Orang Batak sarat dengan stereotip masyarakat sebagai orang yang handal menjadi pengacara. Hotman Paris Hutapea, seorang pengacara yang aktif bermedia sosial dalam akun Instagramnya bahkan sering mengunggah video wejangan kepada warganet. Namun pada Selasa (4/11/2019), Hotman Paris menyatakan bila dirinya hendak pensiun sebagai pengacara.
Warganet sontak merespon baik keputusannya. Keputusannya ia dasari dengan perlunya regenerasi pengacara handal baru. Hotman Paris hanya salah satu pengacara berdarah Batak yang tenar sebagai pengacara, sebab sosok orang Batak lekat dengan citra bidang hukum.
Stereotip orang Batak sebagai pengacara muncul sejak tahun 1980-an. Saat itu, media-media di Indonesia acap kali melekatkan sosok pengacara pada tokoh orang Batak. Media menampilkannya dalam rupa entertainment maupun berita. Ternyata, tradisi orang Batak lekat dengan kegiatan berunding dalam forum.
Adrian Siregar (19), mahasiswa Jurusan Teknik Elekro Institut Teknologi Bandung menceritakan pemahaman opungnya (kakek) tentang filosofi orang Batak pandai bersilat lidah. Orang Batak dikatakan banyak ‘koyo’ atau dalam bahasa Indonesia berarti bersilat lidah, beralasan, dan berargumen.
Keahlian ‘koyo’ atau dalam bahasa Indonesia berarti bersilat lidah, beralasan, dan berargumen. Keahlian ‘koyo’ ini timbul dari tradisi orang Batak untuk berunding dalam susunan batu melingkar seperti yang dapat terlihat saat berwisata di Danau Toba, Sumatera Utara.
kebiasaan nongkrong yang banyak dilakukan orang Batak menjadi wadah berani berargumen. Hal tersebut mendasari sikap orang Batak yang keras saat berargumen.
Munculnya stereotip ini kemudian diimbangi dengan banyaknya pemberitaan media tentang menangnya kasus hukum dengan pengacara orang Batak. Hal tersebut mendorong masyarakat Indonesia untuk memilih pengacara yang bersuku Batak.
Profesi di bidang hukum dipandang sebagai pekerjaan yang memerlukan sikap dan karakter yang tegas dan cerdas dalam berargumen. Seorang pengacara keturunan Batak, Rizki Aritonang berpendapat bila kebiasaan nongkrong yang banyak dilakukan orang Batak menjadi wadah berani berargumen. Hal tersebut mendasari sikap orang Batak yang keras saat berargumen.
“Orang Batak identik dengan ngopi dan ngobrol, serta argumen. Jadi landasannya seperti itu. Hampir sebagan besar kawan-kawan gue yang Batak dan masuk kuliah ambil fakultas hukum mereka berani berargumen, suka ngobrol, suka ngomong. Dan omongannya selalu terlihat benar, padahal tidak, Tapi yaa lihat dari aktivitas orang Batak pada umumnya suka nongkrong,” jelas pria yang bekerja di konsulat hukum ini panjang-lebar.
Stereotip perihal yang terjadi pada suku Batak yang menggeluti bidang hukum juga terjadi pada Danish Sihombing, mahasiswa UPN Veteran Jakarta Jurusan Hukum. Satu keluarganya berkecimpung di bidang hukum. Ayahnya menjadi jaksa, dan ketiga kakaknya sarjana hukum. Salah satunya sekarang sedang menjalani pendidikan akhir calon jaksa, mengikuti jejak ayahnya.
Ketika ditanya mengenai alasan mengapa masuk jurusan hukum, ia menjawab bahwa jurusan hukum masih sejalur dengan jurusannya saat SMA, setelah itu juga karena ketiga kakaknya mengambil jurusan hukum, serta ayahnya juga mengambil jurusan hukum. Ia menyimpulkan dirinya akan lebih mudah belajar karena semua yang ada di keluarganya memiliki latar belakang pendidikan bidang hukum.
“Awalnya karena kakak pertama pengen ngambil jurusan psikologi, tapi dulu dilarang karena masalah biaya (jurusan psikologi jauh lebih mahal). Jadinya ambil hukum karena ngikutin bokap yang sama-sama hukum. Nah, tapi karena kakak yang pertama ini ambil hukum,” kata Danish.
Ia melanjutkan, kakak-kakak yang lain juga ikut masuk fakultas hukum karena merasa enak saja. “Bisa saling mengajari dan nggak perlu ngeluarin uang lagi buat beli buku karena buku matkul-nya turun temurun dipake karena semua orang ngambil hukum,” lanjutnya.
Danish menyatakan kesungguhannya berada di jurusan hukum berkisar 50 persen. Ganjalan biaya-lah yang membuatnya tidak bisa memilih jurusan lain. Pemuda berusia 19 tahun ini sebenarnya merasa kesukaannya pada bidang seni dan entertainment. Hingga saat ini ia masih membiasakan diri dengan bidang hukum yang masih mampu untuk dikuasai. Ia menilai jurusan hukum masih memiliki keterkaitan dengan jurusan IPS yang ia ambil semasa SMA.
Untuk perlakuan orang lain terhadap dirinya yang masuk di jurusan hukum sangat jarang dan bahkan tidak pernah terjadi lagi. “Menurutku, orang-orang bukan melihat ras atau sukunya dalam suatu jurusan. Orang-orang lebih melihat orang lain yang masuk hukum berdasarkan pendidikan sebelumnya saat SMA,” ujar Denish.
Nakayama dan Judith (2010) dalam bukunya – Intercultural Communication in Context, memaparkan, terdapat dua tahap pada kegiatan komunikasi. Tahap tersebut adalah statis dan dinamis. Statis merupakan tahap saat seseorang melabelkan orang lain menurut referensi latar belakang. Kemudian, pada tahap dinamis dijelaskan bila penilaian tidak lagi pada latar belakang referensinya tetapi pada individu orang tersebut.
Namun, realitanya memang benar jurusan hukum selalu diidentikkan dengan orang suku Batak. Pasalnya, dalam satu angkatan perkuliahan di jurusan itu, mahasiswa dari suku Batak dengan marga Batak di belakang namanya mendominasi kelas.
“Bisa dikatakan iya, karena hampir di setiap kampus mahasiswanya banyak banget sih yang Batak. Tapi di Purwokerto nggak ada dosen (bermarga) Batak. Tapi mahasiswanya banyak yang kuliah di fakultas hukum,” kata Rizki Aritonang.
Tidak selalu berlaku
Bagi keluarga Adrian Siregar, stereotip ini tidak berlaku. Kedua orang tua Adrian bekerja sebagai dosen pada bidang ilmu pengetahuan alam. Adrian menjelaskan ia turut menggeluti bidang IPA karena terkena imbas turunan kesukaan. Adrian dan kedua kakaknya mengambil jurusan yang tidak sama persis dengan orang tuanya, tetapi masih masih dalam ranah ilmu IPA. Dari latar belakang orang tuanya, tidak ada leluhurnya yang berfokus di bidang sosial.
“Sepertinya dari alam bawah sadar kami sebagai anak-anaknya juga tahu bahwa yang orang tua kami inginkan adalah kami dapat ‘hidup’ bermasyarakat yaitu dapat seminimal-minimalnya bertahan hidup. Dan yang orang tua saya paling tahu dan paham ‘jalur’ nya adalah di bidang science,” papar mahasiswa semester tiga tersebut.
Pada umumnya, pengacara yang bersuku Batak tidak mengalami perlakuan yang berbeda oleh kliennya saat mengetahui asal suku mereka. Namun, setiap klien memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda. Banyak klien yang baru merasa ‘aman’ bila kasusnya ditangani oleh orang Batak.
Pekerja hukum, Sharon Tampubolon mengatakan masyarakat sudah menjadikan orang Batak sebagai realita dari bidang hukum dan menjadi hal umum bagi masyarakat. Perlambangan kesukuan ini tidak perlu selalu dipandang miring oleh masyarakat.
“Menurut saya pribadi, pengkotakkan tersebut bukan berarti suatu hal yang negatif atau buruk, karena etnisitas yang merupakan realitas sosial tersebut perlu diberikan suatu fungsi untuk memperkaya perbedaan dan kebudayaan khususnya di Indonesia,” kata Sharon.
Persepsi rasial ini tidak hanya bagi orang Batak dengan komunitas di luar Batak, tetapi kepada komunitasnya sendiri. Pada salah satu firma hukum, pemangku jabatan perusahan tersebut hanya mau menerima pekerja yang bermarga sama. Kris Sijabat lulusan sarjana hukum mengatakan ada salah satu firma hukum yang memilih pekerjanya bila semarga.
“Di tempat gue tidak ada stereotip. Saya pernah tes di lawfirm tapi tidak masuk. Karena ada pemilik jabatan yang tinggi di lawfirm tersebut, ia hanya merekrut seorang ahli hukum yang berasal dari marga yang dimilikinya. Saya tidak bisa menyebut suku atau rasial, tapi ya begitu adanya,” jelas Kris.
Gregorius Amadeo, Oceandiva Widodo, Chrisstella Efivania, Mikhaangelo Fabialdi, Laurensius Thomas, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang (Banten) Jurusan Jurnalisme Multimedia.