SERPONG, KOMPAS CORNER – Apa itu pahlawan? Menurut KBBI, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Bagi saya, pahlawan adalah orang yang bisa menginspirasi orang di sekitarnya, atau bahkan orang lain yang hanya sekadar memperhatikan kehidupannya dari kejauhan. Pahlawan adalah orang yang, melalui hal-hal yang dia tak hanya katakan tetapi juga lakukan, dapat mendorong orang, memotivasi orang untuk terus maju dan berkembang – terus menggali potensi yang ada dalam dirinya. Siapapun bisa menjadi pahlawan. Entah itu anak remaja yang baru berusia 13 tahun ataupun seorang kakek berusia 89 tahun. Karena pahlawan tak kenal usia. Pahlawan adalah orang-orang yang berani menerobos batasan-batasan yang ada, dan bagi saya sosok tersebut adalah Malala Yousafzai.

Saya tidak kenal Malala Yousafzai. Saya bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Bagaimana Malala bisa menjadi salah satu pahlawan dalam kehidupan saya? Sekilas mengenai Malala, ia adalah seorang remaja biasa seusia saya (19 tahun). Malala lahir di sebuah kota bernama Mingora di Distrik Swat, Pakistan. Ia tumbuh besar dalam keluarga yang sangat menghargai pendidikan. Ayahnya, Ziauddin Yousafzai, merupakan aktivis pendidikan dan pendiri beberapa sekolah swasta. Kepedulian yang besar terhadap pendidikan inilah yang mendorong Malala untuk juga ikut peduli terhadap pendidikan.

Sejak umur 11, Malala mulai menulis dan berbicara di depan publik untuk memperjuangkan hak pendidikan. Taliban, yang saat itu sudah mulai menguasai Lembah Swat, melarang anak-anak perempuan untuk bersekolah. Malala tak rela hak pendidikannya dirampas begitu saja. Hal ini ia tulis dalam blog pribadinya. Tulisan-tulisannya mulai mendapatkan sorotan dari berbagai media, baik nasional maupun internasional. Pada tahun 2012, ia ditembak di kepala oleh seorang penembak Taliban saat pulang dari sekolah dan selamat dari tembakan tersebut. Usianya baru menginjak 15 tahun saat itu.

Ayah dan kedua adik menjenguk Malala Yousafzai di Queen Elizabeth Hospital Brimingham, setelah sebelumnya  dirawat di Pakistan akibat peluru yang menembus kepalanya.
Ayah dan kedua adik menjenguk Malala Yousafzai di Queen Elizabeth Hospital Brimingham, setelah sebelumnya dirawat di Pakistan akibat peluru yang menembus kepalanya.

Pada usianya yang ke-16, ia berpidato mengenai hak perempuan, perlawanan terhadap terorisme, dan hak pendidikan di Markas Besar PBB, New York. Setahun setelahnya, Malala dianugrahi Nobel perdamaian atas perjuangannya melawan penindasan anak-anak dan pemuda serta untuk mendapatkan pendidikan. Ia merupakan penerima hadiah Nobel termuda.

Bagi saya, Malala Yousafzai adalah seorang pahlawan. Ia berani mendobrak rintangan dan tantangan yang ada demi mendapatkan pendidikan. Ia tidak hanya duduk merana dan pasrah hak pendidikannya diambil. Ia berani mengambil tindakan. Ia tidak sekadar bereaksi tetapi juga beraksi. Tidak sekadar reaktif tetapi proaktif. Ia membuktikan bahwa dalam tiap masalah, ada jalan keluar.

Ada seribu jalan menuju Roma, dan ia menempuh banyak jalan tersebut. Suaranya ia sampaikan mulai dari menulis kritik terhadap Taliban yang merampas hak pendidikan anak perempuan dan merusak gedung-gedung sekolah dalam blog-nya, yang kemudian sampai ke telinga media internasional, salah satunya BBC. Kemudian ia juga berorasi di depan umum mengenai hal yang sama.

“Berani-beraninya Taliban merampas hak saya atas pendidikan!” ungkapnya dalam salah satu orasinya di sebuah Press Club di Peshawar yang dimuat oleh siaran televisi dan surat kabar.

Berbagai gertakan dan ancaman yang ia terima tidak membuatnya surut, malah menyulut api semangatnya.  Malala menyadarkan dunia bahwa sebenarnya masih banyak ‘PR’ yang harus dikerjakan, termasuk oleh generasi muda, walaupun sekilas kelihatannya ketidaksetaraan gender, terutama dalam hal memperoleh pendidikan, sudah berada jauh di belakang dan hanya merupakan catatan dalam buku sejarah.

Identitasnya sebagai perempuan tidak membuatnya pasrah. Ia mengingatkan bahwa perempuan juga layak dan berhak untuk mendapatkan pendidikan. Bahwa identitas bukanlah alasan untuk merampas hak seseorang. Peristiwa ini bagaikan sebuah ‘wake-up call’ bagi ribuan anak muda yang sejak lahir dapat dengan mudah mencicipi bangku sekolah.

Seringkali, kita sudah terlalu terbiasa dengan ‘kemewahan’ yang disuguhkan di depan mata sehingga akhirnya menganggap bahwa apa yang kita terima memang sudah selayaknya. Sedangkan ada anak-anak lain di luar sana yang rela mati untuk memperjuangkan hak mereka atas apa yang kita terima setiap harinya, atau bahkan kita keluhkan.

Sejak penembakan tersebut, Malala dipindahkan ke Birmingam, Inggris untuk menjalani perawatan dan kemudian menetap di sana. Namun apakah perjuangannya berhenti sampai di situ saja, melipat tangan dan mengangkat kaki? Tidak. Ia terus memperjuangkan hak teman-temannya di Pakistan, Suriah, Yordania dan Lebanon. Ia menyumbangkan uang sebesar $1.100.000 untuk mendirikan sekolah bagi para perempuan di Pakistan. Ia mendirikan sekolah bagi wanita di perbatasan Suriah, memberikan dana untuk mendukung program pengungsi PBB di Yordania, dan mendirikan Malala’s Fund di Lebanon.

Malala ikut turun tangan membangun sekolah gratis di Afrika.
Malala ikut turun tangan membangun sekolah gratis di Afrika.

Senjata terkuat bukanlah senapan ataupun kekerasan, melainkan pendidikan. “Ketika dunia diam, satu suara pun menjadi kekuatan yang besar.” Itulah ungkapan yang disampaikan Malala dalam bukunya, I Am Malala. Ia ‘menggebrak’ pemikiran bahwa ‘perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi’, ‘perempuan pada akhirnya akan kembali ke dapur’, atau ‘anak muda tidak tahu apa-apa’. Bagaimana mungkin perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi sedangkan nantinya perempuan akan menjadi ibu atas anak-anak penerus bangsa?  Sampai kapan anak muda mau terus dianggap tidak tahu apa-apa sedangkan nasib bangsa ada di genggaman para pemuda pemudinya?

Untuk itu, sebagai generasi muda kitalah yang harus mendobrak pemikiran-pemikiran lama tersebut dan menyajikan bukti nyata bahwa anak muda bisa membawa perubahan yang signifikan. Teknologi yang dikatakan hanya memanjakan generasi muda, dapat menjadi sarana untuk itu. Kita harus membuktikan bahwa bukan kita yang ‘dikendalikan’, tapi kita yang mengendalikan. Bahwa kita bukan generasi yang lemah dan mudah menyerah. Kita bukan generasi pasrah. Kita bukan generasi pasif, tapi generasi aktif yang terus dinamis dan inovatif, tidak menyerah pada status quo. Menggunakan segala potensi yang ada dalam diri kita untuk terus berkarya dan membawa perubahan positif. Malala menginspirasi saya dan juga, saya yakin, ribuan bahkan jutaan anak muda di luar sana untuk tidak patah semangat dan terus mengembangkan diri untuk membuktikan bahwa kita bisa. Karena, sesuai dengan perkataan yang tak asing lagi di telinga, ‘Kalau bukan kita, siapa lagi?’.

“We realize the importance of our voices only when we are silenced.” 

–Malala Yousafzai

 

Penulis: Felicia Margaretha (5 Besar Lomba Menulis Artikel “Pahlawan dalam Kehidupanmu”)

Editor: Clara Tania

Sumber Foto:

http://ottmag.com/wp-content/uploads/2015/12/malala-yousafzai-quotes-4-1024×475.png

http://ichef-1.bbci.co.uk/news/624/media/images/78128000/jpg/_78128086_016332936-1.jpg

https://cdn.we.org/wp-content/uploads/2014/07/CraigMalalaSchoolBuilding.jpg