Teruntuk: Sungai Pada Tubuhku
Pagi ini: dada terasa sesak. Penuh. Berkemelut.
Aku pelajari perihal maknawi kata: keluarga.
Sampai otak benar menengadah kepada semesta.
Aku rindu. Terlebih, aku ingin.
Kemana aku harus mencari Tuhan?
Pada setiap sujudku, aku bisikan kepada tanah untuk sebuah kerinduan.
—————————————————–
Terjawab: sebuah tekad di hati.
Aku ingin keberadaan semesta, turut dengar sesuatu yang kunamai: kutukan.
Tubuh dan hati bisa apa? Menangiskah?
Aku dendam kepada tubuhku.
Kuajari tubuhku menyusuri ujung bumi,
mencari keberadaan fatamorgana. Terlebih jikat: bodoh.
Hanya itu yang mampu aku lakukan,
agar kau tersenyum dan menyembunyikan tangis pada pelupuk netra.
Agar aku juga tak sampai tumpah…
Entahlah? Dendamku hanya tercipta untukku, tubuhku dan hatiku.
Aku begini karena:
———————————————————–
sibuk melangitkan impian yang ditedang berulang-ulang, aku langitkan kembali.
Dan terlebih aku menebalkan dinding kuping untuk sebuah kutukan!
Kutukan!
Aris Kertoleksono Dampit, 23 Januari 2017
Portal: dipertanyakan (?)
Kemelaratan!
Melarat!
Larat!
_______________
Borjuasi melaknat!
Tulisan-tulisan menjadi terjerat.
_______________
Tulisan-tulisan trotoar tak lagi dimuat.
Pewarta dijejali isu fatamorgana!
Menyapu bersih segala tipu daya yang tumpah
***
Menjadi darah!
Getih!
Despotik!
Merajai yang diraja
***
Bangkitlah Bumantara!
Pangku kami sampai tidak ada yang meludah kata-kata.
Kami anak cucumu hanya mampu menyusun aksara.
Jakarta, 27 April 2017
Gendrasmara: Borjuis!
*
Mawar merah itu kuwarnai: Hitam.
Sebagai warna dendam dunya.
Aku tidak menginginkan
Retorika dendam di dunya
Sampai pada telaga elegi Nya.
**
Jiwa mengambang di atas surat kabar.
Bagi manungsa lain: taka ada guna!
Status dan jabatan: saling mengkudeta
Menyumpal mulut-mulut kaum papa
Yang di otaknya hanya perkara:
Dua belas jari.
***
Laknat jiwa!
Sandiwara jalanan,
Limang ewu,
Sebagai ironi mata lensa
Senyum borjuis,
Uluran jemari yang jenaka,
Perkara jiwa pada dunia maya . . .
Sedayu, 25 Maret 2017
Kucing Hitam (Kliwon)
Bising!
Ssst… Ssst…
: mercusuar itu tak berpindah sejak masa pejajahan kala itu.
Aku pewarta membianglala kan tubuh kepada: semesta.
Tidak ada yang terlewat sedikitpun oleh tulisan-tulisanku.
Memar-memar dikepala, aku layangkan berita.
Dari balik jeruji aku menengadah akan: kebebasan.
Bagaimana bisa benar-benar menjadi manungsa
Jika untuk urusan dua belas jari saja, rakyat masih harus saling membunuh!
Larat hati!
: meminum keringat yang tak berdosa.
: meludah kata-kata.
: membakar aksara pewarta.
Merdekalah! Kata-kata tanpa dusta.
Turyantapadha, 14 Mei 2017
Ramuan Aksara
Lembaran puisi-puisi romantis, elegi bahkan balada dunia
Sudah aku kekalkan pada lembaran folio ku.
Tidak semua orang menyukai puisi-puisi: bahkan benci!
Bagaimana bisa?
Tulisan berjuta makna dan rahasia dibenci dan dimurkai
: keberadaannya.
Rahasia dunya ada pada puisi-puisi: mantra.
Tulisan-tulisan penuh kebebasan, seringkali dicekal.
Hanya karena sebuah diksi.
Salah ketik. Atau memang salah menalarkan kenyataan.
Trotoar-trotoar kami dihunus peluru.
Hancur menjadi debu.
Menjelma: gedung bertingkat, jalanan membentang di atas langit,
Retorika-retorika sampah!
Sebagai kata-kata: jangan selalu menyalah artikan aku!
Turyantapadha, 14 Mei 2017