Gunung dan Coretan Terpahit Manusia

0
518
Corak warna pylox serta tempelan stiker dari antah-berantah terlihat angkuh melekat pada bebatuan dan plang pos pendakian Gunung Arjuno. Mulai dari nama sepasang kekasih sampai dengan tulisan mantera pelancar keberuntungan terbaca jelas oleh para pengunjung. Gunung pun tak dapat berkutik menerima kenakalan dari tangan manusia yang merusak keindahan ciptaan Tuhan secara perlahan. Puncak Ogal Agil yang dipenuhi bebatuan seukuran meja makan yang dulunya berwarna kealamian sekarang telah tampak berubah rona menjadi tidak karuan.

Gunung Arjuno berada dibawah pengelolaan Taman Hutan Raya Raden Soerjo. Gunung yang terletak diantara perbatasan Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang ini tercatat sebagai salah satu gunung api berstatus istirahat yang memiliki angka ketinggian mencapai 3.339 Mdpl, hal ini menjadikannya sebagai gunung terjangkung ke-3 di Jawa Timur setelah Gunung Semeru dan Gunung Raung.

Gunung Arjuno sendiri menurut Odod Ipaenin, salah satu anggota Ikatan Mahasiswa Mojopahit Pecinta Alam (IMMPA), diminati oleh para pendaki karena terkenal dengan salah satu jalur pendakiannya yang benama Tretes, dimana hampir seluruh track yang dilalui merupakan bebatuan. Jika pengunjung hendak memulai perjalanan dari arah Mojokerto, butuh waktu tempuh berkisar 3 – 4 jam untuk mencapai post awal jalur pendakian Tretes, dikarenakan jalur berliku serta tanjakan dan turunan yang silih bergantian sepanjang perjalanan.

Sesampainya di pos basecamp Tretes, pengunjung diharuskan melakukan pendataan diri pada pos yang telah disediakan. Jumaidi, penjaga pos Tretes, mengatakan, pendaki pada umumnya berasal dari daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ia juga menuturkan jika pada hari biasa, tidak lebih dari 15 orang yang tercatat melakukan aktifitas pendakian di Gunung Arjuno.

Pendaki Gunung Arjuno biasanya ramai berdatangan ketika liburan panjang dan hari-hari besar kenegaraan seperti Hari Sumpah Pemuda dan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sehingga menurut Jumaidi, jumlah pendaki yang membeludak mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan gunung yang tidak bisa dielakan. Salah satunya adalah maraknya aksi vandalisme oleh para pengunjung di sepanjang jalur pendakian gunung yang namanya diambil dari sastra kuno Bhagawan Byasa ini.

Staff Tahura R. Soerjo, Sudarso Tarmono,  menyatakan, aksi vandalisme yang dilakukan oleh oknum pendaki seperti pencoretan dan penempelan stiker mengakibatkan rusaknya alam yang seharusnya dapat dinikmati oleh para pengunjung. Dalam hal ini, Gunung Arjuno merupakan salah satu dari deretan gunung yang merasakan imbas dari tindakan tidak terpuji itu.Hal ini pun tidak dipungkiri oleh pihak pengelola Taman Hutan Raya Raden Soerjo.

“Memang banyak, apalagi di puncak. Plang pos yang ada juga sebagian sudah kotor semua. Sebenarnya beberapa kegiatan pembersihan coretan sudah ada dilakukan baik dari pihak kami maupun dari pendaki yang bersimpati, namun dampaknya juga tidak terasa banyak karena pendaki lain juga terus mencoret-coretnya. Vandalisme ini sebenarnya masalah yang telah sering kami bicarakan dan masih belum didapatkan solusinya,” tutur Sudarso Tarmono ketika ditemui di pos satu Pet Bocor.

Plang penanda terpampang rapih dan bersih di pos satu, hal yang bertolak belakang malah  terlihat ketika pendaki menginjakan kaki di pos dua Kopkopan, terlihat plang bertuliskan mushola disejajaran warung telah dipenuhi debu dan tempelan stiker yang menutupi sebagian tulisannya. Para pendaki yang lewat mengatakan plang tempat ibadah yang dipajang disana bahkan tampak serupa potongan papan yang tidak jelas menginformasikan sesuatu.

Nyeng (31) salah seorang pendaki yang ditemui ketika berada di pos dua, saat ditanya mengenai plang tersebut mengatakan bahwa Ia tidak menyadari gubuk kecil disana merupakan mushola dan malah mengira bahwa tempat itu adalah gudang penyimpanan warung, pasalnya plang yang tidak kentara ketika dilihat sekilas dari kejauhan dan banyaknya coretan dan tempelan stiker. Tak ayal para pendaki malah tidak meghiraukannya. Masalah vandalisme dan sampah sebagai problem penting pun juga turut dieluhkan oleh Nyeng.

“Aku berharapnya plang-plang penanda disini dapat diperbaiki lagi oleh pengelola soalnya jelek aja gitu. Gunung kan bagi orang-orang seperti aku adalah tempat melepas lelah dengan kondisi kota dangan menikmati pemandangan yang asri, tapi malah kotor kayak gini. Aku juga ingin sih kapan-kapan ngebersihin coretan di sini kalau ada kesempatan. Di gunung lain pun engga beda jauh juga kondisinya,” ucap Nyeng menambahkan.

Sepanjang pendakian menuju puncak, pengunjung masih harus ditemani oleh warna-warni tulisan pylox, coretan spidol, dan tempelan stiker dimana-mana. Pemandangan tidak sedap tersebut juga turut dirasakan oleh Dodi Mulyadi, seorang pendaki asal Padang  yang hendak melakukan perjalan turun dari puncak, Ia meyatakan bahwa kondisi gunung yang diharapkan alami, malah berubah menjadi tidak sedap dipandang mata. Ia juga menuturkan perlu adanya suatu upaya tindakan pencegahan vandalisme di gunung-gunung agar tidak semakin parah.

“Kalau begini terus, dan dibiarkan saja bakal rusak gunung kita, anak-anak alay seharusnya dilarang naik gunung, bukannya menjaga malah ngerusak saja. Di puncak sudah ennga bagus lagi sekarang,” ujar Dodi dengan raut marah.

Founder CAV of Mountain yakni gerakan pembersihan vandalisme digunung bernama Lalu Kartika, mengatakan vandalisme adalah bentuk pewujudan eksistensi para pendaki yang salah. Beberapa solusi yang dapat dilakukan adalah dengan pengedukasian para pendaki sebelum memulai pendakian mengenai dampak negatif dari budaya vandalisme. Selain itu tindakan kuratif yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan dan mendukung aksi pembersihan vandalisme di gunung-gunung Indonesia. Dengan aksi itu diharapkan  orang-orang dapat sadar bahwa bukan cuma manusia yang butuh dihargai, namun alam pun juga.