Karya Heri Dono, "The Trio Angels (2014, fiberglass, mesin mekanik, instalasi, dimensi bervariasi) dalam pameran "Dialog dengan Pancaindra". Pameran yang digelar di Galeri Fatahillah pada 21 Oktober - 3 November itu diselenggarakan Pusat Kebudayaan Korea Selatan dan Kedutaan Besar Korea Selatan sebagai bagian dari peringatan 43 tahun hubungan diplomatik Korea dan Indonesia. Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong

Untuk keempat kalinya, seniman dari Korea Selatan dan Indonesia berpameran bersama dalam hajatan tahunan memperingati hubungan diplomatik kedua negara. Kurator Jeong-Ok Jeon menyodorkan tema ”Dialog dengan Pancaindra” kepada sembilan perupa dari kedua negara.

Di atas meja panjang, sembilan mangkuk besar berbahan kaca bening ditata berjajar berkilau keunguan oleh cahaya lampu ruangan kecil itu. Ada sejengkal air di tiap mangkuk itu. Suara burung berkicauan berpadu dengan suara gemerisik dedaunan, menggenapi kesyahduan suasana ruangan yang remang-remang.

Secara wujud rupa, instalasi sembilan mangkuk itu begitu biasa. Dalam keremangan itu, hanya dengan memicingkan mata kita bisa melihat plester konduktor yang tertempel di meja, dilekatkan di depan tiap-tiap mangkuk.

Lekatkanlah jari di plester konduktor itu, lalu celupkan jari tangan yang lain dalam air mangkuk mana pun, Anda bakal terpesona. Tubuh Anda bakal menjadi konduktor yang memantik perangkat digital membunyikan beragam suara yang dipilih oleh perupanya, Park Seung Soon.

Celupan jari di mangkuk paling ujung, misalnya, bakal ”menabuh” seperangkat gamelan jawa. Celupkan lagi jari Anda ke mangkuk sebelahnya, bunyi gamelan itu bakal ditingkahi oleh pukulan gendang yang lincah. Cepatlah berpindah ke mangkuk berikutnya, celupan jari bakal ”menabuh” lincahnya gamelan bali. Di mangkuk-mangkuk lainnya, sejengkal air itu ”berisikan” bunyi suling, ada pula yang berisi tembang berbahasa Sunda, tak terduga.

Mengalami ”dialog”

”Symphonie Aquatique” (2016, konten media baru, air, lampu,sensor, mangkuk kaca, dan dimensi bervariasi) memang instalasi suara yang interaktif. Ia bisa menghasilkan begitu banyak kemungkinan perpaduan suara, yang harus diramu sendiri oleh pengunjung pameran. Pameran ini digelar di Galeri Fatahillah, Jakarta, 21 Oktober hingga 3 November.

Dengan menyodorkan tema ”Dialog dengan Pancaindra”, kurator Jeong-Ok Jeon sengaja memilih sembilan seniman yang memiliki karya seni yang melibatkan pengunjung sebagai bagian dari karya. Pelibatan itu dijadikan kunci bahwa ”dialog dengan pancaindra” haruslah menjadi pengalaman personal para pengunjung pameran.

Pameran itu melanjutkan tradisi yang dirintis empat tahun silam. Pameran Instalasi Korea-Indonesia dimulai ketika Pusat Kebudayaan Korea Selatan dan Kedutaan Besar Korea Selatan di Jakarta memperingati 40 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dan Korea Selatan pada Oktober 2013.

Seperti pameran tahun-tahun sebelumnya, para perupa Korea selalu menunjukkan ciri kuat—sangat agresif memakai segala macam perkembangan teknologi elektronik sebagai medium seni. Segala macam temuan alat sensor, kamera, proyektor digital, komputer, pemindai digital, juga layar digital tercanggih dan tertajam digarap menjadi medium baru seni yang memukau.

Jeong juga memboyong tiga perupa lain yang juga piawai bermain dengan segala macam kecanggihan teknologi paling baru. Instalasi suara karya Kim Hyung Joong adalah contoh keberhasilan menjadikan teknologi sebagai ”alat” membangun rupa. ”Jangdna” (2015, instalasi interaktif, media campuran, dimensi bervariasi) ditaruh dalam sebuah ruangan gelap dengan sebuah mikrofon di tengah-tengahnya.

Visualisasi oleh data frekuensi dalam karya Kim Hyung Joong, "Jangdna" (2015, instalasi interaktif, media campuran, dimensi bervariasi) dalam pameran "Dialog dengan Pancaindra". Pameran yang digelar di Galeri Fatahillah pada 21 Oktober - 3 November itu diselenggarakan Pusat Kebudayaan Korea Selatan dan Kedutaan Besar Korea Selatan sebagai bagian dari peringatan 43 tahun hubungan diplomatik Korea dan Indonesia. Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong
Visualisasi oleh data frekuensi dalam karya Kim Hyung Joong, “Jangdna” (2015, instalasi interaktif, media campuran, dimensi bervariasi) dalam pameran “Dialog dengan Pancaindra”. Pameran yang digelar di Galeri Fatahillah pada 21 Oktober – 3 November itu diselenggarakan Pusat Kebudayaan Korea Selatan dan Kedutaan Besar Korea Selatan sebagai bagian dari peringatan 43 tahun hubungan diplomatik Korea dan Indonesia.
Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong

Sebuah proyektor menyorot dinding ruangan dengan bentuk-bentuk abstrak yang mirip bentuk geometris, diadaptasi Kim dari wujud rupa rantai genetis/struktur DNA (asam deoksiribonukleat). Kim mengajak pengunjung untuk mengucapkan kalimat apa pun di mikrofon. Sebuah komputer canggih bakal mengubah data frekuensi suara menjadi ”sel visual”.

Dalam proyeksi digital di dinding, suara akan terlihat seperti sebuah ”sel” baru yang ”lahir” dari sebentuk ”telur” bercangkang garis-garis geometris rumit berwarna merah. Pelan, ”sel” visualisasi suara itu membesar, terlepas dari cangkang merah ”telur” itu, melambung menuju cangkang putih ”telur” kedua, masuk ke sana. ”Sel” visualisasi suara itu seperti hidup, berdenyut, suguhan visual yang indah. Setiap ucapan kalimat yang berbeda bakal menghasilkan wujud ”sel” suara berbeda.

Cara berbeda

Pendekatan serba canggih dari keempat perupa Korea itu begitu kontras dengan pilihan lima perupa Indonesia dalam membangkitkan sensasi ”mengalami” rasa ”berdialog dengan pancaindra”. Kelima perupa Indonesia—Heri Dono, Anang Saptoto, Fajar Abadi, Ricky ”Babay” Janitra, dan Elia Nurvista—disebut kurator Jeong-Ok Jeon cenderung menghadirkan instalasi konseptual dan berbasis obyek.

”Karya seniman Korea umumnya mengandalkan indra penglihat, pendengar, dan peraba. Sementara karya seniman Indonesia menekankan pengalaman pencium dan perasa,” tulis Jeong dalam catatan kuratorialnya.

Perupa Anang Saptoto, misalnya, menghadirkan narasi besar tentang Games of the New Emerging Forces (Ganefo), sebuah perhelatan olahraga akbar yang digagas Presiden Soekarno untuk menegaskan eksistensi negara-negara yang baru memerdekakan diri dari penjajahan. Narasi besar itu dihadirkan menjadi ilusi anamorphic (gambar proyeksi perspektif) sepasang pebulu tangkis bertanding, dan seorang pebalap sepeda menikung kencang. Anang mencecapkan rasa melihat berbeda garis yang digambar di lebih dari satu dimensi bidang, yang dari jarak tertentu terlihat seperti gambar dua dimensi biasa.

Elia Nurvista mengolah narasi besar industri gula, yang menjadi lompatan kemakmuran dan pembaratan Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda abad ke-19. Ia menghadirkan ”Sucker Zucker (Exploitation Sugar)” dalam wujud berwarna-warna bongkah kristal gula ke ruang pamer. Sementara Fajar Abadi dalam membangun dua seri ”Rasarumah”. Kedua karya itu, ”Doenjang Jjigae” dan ”Sop Ayam” adalah dua lilin aroma terapi, yang masing-masing menebar bau fermentasi kedelai Korea dan bau sup ayam.

Karya-karya sembilan perupa mengail pengalaman ”mendengar”, ”mencium”, dan ”mencicip”. Melampaui urusan ”rupa”, mereka menjadikan pengalaman indrawi itu sebagai pintu mengalami ”cara melihat” baru atas beragam persoalan.

ARYO WISANGGENI G


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 05 November 2016, di halaman 26 dengan judul ”Seni Rupa: Eksplorasi Indra dalam Seni Rupa”