Pernikahan Dini Kekang Perempuan Dusun Seriwe, Jerowaru, Lombok Timur untuk Berdikari

51
643

Pernikahan merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh setiap orang ketika usia dianggap sudah dewasa, yaitu ketika seseorang sudah dirasa matang secara emosional maupun sudah mampu bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, terjadi perubahan pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya yaitu pada aspek sosial masyarakat.

Sekarang sebagian besar masyarakat di kota-kota besar lebih memilih untuk menikah pada usia mapan bahkan beberapa dari mereka ada yang memilih untuk tidak menikah. Keputusan tersebut diambil dengan alasan tidak ingin memiliki anak, ingin selalu merasakan kehidupan yang bebas dan tidak terikat oleh ikatan pernikahan, ataupun alasan pribadi lainnya.

Namun, hal di atas sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Dusun Seriwe, Seriwe,  Jerowaru, Lombok Timur, NTB. Kehidupan sosial masyarakatnya sungguh bertolak belakang dengan perkembangan masyarakat di luar sana.

Hal ini karena budaya atau kebiasaan yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Kebiasaan sosial masyarakat yang menjadi sorotan yaitu kebiasaan mereka menikah di usia muda, dengan rata-rata masih duduk di bangku SMP atau SMA.

Pernikahan di usia muda ini sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat dan tidak dapat dilarang atau dihentikan. Pernikahan di usia muda tidak dipandang sebagai hal yang tabu karena pandangan mereka yang berbeda akan hal ini.

Berbeda dengan banyak perempuan di luar Dusun Seriwe yang berlomba-lomba untuk mengejar mimpinya dengan terus melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya, di dusun ini perempuan yang tidak segera menikah justru dipandang aneh. Prinsip bahwa semakin tinggi pendidikan, perempuan akan semakin berdaya dalam hidup dan lebih mampu mendapatkan kesejahteraan yang baik seakan dilupakan.

Berbagai alasan yang bersumber dari dalam maupun luar diri membuat masyarakat terus melakukan hal tersebut. Dari sisi perempuan, alasan mereka menikah muda adalah karena sudah mencintai pasangannya, berpikir bahwa tawaran untuk menikah tidak datang dua kali, dijodohkan oleh orangtua, hingga ketakutan disebut sebagai ‘mosot’ atau perawan tua.

Tradisi menculik

Lebih miris lagi yaitu terdapat cerita perempuan usia muda yang menikah karena di ‘pelet’ oleh laki-laki yang menginginkannya. Selain itu, di suku Sasak yang merupakan suku asli di wilayah itu, termasuk di Dusun Seriwe, dikenal suatu kebiasaan yang disebut “menculik”. Jika ada seorang perempuan yang disukai oleh seorang laki-laki, maka laki-laki bisa menculik sang perempuan ke rumah keluarga laki-laki.

Pihak laki-laki akan menghubungi keluarga perempuan dan menyampaikan bahwa si perempuan sudah diculik. Menurut kebiasaan masyarakat, apabila sudah diculik maka pihak perempuan termasuk keluarga perempuan tidak boleh menolak sehingga pernikahan pun menjadi satu-satunya jalan keluar. Kebiasaan ini masih terjadi di masyarakat, dan tentunya menambah jumlah pernikahan dini di Dusun Seriwe.

Keadaan ekonomi serta keterbatasan pendidikan juga melatarbelakangi perempuan untuk menikah di usia muda.  Kebiasaan menikah muda ini secara tidak langsung merugikan perempuan karena akan menghambat perempuan untuk dapat berdaya. Berdaya dalam hal mengembangkan diri dan terus melanjutkan pendidikannya.

Dapur rumah menjadi tempat perempuan menghabiskan waktu setiap harinya. Banyaknya pasangan yang menikah di usia dini menyebabkan mereka harus berhenti dari bangku sekolah. Hal tersebut tentunya menghentikan proses pendidikan dan memaksa pasangan untuk segera memulai kehidupan mandiri dengan modal seadanya.

banyak kasus di Dusun Seriwe yang menunjukkan pernikahan usia muda rentan mengalami perceraian karena mereka belum siap secara matang dari sisi emosional hingga finansial

Banyak perempuan yang berakhir sebagai ibu rumah tangga tanpa berkesempatan merasakan pendidikan yang lebih tinggi, apalagi meraih cita-cita mereka. Padahal, beberapa pasangan usia muda yang penulis wawancarai mengatakan bahwa sebenarnya mereka masih ingin bersekolah dan memiliki pekerjaan yang diimpikan. Namun, berbagai alasan di atas lebih mampu mengubur mimpi-mimpi tersebut.

Pernikahan usia muda di Dusun Seriwe ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidaksetaraan gender karena perempuan akan terhambat (stagnan). Terlebih, banyak kasus di Dusun Seriwe yang menunjukkan pernikahan usia muda rentan mengalami perceraian karena mereka belum siap secara matang dari sisi emosional hingga finansial.

Apabila perceraian terjadi, perempuan merupakan pihak yang paling dirugikan. Perempuan akan lebih sulit dalam melanjutkan hidup, sehingga hal ini pun dapat memicu timbulnya permasalahan lain yaitu poligami. Poligami juga merupakan sebuah fenomena yang cukup sering terjadi di Dusun Seriwe.

Selain itu, dari sisi kesehatan, pernikahan dini juga telah membawa banyak dampak negatif bagi masyarakat Dusun Seriwe. Pernikahan dini beresiko pada keguguran, bayi kecil, dan masalah lain yang timbul karena ketidaksiapan ibu secara fisik. Sebagai contoh, penulis menjumpai kasus di Desa Seriwe, seorang perempuan usia 18 tahun telah hamil tiga kali dan mengalami keguguran pada dua kali kehamilan sebelumnya. Tak hanya itu, pernikahan dini juga meningkatkan resiko kekerasan pada rumah tangga dan membebani pasangan secara psikologis.

Fenomena di atas tentunya patut menjadi perhatian khusus bagi masyarakat termasuk pengambil kebijakan. Pembatasan minimal usia untuk menikah seharusnya bisa diperketat sehingga mereka yang belum memenuhi syarat usia benar-benar tidak bisa menikah. Selain itu, penanaman nilai-nilai sedini mungkin kepada anak-anak Dusun Seriwe sangat diperlukan, seperti pentingnya mengejar cita-cita dan mengenai kesetaraan gender. Hal tersebut tentunya menjadi tanggung jawab bersama demi mendukung perempuan di Dusun Seriwe untuk bisa lebih berdikari.

Bergita Gusti Lipu dan Indhah Kusumaningtya