sebuah ucapan “selamat pagi” yang tidak selamat
Telah ada ribuan pagi yang lahir.
Satu di antaranya adalah waktu
penentu: terus berjalan atau pulang kepada diri.
Seusai salat subuh, kau tak menarik selimut, tak sembunyi dari matahari, tak rebah hingga duhur. Kau memandangku dengan kedip mata yang lebih jarang, kau merekatkan jari-jarimu; mencipta hangat yang selalu dirindukan leherku.
Aku telah tahu dirinya,
dia tahu diriku, dan
kami tak tahu apa-apa.
“Mencintainya atau mencintaiku sama-sama mulia, sama-sama memberi, sama-sama menjadikanmu manusia”
Sorot matanya—menangkap ucapanku
selalu membuat tubuhku rubuh.
“Perasaanmu adalah urusanmu, perasaanku adalah urusanku. Kita hanya perlu memilah itu, bukan memilah kita”
Asap putih rokoknya semakin jauh dari bibirnya
—yang manis rasanya.
Pagi itu, aku:
tak mengerti arah jalan dan tak kunjung paham arti pulang.
Di Sudut Basabasi Kragilan
Setiap pagi menyingsing,
sebelum seutuhnya matahari merekah,
kulihat bulu-bulu lembut matamu ditiup angin
—kehidupan yang kutahu selain deru nafasmu.
Di sampingmu padi-padi tumbuh tak berisik.
Gelas, puntung rokok, dan botol air mineral berseru
saling saut. Mereka senang bibirmu
telah menyentuh mereka.
Bayi-Bayi Matahari
Pagi tadi, di hamparan padi—yang tumbuh tak berisik
ada yang perlahan lahir
menyentuh tangkai-tangkai padi
juga pipimu;
tempat bayi-bayi matahari merekah.
Afaf Mutia Zahwa