat Embun malah menjadikannya objek seksual dengan cara yang amat menjijikkan.

Ketika bermain dan berolahraga menjadi bagian dari keseharian anak seusianya, Embun malah berakhir mempunyai ketakutan besar untuk aktif bergerak, bermain, dan berolahraga. Hal itu masih tinggal dan membekas hingga hari ini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu terjadi.

Nyaris semua anak perempuan di negeri ini pasti pernah mendapat nasihat berisi suruhan untuk memakai pakaian tertutup yang tak menonjolkan bagian-bagian tubuhnya. Satu hal yang tak saya pahami adalah alasan yang dilontarkan para orang tua atas suruhan memakai pakaian tertutup itu. “Biar enggak dilihatin cowok,” kata mereka. “Biar enggak dilecehkan laki-laki,” katanya lagi. Mungkin ada pula yang mengatakannya dengan alasan, “Kalau pakai baju terbuka, nanti bisa diperkosa.”

Alasan-alasan itu merupakan salah satu letak kesalahan berpikir terbesar banyak orang Indonesia. Masyarakat seolah menjadikan tanggung jawab untuk mencegah penyimpangan sosial hanya pada kaum perempuan. Hal itu biasanya dimulai dari suruhan-suruhan dalam keluarga.

Ketika anak perempuan masih di usia muda, mereka akan memaknainya sebagai perintah orang tua. Namun, seiring waktu menuju pendewasaan, mereka akan menginternalisasi beratnya beban seorang perempuan untuk menjaga keteraturan masyarakat.

Kewajiban perempuan untuk memakai baju tertutup untuk mencegah terjadinya pemerkosaan, misalnya. Padahal, jelas sebuah tujuan tak akan pernah bisa dicapai bila yang berusaha hanya satu pihak di dalamnya. Sama halnya dengan sebuah keteraturan sosial. Masyarakat tak bisa menempatkan beban terberat pada perempuan untuk memakai pakaian tertutup, tanpa mengedukasi laki-laki bagaimana cara menghargai perempuan dan cara mengendalikan hawa nafsunya.

Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pakaian apa yang akan dan ingin dikenakannya sehari-hari tanpa paksaan dan ketakutan yang membayang-bayangi setiap langkahnya. Bila hendak bicara norma kesopanan, sopankah sebuah realitas sosial yang hanya menekan satu jenis kelamin untuk berpakaian tertutup tanpa memberi penekanan yang sama pada jenis kelamin lainnya?

Konstruksi ini benar-benar harus segera diubah, bahkan dibuang, dari tatanan sosial masyarakat Indonesia. Beberapa orang yang minim pemahaman bahkan turut mencampuradukkan nilai ini dengan ajaran-ajaran agamanya. Padahal, Indonesia merupakan negara multikultural yang rakyatnya tak menganut kepercayaan tunggal. Hal itu jelas menciptakan celah bila satu nilai agama yang dominan dijadikan pedoman utama dari nilai kemanusiaan.

Suatu waktu, terjadi kasus pemerkosaan yang menimpa seorang perempuan. Sekelompok orang di media sosial malah menyalahkan korban lantaran tidak berpakaian sesuai syariat Islam, yaitu mengenakan jilbab dan pakaian tertutup. Padahal, tak semua perempuan Indonesia meyakini ajaran-ajaran agama tersebut. Ketika kasus pemerkosaan pada seorang perempuan berjilbab dan berpakaian tertutup terjadi, apakah masyarakat masih menyalahkan pakaiannya?

Kembali pada kasus Embun dan ketakutannya untuk berolahraga, hal itu menunjukkan bagaimana sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap perempuan sebagai sebuah objek seksual pasif yang seolah harus selalu dikendalikan perhiasan dan konstruk tubuhnya. Bila perempuan muncul di hadapan segerombol orang, maka perempuan harus siap “dilahap” baik melalui pandangan-pandangan yang menelanjangi tubuh mereka, ujaran-ujaran, hingga perlakuan lainnya.

Berolahraga adalah sebuah aktivitas yang dilakukan dengan tujuan menyehatkan tubuh maupun bersenang-senang. Ketika perempuan berolahraga, apa pun pakaian yang dikenakannya, niat mereka adalah untuk menyehatkan tubuh, bukan untuk mempertontonkan tubuh.

Dunia seharusnya bukan tempat yang mengerikan untuk perempuan. Dunia seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk menciptakan keteraturan sosial yang berlangsung dua arah, dalam artian tak hanya berupa upaya tunggal kaum perempuan, hal yang bisa dilakukan sesungguhnya dapat dimulai dari pola asuh orang tua pada anak-anak mereka.

Masyarakat dan keluarga harus mengajarkan anak laki-lakinya untuk bersikap sopan dan menghargai perempuan sebagai manusia, bukan sebagai sebuah objek seks maupun komoditas. Sementara anak perempuan harus diajarkan pentingnya melakukan segala sesuatu berdasarkan apa yang diyakininya, bukan hanya apa yang menjadi suruhan maupun tuntutan masyarakat.

Saling menghargai adalah sebuah nilai mendasar yang seharusnya diamini seluruh manusia di muka bumi ini. Manusia yang cerdas adalah manusia yang keberadaannya tidak merugikan manusia lainnya.

Selma Kirana Haryadi, mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran Bandung