Panas Terik di Tengah Metropolitan

0
282

 

Kamis, 5 Juli 2018

Panas. Menyengat. Ramai. Kacau.

Itulah sebagian besar yang orang rasakan ketika mengarungi belantara Ibu Kota yang konon lebih kejam daripada ibu tiri.

Terhitung sudah empat hari aku bekerja sebagai Magangers di Kompas Muda. Pada hari keempat inilah tantangan menjadi wartawan sesungguhnya dimulai. Kebetulan, kelompokku memutuskan untuk meliput tentang kamera analog. Ya, kamera yang masih pakai roll film, yang harus dicuci dulu sebelum melihat hasil jepretan yang kita ambil. Untuk mendapatkan informasi tersebut, kami harus pergi ke berbagai tempat yang tentunya tersebar di beberapa bagian Jakarta.

Bukan, bukanlah tantangan dalam mewawancarai narasumber yang ingin kuceritakan. Biarkan itu jadi lain cerita. Aku ingin menceritakan sebuah “dari balik berita” dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Bagiku, menjadi wartawan sebenarnya bukan hanya tentang keterampilan bergaul dengan orang lain dan keterampilan mencari informasi. Tetapi juga keterampilan mengenali medan yang akan dilalui.

Kejadian itu pun menimpa kelompok kami. Inilah cerita kami.

Berhubung tempat kami meliput agak jauh dari Palmerah, kami harus menggunakan kendaraan untuk menuju ke sana. Awalnya, kami ingin untuk menggunakan jasa Go-Car karena lebih praktis. Namun, ongkos Go-Car sungguh terlalu. Jadi, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan Transjakarta.

Apesnya, di kelompok kami tidak ada seorang pun yang habitatnya benar-benar di Jakarta. Kebanyakan dari kami berasal dari Tangerang, bahkan ada yang berasal dari luar Jabodetabek. Sudah dapat dipastikan kita tidak begitu mengenal seluk beluk Ibu Kota yang sangat metropolis. Memang, sih kita sudah mencari-cari tahu rute Transjakarta untuk ke lokasi. Tetapi, praktik di lapangan tidaklah semudah yang tertulis di kertas.

Awalnya, perjalanan dari Palmerah menuju Pasar Baru baik-baik saja. Namun, setelah dari Pasar Baru, masalah kami pun dimulai. Saat berangkat dari Palmerah, kami hanya membayar tarif Transjakarta di loket. Ketika kami mau berangkat dari Pasar Baru, ternyata kami harus menggunakan kartu.

Karena ini baru pertama kalinya naik Transjakarta plus dilengkapi ketidaktahuan, sebagian dari kami tidak membawa kartu sejenis e-Toll atau Flazz. Tadinya kami bingung harus bagaimana. Kami tidak bisa masuk ke halte Transjakarta. Tetapi, untung saja salah satu dari kami membawa kartu Flazz dan mau meminjamkannya sehingga untuk sementara waktu kami selamat.

Singkat cerita, kami sudah di dalam Transjakarta menuju STC Senayan. Tapi… kami bingung mau turun di mana.

“Mau turun di mana ini? Senayan atau GBK? Ngerti jalannya, enggak?”

“Waduh, enggak ngerti, deh. Gue bukan orang Jakarta.”

Begitulah kira-kira percakapan di antara kami. Karena kurang riset, jadinya buta arah. Kami pun mencoba bertanya-tanya kepada orang lain. Tetapi, sebagian besar tidak tahu apa itu dan di mana STC Senayan. Akibatnya, kita pun berkali-kali ganti bus karena salah jurusan, bahkan nyasar sampai daerah Kota. Akhirnya, kita pun bertemu kondektur bus yang tahu lokasi STC Senayan dan memberikan kita arahnya. “Kalian turun di halte Bundaran Senayan, terus….” Ah, sudah lupa penjelasan kondekturnya. Tetapi, yang pasti pada akhirnya sampai juga kita di STC Senayan.

Singkat cerita setelah menghabiskan waktu di STC Senayan, waktu menunjuk pukul setengah tiga. Tinggal tiga puluh menit buat kita untuk segera kembali ke gedung Kompas.

Nah, pas mau balik, kita juga tidak tahu cara baliknya. Dengan mengandalkan intuisi, kita pun turun di Halte Tosari. Nahas, setelah sekian lama menunggu ternyata tidak ada bus yang menuju Palmerah. Entah mengapa, aku tidak tahu. Beberapa menit kemudian, kami pun memutuskan untuk kembali ke Halte Harmoni sembari berharap di sana akan ada bus menuju Palmerah. Ditambah lagi, kala itu sedang jam sibuk sehingga kami harus uyel-uyelan dengan manusia-manusia pengguna Transjakarta yang lain. Ketika turun di Harmoni, kami pun menghirup napas dalam-dalam. Setelah di ruang penuh sesak, akhirnya kami mendapat angin segar.

Lagi, kami mencoba bertanya-tanya kepada orang-orang yang berlalu-lalang. Dikacangin? Iya banget! Apalagi, pas jam sibuk, mungkin orang lain juga sedang terburu-buru sehingga tidak dapat membantu kami. Jadinya, kami menunggu di depan gate Transjakarta sambil bertanya kepada kondektur bus yang lewat.

“Palmerah, Mas?” tanya kami.

“Bukan, Dek. Ini ke Kota.”

“Nggak lewat, Dek. Ini ke Kalideres.”

Begitu seterusnya. Entah berapa kali kami bertanya, sampai ada satu bus jurusan Blok M lewat.

“Mas, kalau mau ke Palmerah lewat enggak?”

“Oh, bisa kalau ke Palmerah,” ujar kondektur bus itu. Entah bagaimana harus mengungkapkannya. Yang pasti, kita senang karena akhirnya ada bus yang bisa ke Palmerah. “Kalian naik dari sini, lalu turun di Karet,” lanjut kondektur itu setelah kami masuk ke dalam Transjakarta. “Habis itu, kalian cari bus yang langsung ke Stasiun Palmerah.”

Macet. Itulah kondisi lalu lintas saat itu. Kira-kira selang dua puluh menit sebelum kami turun di Halte Karet. Cukup lama menunggu bus menuju Palmerah sehingga kami harus mengabari Mas Osa (Kepsek Magangers Batch X) mengenai keterlambatan kita. Ya, untungnya Mas Osa hanya menyuruh kita untuk datang secepatnya. Untungnya lagi, ada kelompok lain yang juga masih dalam perjalanan.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya bus yang ditunggu datang juga. Kami bergegas masuk ke dalam. Tentu tidak mau ketinggalan bus yang telah ditunggu selama sepuluh menit itu.

Macet lagi. Apalagi, saat masuk di Palmerah. Kendaraan berseliweran di mana-mana, ciri khas hiruk-piruk Ibu Kota.

Jam menunjuk pukul tiga sore lewat seperempat. Artinya, kita telat lima belas menit. Pada menit itulah bus yang kita naiki tiba di Stasiun Palmerah. Segera kita bergegas turun. Secepat mungkin kita kembali ke markas Magangers.

Nah, jadi begitulah ceritaku keliling Ibu Kota hari ini. Capek, sih pasti. Rasa kesal dan senewen, sih pasti. Jika harus menceritakan petualanganku hari ini dengan satu kata, maka aku akan mengatakan, “Seru!” Akhirnya, aku belajar untuk keluar dari zona nyaman dan dapat mengenal Jakarta dengan lebih baik lagi.

Vanessa Kristina
Magangers Batch X – Kelompok Nuntius