Menstruasi dan Kenyataan Pilu

2
541

Anjani, bukan nama sebenarnya, masih ingat benar hari itu. Hari di mana rasa malu meliputi dirinya, melebihi hari-hari lainnya. Saat itu, dirinya masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Suatu hari, ketika hendak naik ke mobil jemputan yang akan membawanya pulang ke rumah, Anjani dipanggil dengan cara yang membuatnya tidak nyaman.

“Neng… Neng! Kenapa tuh rok-nya merah-merah?”

Awalnya, Anjani tak ambil pusing mendengar celotehan para lelaki yang sedang nongkrong di warung belakang sekolahnya sambil tertawa-tawa dan saling berbisik. Namun, Anjani mulai terganggu ketika menyadari bahwa yang pria itu sahuti adalah dirinya. Anjani menghentikan langkahnya dan segera menengok ke belakang, melihat bagian belakang rok putih yang ia kenakan. Anjani kaget. Sebuah pola berwarna merah tak beraturan menghiasi bagian belakang tubuhnya. Anjani malu.

Realita perempuan dan menstruasi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Sayangnya, menstruasi sebagai proses alamiah pada perempuan sering kali dianggap sebagai sebuah kondisi yang abnormal. Menurut Lupton (1994) dalam penelitian yang berjudul Medicine as Culture: Illness, Disease, and the Body in Western Societies, rahim merupakan sumber dari berbagai persoalan yang dihadapi perempuan. Hal itu ternyata memiliki implikasi yang luas dalam penataan sosial.

Beberapa tradisi suku tertentu melarang perempuan yang sedang menstruasi untuk mendatangi tempat-tempat yang dianggap suci. Perempuan yang sedang menstruasi juga kerap dilarang untuk mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan. Hal itu disebabkan oleh anggapan sebagian masyarakat bahwa menstruasi adalah sebuah kutukan. Menstruasi bahkan kerap dianggap sebagai sebuah hal yang menjijikkan. Padahal, menstruasi sejatinya merupakan tanda sehatnya organ reproduksi perempuan serta lancarnya fungsi hormonal.

Hal itu jadi salah satu penyumbang terbentuknya stigma yang tidak tepat mengenai menstruasi dan perempuan

Rasa malu ketika “ketahuan”  menstruasi bukan hanya pernah dirasakan Anjani. Banyak perempuan merasa menstruasi merupakan hal yang harus ditutup-tutupi. Tentu salah satu sebabnya adalah perlakuan masyarakat di sekitarnya. Para pria di warung kopi yang menertawai Anjani hanyalah salah satunya.

Perlakuan masyarakat yang seolah merasa jijik dengan menstruasi maupun perempuan yang tengah mengalami menstruasi, membuat perempuan merasa minder sehingga perlu menutup-nutupinya. Hal itu jadi salah satu penyumbang terbentuknya stigma yang tidak tepat mengenai menstruasi dan perempuan.

Bila dikaji lebih dalam, menstruasi memang memiliki lapisan sosial yang sangat kompleks. Sejak zaman dahulu, perempuan yang sedang menstruasi diidentikkan menjadi pribadi yang lain. Seolah-olah perempuan kehilangan otoritas atas tubuhnya sendiri akibat perubahan suasana hati, emosi yang tidak stabil, serta serangkaian perubahan fisik yang tidak direncanakan.

Banyak aspek kehidupan masyarakat yang secara langsung mempengaruhi menstruasi. Menurut Abdullah dalam penelitian yang berjudul Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya atas Realitas Gender, aspek politik, ekonomi, bias kekuasaan, hingga patriarkisme turut menjadi bayang-bayang perempuan dan menstruasi sejak zaman dahulu. Belum lagi, anggapan mengenai pre-menstrual syndrome (PMS) yang seolah disepakati masyarakat sebagai bentuk inferioritas perempuan.

Hal itu menyebabkan berbagai perilaku diskriminatif diarahkan pada perempuan yang sedang menstruasi. Menstruasi turut menyebabkan terlucutinya hak-hak perempuan, baik secara pribadi maupun publik. Anggapan-anggapan mengenai PMS khususnya telah mendoktrin dalam membatasi perempuan untuk  berkegiatan secara produktif.

Tiada edukasi seks

Seiring waktu, asumsi akan ketabuannya membuat pembahasan mengenai menstruasi semakin dihindari. Hasilnya, banyak perempuan tak mengetahui seksualitas dan kondisi organ reproduksinya sendiri. Hal itu berkaitan dengan edukasi seks yang nyaris tak dilakukan di Indonesia, meliputi pengetahuan memadai tentang organ-organ reproduksi.

Implikasinya terdapat pada sebuah contoh yang amat sederhana, keengganan serta rasa malu untuk menyebut “penis” dan “vagina”. Edukasi seks yang tak diterapkan secara komperhensif sejak dini adalah masalah paling mendasar yang merembet ke banyak aspek karena tak direalisasikan.

Ketidakpahaman itu melahirkan kecenderungan perempuan bersikap pasif dengan menerima menstruasi sebagai sebuah “takdir”. Ketika menstruasi datang dengan serangkaian gejala fisik maupun psikologis, tak sedikit perempuan yang kebingungan harus melakukan apa. Padahal, pengetahuan akan kondisi tubuh, psikologis, dan penanganan tepatlah yang akan menentukan kesehatan menstruasi (menstrual health) setiap perempuan.

Minimnya kesadaran dan pengetahuan tentang menstruasi membuat perempuan juga cenderung tidak mengambil langkah penanganan apapun. Bila perubahan tersebut masih pada batas yang wajar, mungkin tidak menjadi masalah. Namun, bagaimana bila perubahan tersebut sudah pada kondisi yang parah sampai mengganggu aktivitas sehari-hari? Untuk itu, penting bagi semua orang untuk mengetahui alasan di balik perubahan-perubahan dalam diri perempuan ketika tengah mengalami menstruasi dan penanganan apa yang tepat untuk dilakukan.

Bukan hanya perempuan, laki-laki juga perlu memahami menstruasi secara tepat. Kasus ejekan yang Anjani dapatkan adalah salah satu contohnya. Pengetahuan yang memadai mengenai kesehatan menstruasi memang penting dimiliki oleh semua orang. Dengan mengetahui kondisi fisik dan psikis saat dan menjelang menstruasi, perempuan bisa mengetahui hal apa yang harus dilakukan. Perempuan juga bisa mengantisipasi hal-hal terkait menstruasi yang akan terjadi pada dirinya.

Seiring waktu, banyak pihak mulai menyadari letak kesalahan berpikir yang telah jauh berjalan. Timbul kesadaran untuk merekonstruksi sekaligus membenahi realitas menstruasi pada perempuan. Seiring dengan lahirnya berbagai gerakan yang menyuarakan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, lahir pula ujaran-ujaran yang menggalakkan pentingnya akses kesehatan menstruasi bagi perempuan.

“MH Day”

Sejak tahun 2014, tanggal 28 Mei diperingati sebagai Hari Kebersihan Menstruasi atau Menstrual Hygine Day (MH Day). Ditetapkannya peringatan hari itu merupakan wujud kepedulian terhadap menstruasi dan perempuan. MH Day diinisiasi oleh organisasi non-pemerintah asal Jerman bernama WASH United. Bukan hanya kepedulian, MH Day juga merupakan wujud melawan ketabuan terkait penunjang kebersihan dan kesehatan menstruasi bagi perempuan di seluruh dunia.

Dianggap tabunya pembahasan mengenai menstruasi dan seksualitas lainnya harus segera dihilangkan. Dampak buruk malah akan timbul bila pembahasan yang komperhensif dan terbuka tidak dilakukan. Masyarakat, khususnya perempuan, nantinya tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara menangani gejala-gejala yang dialami saat menstruasi.

Stigma dan pemahaman yang salah mengenai menstruasi di masyarakat tidak seharusnya terbentuk. Sosialiasi melalui berbagai media dan pengajaran di sekolah penting untuk dilakukan. Menstruasi bukanlah hal yang tabu dan menjijikkan. Menstruasi adalah sebuah proses alamiah pada tubuh perempuan.

Selma Kirana Haryadi, mahasiswi Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran