Mengagumi Kecantikan Kota Seratus Menara

0
902

Saat pemandangan sepanjang perjalanan perlahan berubah menjadi bangunan khas Praha dan papan iklan dengan huruf Ceko, saya tahu bahwa kami telah memasuki “Kota Seratus Menara”. Sesampainya di Praha, kami segera menukar mata uang Euro dengan mata uang Koruna Ceko (CZK) dan membeli tiket untuk transportasi umum di kota Praha (mencakup semua bus, trem dan Metro). Karena kami hanya sehari di sini, kami pun membeli tiket untuk 24 jam dengan harga 110 CZK atau seharga Rp 61.000, yang perlu divalidasi hanya saat di halte pertama.

Perjalanan pagi ini ditempuh dengan menggunakan trem, berkelak-kelok mengikuti lika-liku jalan, mendaki bukit menuju halte “Pražský hrad” atau Prague Castle. Berdasarkan Guinness Book of Records, Kastil Praha adalah kompleks kastil kuno terbesar di dunia, mencakup daerah seluas 70.000 m2. Kompleks yang terdiri dari 4 gereja, 4 istana, 3 balai pertemuan, 7 taman, dan 8 bangunan lainnya dapat dinikmati tanpa membayar sepeser pun. Kecuali, jika ingin melihat interior di dalam kastil.

Pemandangan Kota Praha dari atas Kastil Praha

Di Praha, bangunan yang menjadi daya tarik utama para turis diantaranya Katedral Saint Vitus, Saint’s George Basilica, Queen Maria Theresa’s Entrance, serta Old Royal Palace. Selanjutnya, kami menyusuri jalan kompleks kastil. Di ujung jalan bertapak yang diapit bangunan-bangunan kuno, terlihat stand makanan dan pernak-pernik khas Ceko, salah satunya Trdelník. Dibuat dari adonan berbentuk gelang yang digulung dan dipanggang di batang kayu, dilapisi gula dan sedikit kayu manis, menjadi daya tarik makanan ini.

Setelah menelusuri kompleks kastil lebih jauh, tak disangka, dibalik megahnya tembok kastil tersimpan pemandangan yang sulit dipercaya. Menikmati keindahan kota Praha dari ketinggian 300 meter sembari memandangi bangunan khas Ceko—berdinding warna-warni dan beratap merah–membuat kami tak ingin meninggalkan tempat ini.

Gereja St George’s Basilica di dalam kawasan Kastil Praha.

Mengelilingi kastil Praha tentu membuat kami ingin mengisi perut dan melepaskan dahaga. Tepat di waktu makan siang, kami langsung menuju Old Town Square, satu dari dua spot turis terkenal di Praha, disamping Wenceslas Square yang terkenal akan butik mode ternamanya. Di balik kios-kios suvenir, ada sebuah restoran yang membuat kami penasaran. Restoran “Kotleta” menjadi pilihan kami siang ini, dan ternyata memang salah satu restoran favorit di Praha.

Hampir semua tempat duduk terisi penuh, beruntung kami masih mendapatkan salah satunya. Tenang saja, pelayanan dan daftar menu di sini juga tersedia dalam bahasa Inggris, agar pengunjung dapat mengerti komposisi menu yang dihidangkan. Makanan dan minuman yang ditawarkan cukup beragam, mulai dari hidangan ala Ceko sampai internasional, berkisar 29 CZK-489 CZK (Rp17.000-Rp272.000). Kami memutuskan untuk memesan strong beef rib bouillon with homemade noodles and vegetables, home-made goulash soup with potatoes, dan roasted beef sirloin in a creamy vegetable sauce served with homemade bread dumplings serta orange juice, lemonade, dan English Breakfast tea.

Salah satu menu makanan khas Ceko yang ditawarkan di salah satu restoran di Kastil Praha.

Setelah puas menyantap makan siang, tak ingin membuang waktu, kami langsung menuju toko cenderamata yang berjarak hanya beberapa meter dari restoran tersebut. Mulai dari topeng, magnet, kaos, hingga kristal, lengkap tersedia di toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan Kaprova. Sesekali kereta kuda juga terlihat melintasi jalan ini.

Tak terasa, hari semakin sore. Langit terlihat semakin gelap, baru saja kami akan menikmati gemerlap lampu kota di Praha. Tetapi sayangnya, bis yang akan mengantarkan kami kembali ke tempat tinggal kami di Duisburg, Jerman, telah menunggu di Terminal Bis Florenc. Dengan fasilitas bis yang lengkap dan nyaman, perjalanan pulang selama 12 jam kembali saya habiskan dengan beristirahat dan bercengkrama dengan teman-teman.

Mayra Diandra Nabila Ratnadi (paling kanan) bersama teman-temannya.

Penulis dan fotograger: 

Mayra Diandra Nabila Ratnadi, Magangers Kompas Bacth V. Kini, kuliah di Universität Duisburg-Essen, Jerman