Pementasan koreografi karya Melati Suryodarmo berjudul Tomorrow as Purposed membuka acara Indonesia Dance Festival (IDF) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (1/11). Indonesia Dance Festival ke 13 diikuti koreografer dunia yang kali ini mengambil tema tubuh sonik. Pementasan akan berlangsung hingga 5 November. Kompas/Lucky Pransiska

Lumpur, hujan, dan cahaya. Tiga unsur ini mewakili tanah, air, dan api, yang menjadi elemen dasar kehidupan. Dua elemen lain agar kehidupan menjadi paripurna: udara dan waktu (ritme). Setelah berjalan 13 kali (24 tahun), Indonesian Dance Festival akhirnya kembali ke sikap awal bahwa tubuh adalah representasi dari semesta.

Hutan Kota Sangga Buana, Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus, di bagian selatan Jakarta, adalah situs untuk kembali. Dua karya ”Phase” (Jefriandi Usman) dan ”Suluk Sungai” (Abdullah Wong), yang ditajuk dalam pra pembukaan, menjadi bukti penting kembalinya kesadaran tentang relasi yang intim antara tubuh dan semesta. Pada Minggu (30/10), sejak petang hujan mengguyur Sangga Buana. Air yang menerpa rerimbun hutan bambu meningkahi deru Kali Pesanggrahan yang berwarna coklat. Kubangan-kubangan kecil dengan cepat membentuk lumpur yang liat.

Koreografi bertajuk "Phase" karya Jefriandi Usman dipentaskan Minggu (30/10) di Hutan Kota Sangga Buwana, Lebakbulus, dalam rangka pre-opening Indonesian Dance Festival. Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN) 30-10-2016
Koreografi bertajuk “Phase” karya Jefriandi Usman dipentaskan Minggu (30/10) di Hutan Kota Sangga Buwana, Lebakbulus, dalam rangka pre-opening Indonesian Dance Festival.
Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN)
30-10-2016

Suasana itulah yang mewarnai pra pembukaan Indonesian Dance Festival (IDF) 2016 di Hutan Kota Sangga Buana. Hutan seluas 120 hektar ini dirintis oleh H Choerudin alias Babeh Idin bersama Kelompok Tani Lingkungan Hidup Sangga Buana. Babeh Idin menjadi ”koreografer” yang menyusun kembali elemen-elemen alam dalam satu ekosistem yang bergerak natural. Pada titik tertentu, ia bisa disamakan dengan Jefri dan Abdullah yang datang kemudian dan memberikan arti pada hutan itu.

Jefri menempatkan hutan (bumi) sebagai representasi dari ibu. Koreografi ”Phase” adalah sebentuk pencarian yang mengagungkan kesemestaan ibu. ”Karya ini adalah upaya untuk kembali memuliakan alam. Kembali kepada ibu, yang menggerakkan roda peradaban,” kata Jefriandi. Karena itu, ia memilih bermain di bawah rimbun bambu, ricik gerimis, dan sorotan cahaya menyerupai kaki-kaki matahari. Sementara di sekelilingnya alam memperlihatkan daya magisnya dengan menjulurkan akar-akar pohon ke permukaan air kali.

Abdullah Wong seolah melengkapi pencarian Jefriandi dengan menggelar ”Suluk Sungai” di sebuah empang di dalam Hutan Kota Sangga Buana. Karya ini menyatukan elemen alam, seperti tanah (lumpur), air (hujan dan empang), serta cahaya (api). Lampu-lampu yang menyorot dari balik rimbun dedaunan menjadi cahaya berlapis-lapis. Itu mengingatkan lukisan Walter Spies (Jerman) yang magis tentang alam pedesaan di Bali. Sementara para aktor (penari) berdiri di atas tonggak kayu yang licin karena hujan. Kaki-kaki mereka diikat dengan sebuah tali sebagai simbolisasi keterikatan dengan lingkungan.

Dalam ricik hujan pentas tari bertajuk "Suluk Sungai" karya Abdullah Wong dipentaskan Minggu (30/10) di Hutan Kota Sangga Buwana, Lebakbulus, Jakarta, sebagai pre-opening Indonesian Dance Festival 2016. Kompas/Putu Fajar Arcana
Dalam ricik hujan pentas tari bertajuk “Suluk Sungai” karya Abdullah Wong dipentaskan Minggu (30/10) di Hutan Kota Sangga Buwana, Lebakbulus, Jakarta, sebagai pre-opening Indonesian Dance Festival 2016.
Kompas/Putu Fajar Arcana

Bhuana Agung

Dalam filosofi tentang penciptaan, kebudayaan Nusantara umumnya mendasarkan kepercayaannya kepada Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Bhuana Agung (jagat agung) adalah alam semesta (hutan), yang memiliki unsur-unsur tanah, air, api, udara, eter (gas) yang karena keluhurannya memberikan hidup kepada semua makhluk. Manusia yang dibungkus dalam ”cangkang” tubuh menjadi representasi semesta, dan karena itu disebut sebagai Bhuana Alit (jagat kecil). Di dalam tubuh manusia juga terdapat kelima unsur tadi yang membuatnya hidup dan beradaptasi dalam segala lingkungan (ekosistem).

Gagasan Abdullah dalam ”Suluk Sungai” adalah jalan atau tembang yang terus mengalir seperti sungai, berkesinambungan sebagaimana ekosistem semesta. Abdullah menyatukan tubuh manusia kepada tubuh semesta. Pementasan di Sangga Buana telah secara simbolik menggugah kesadaran tentang eksistensi tubuh manusia yang tak pernah lepas dari tubuh semesta.

Sesungguhnya apa yang kemudian dikerjakan oleh performer Melati Suryodarmo dengan mementaskan ”Tomorrow As Purposed”, Selasa (1/11) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) menjadi pengingat bahwa dalam relasi antara tubuh manusia dan tubuh semesta terdapat ritme (waktu). Ritme yang mengatur segala sesuatunya menjadi bergerak dalam satu tatanan ruang (tempat) dan iklim (udara) yang sering kali bergerak mistis.

”Tomorrow As Purposed” adalah ungkapan cenayang dalam lakon Machbeth karya William Shakespeare. Melati menjadikannya sebagai isyarat betapa dalam kekuasaan kontemporer seperti saat ini hal-hal berbau mistis justru menjadi ”urat nadi” dari pergerakan kekuasaan. Pentas ini bergerak perlahan, bermain-main dengan ritme, dan pada akhirnya lumer dalam nuansa gregorian yang mencekam. Ada tragedi berdarah ketika Machbeth membunuh Duncan atas saran Lady Machbeth, istrinya.

Ketiga pementasan yang dihelat pada fase pembuka IDF dengan jelas memberi tanda bahwa festival dua tahunan ini sedang melingkar seperti waktu. Dalam balutan tema ”Tubuh Sonik”, menurut kurator IDF, Tang Fu Kuen, secara tradisional relasi antara tubuh dan musik (bunyi) di Indonesia saling berkelindan. ”Tantangan bagi koreografer kontemporer bagaimana mengalibrasi kembali hubungan antara kedua elemen secara kritis agar dapat membuka ruang untuk bangkitnya persepsi-persepsi baru,” tulisnya dalam buku program IDF 2016.

Pementasan koreografi karya Melati Suryodarmo berjudul Tomorrow as Purposed membuka acara Indonesia Dance Festival (IDF) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (1/11). Indonesia Dance Festival ke 13 diikuti koreografer dunia yang kali ini mengambil tema tubuh sonik. Pementasan akan berlangsung hingga 5 November. Kompas/Lucky Pransiska
Pementasan koreografi karya Melati Suryodarmo berjudul Tomorrow as Purposed membuka acara Indonesia Dance Festival (IDF) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (1/11). Indonesia Dance Festival ke 13 diikuti koreografer dunia yang kali ini mengambil tema tubuh sonik. Pementasan akan berlangsung hingga 5 November.
Kompas/Lucky Pransiska

Ruang bagi bangkitnya persepsi baru tentang tari setidaknya telah diletakkan dengan memasukkan tiga pentas, yang sesungguhnya secara kental lebih dengan sebagai performance. Karya Jefri, Abdullah, dan Melati memperlihatkan peluruhan terhadap batas-batas rigid dalam berkesenian yang selama ini dipegang teguh oleh sebagian seniman.

Mereka menyuguhkan karya di mana kesenian adalah ”ritual” yang menunjukkan eksistensi manusia di hadapan semesta, termasuk atmosfer berkebudayaan yang kini menggelinding di tengah-tengah kehidupan kita semua. Hanya dengan cara ini, kesenian bisa luruh dan mengalir dalam darah banyak orang tanpa harus terpaku pada sekat-sekat keilmuan yang justru membelenggu.

Putu Fajar Arcana


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 05 November 2016, di halaman 23 dengan judul ”INDONESIAN DANCE FESTIVAL Hujan Cahaya dan Lumpur Semesta”