Berburu Sastra Lawas Indonesia di Indonesia International Book Fair 2019

0
384

Istilah jangan sekali-kali melupakan sejarah nampaknya dapat digunakan dalam berbagai kondisi, termasuk membaca sastra. Bagi para kawula muda, membaca sastra lama Indonesia mampu jadi sebuah wadah panen wawasan perbendaharaan kata dan refleksi situasi sosial yang terjadi saat karya tersebut dibuat.

Namun, generasi muda sering dibayangi dilema akses bersentuhan dengan karya sastra lama tersebut. Tak jarang, buku-buku lawas ditemukan dalam kondisi yang kurang baik entah kertas yang menguning dan berbau atau halaman yang sudah tak utuh. Buku-buku lawas berkondisi prima kadang dijual dengan harga yang kurang sesuai dengan kocek pelajar atau mahasiswa.

Selain berburu di Blok M, Jakarta Selatan dan Taman Ismail Marzuki Jakarta Pusat, Indonesia Internationl Book Fair 2019 bisa menjadi jadi salah satu jalan keluarnya.

Pameran yang diselenggarakan pada 4-8 September 2019 lalu di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta Selatan, menyediakan berbagai penerbit sastra lama seperti Obor dan Balai Pustaka dengan potongan harga menarik berkisar 20 persen-90 persen. Buku-buku karangan sastrawan lintas angkatan yang didominasi sastrawan angkatan Balai Pustaka hingga angkatan 1990-an mulai dari Abdul Muis, Marah Rusli, hingga Mochtar Lubis tersedia di pameran ini.

Koleksi sastra lama Indonesia cukup banyak ditemukan di IIBF 2019, salah satunya karya sastrawan Mochtar Lubis. (Foto: Diana Valencia)

Namun disayangkan, karya sastra angkatan pujangga lama dan sastra Melayu lama masih jadi barang langka di IIBF 2019. Meski demikian, perburuan sastra lawas masih tetap menyenangkan karena rata-rata buku dijual dengan kondisi masih tersegel dan diskon yang tak membuat kantong semakin kering. Bahkan, booth Balai Pustaka menyediakan versi hard cover dari beberapa karya sastra lama seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan sebagainya.

Kesenangan ini turut dirasakan Brigita Novena, siswi SMAN 2 Tangerang, di IIBF 2019. Ia mengaku dirinya memang sedang mempelajari sastra berbagai angkatan melalui pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Dari situ, ia kemudian mengetahui berbagai sinopsis karya sastra dan tertarik untuk membacanya secara utuh.

“Siti Nurbaya sering banget tuh aku dengar dari kecil, tapi aku enggak tahu kisah asli yang lengkapnya seperti apa. Jadi kepengen tahu juga gitu, kebetulan lagi diskon ya sudah beli saja,” ujar Novena.

Tak hanya memuaskan rasa ingin tahu, perburuan sastra lama nampaknya juga mampu jadi sarana bernostalgia segelintir orang. Seperti halnya Mohd Zaini bin Rahmad, turis dari Malaysia, yang berkunjung ke IIBF 2019.

Zaini yang kebetulan sedang berkunjung ke Indonesia mendengar ada pameran buku ini dari media sosial. Ia pun memutuskan berkunjung untuk dapat kembali memperoleh bahan bacaannya semasa duduk di bangku sekolah tersebut. Sastra klasik Indonesia memang bukan sebuah barang yang mudah ditemui di Malaysia.

“Dari SMA, kami sudah diberikan pengetahuan soal sastra klasik Indonesia. Bahkan dijadikan bahan ujian, seperti buku Abdul Muis yang Salah Asuhan. Itu di mata pelajaran kesusastraan Melayu tetapi membahas buku sastra Indonesia,” ucap Zaini.

Pria berusia 44 tahun ini mengaku masih menikmati membaca sastra klasik Indonesia karena unsur sejarah dan nilai masyarakat yang kental dibahas dalam karya tersebut.

“Saya menikmati buku, terutama buku-buku filsafat, sastra, dan sejarah. Sejarah yang dibahas di sastra klasik itu memiliki kesamaan seperti Malaysia. Ada banyak informasi juga yang saya bisa dapatkan ketika membaca sastra klasik di Indonesia, nilai dan norma di masyarakat lampau contohnya,” tuturnya.

Penikmat baru dan penikmat lama karya sastra lawas Indonesia rasanya dapat menjadi bukti sebuah sastra yang berkualitas dapat menerabas waktu atau kehadiran fisik sang sastrawan. Karya akan selalu bicara dengan caranya sendiri.

Suasana hari pertama Zona Kalap yang terdapat di IIBF 2019, Rabu (4/9/2019), JCC, Jakarta Selatan. (Foto: Diana Valencia)

Diana Valencia, Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara.