Cornelis de Houtman terperangah saat menyaksikan tata kota Banten Lama. Perintis kolonialisme Belanda itu melihat Banten Lama bak Amsterdam, kota pelabuhan termodern di dunia pada masanya. Padahal, Banten Lama saat itu masih amat jauh dari sentuhan Eropa sebagai pusat peradaban dunia.

Kota itu adalah citadel, wilayah yang dikelilingi benteng tempat bersemayam sultan-sultan Banten. Wilayah itu terletak di Kota Serang, Banten, provinsi paling barat di Jawa. Jarak dari pusat kota itu ke Banten Lama sekitar 10 kilometer. Kesultanan Banten berdiri pada abad ke-16 hingga ke-19 Masehi.

Pada abad pertengahan hingga ke-19 Masehi, citadel tergolong konsep pertahanan paling kuat yang amat lazim di Eropa. Meskipun hanya dibuat dari karang dan bata, benteng yang mengelilingi kota dapat didirikan di Banten Lama. Houtman pertama kali menginjakkan kaki di Banten Lama pada tahun 1596.

Selang tiga tahun setelah itu, benteng diperkuat bastion (selekoh atau kubu). Layaknya kota-kota modern kala itu, meriam-meriam dipasang di benteng Banten Lama, siap menangkal serangan dari laut.

Kekaguman tak hanya diutarakan Houtman. Pengarsip ulung Belanda, JA van der Chijs, juga mengungkapkan ketakjuban dalam tulisannya yang berjudul ”Oud Bantam” (Banten Lama). Karya yang diterbitkan Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (TBG) pada tahun 1881 itu menjelaskan kemiripan Banten Lama dengan Amsterdam.

”Sekitar 400 tahun lalu, ada Amsterdam di sini (Banten Lama),” ujar Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten Yoesoef Boediariyanto, pekan lalu. Banten Lama disandingkan dengan Amsterdam lantaran kanal-kanalnya. Dahulu kala, warga Banten Lama terbiasa bersampan melalui kanal untuk bepergian.

”Selain saluran transportasi, kanal juga melengkapi pertahanan. Tembok kota dikelilingi dengan kanal,” ujar Yoesoef.

Seperti Amsterdam, hiruk-pikuk pedagang pula yang menjadikan Banten Lama sebagai kota pelabuhan megah. Di Pelabuhan Karangantu, warga lokal bertransaksi dengan saudagar, tak hanya dari dalam, tetapi juga luar negeri. Lada adalah komoditas utama Kesultanan Banten.

Pelabuhan Karangantu juga riuh rendah dengan perdagangan madu, beras, kelapa, dan obat-obatan. Pedagang Tiongkok, Gujarat, Abyssinia, Jepang, Portugis, dan Turki datang berduyun-duyun. Mereka menjual sutra, keramik, permata, dan porselen. Kedaulatan Kesultanan Banten dianggap setara dengan negara-negara berpengaruh.

Petugas keamanan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten Nurudin (kiri) dan Juru Pelihara Situs Pengindelan BPCB Banten Tubagus Rahmat mengamati pengindelan (tempat penyaringan air) emas di Serang, Banten, awal September 2016. Pada masa Kesultanan Banten, air dari Danau Tasikardi disalurkan dan disaring melalui tiga pengindelan sehingga menjadi bersih. Kompas/Dwi Bayu Radius (BAY) 17-09-2016 Foto Untuk Tanah Air Banten Lama Amterdam Di Barat Pulau Jawa
Petugas keamanan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten Nurudin (kiri) dan Juru Pelihara Situs Pengindelan BPCB Banten Tubagus Rahmat mengamati pengindelan (tempat penyaringan air) emas di Serang, Banten, awal September 2016. Pada masa Kesultanan Banten, air dari Danau Tasikardi disalurkan dan disaring melalui tiga pengindelan sehingga menjadi bersih.
Kompas/Dwi Bayu Radius (BAY)
17-09-2016
Foto Untuk Tanah Air Banten Lama Amterdam Di Barat Pulau Jawa

Dalam buku Sejarah Banten yang disusun tim beranggotakan tujuh orang dengan ketua Yoseph Iskandar dan diterbitkan Tryana Sjam’un Corp tahun 2001 dijelaskan, para duta besar Kesultanan Banten dikirim ke Inggris. Mereka, yakni Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana, tiba tahun 1862 dan diperlakukan secara terhormat.

Tata kota Banten Lama yang teratur mengundang decak kagum pendatang dengan benteng dan keteraturan distribusi airnya. Jejaring penyaringan dengan pangkal dari Danau Tasikardi mencukupi kebutuhan air bersih. Teknisi-teknisi pada masa itu bahkan sudah mampu menyediakan air siap minum tanpa dimasak.

Peneliti Pusat Arkeologi Nasional, Tubagus Najib, menjelaskan, pengaturan air dilakukan melalui tempat penyaringan yang disebut pengindelan. Terdapat tiga pengindelan, yakni merah, putih, dan emas. Filterisasi menggunakan semacam sumur dan kotoran diendapkan.

”Air melalui pengindelan merah, kotorannya mengendap. Terus lagi, melewati pengindelanputih. Akhirnya, air keluar dari pengindelan emas,” katanya. Jika kotoran sudah menumpuk,pengindelan dikuras dan dibersihkan. Air juga disalurkan ke irigasi-irigasi pertanian yang memakmurkan Kesultanan Banten.

Surosowan

”Kemiripan lain Banten Lama dengan Amsterdam pada masa lampau adalah luasnya sama-sama sekitar 10 kilometer persegi dengan penduduk lebih kurang 36.000 orang,” ujar Najib. Menurut dia, Banten Lama adalah istilah terkini dan lazim disebut Surosowan pada zaman dulu.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nono A Supriyatno mengatakan, ragam bentuk bangunan dan struktur ditemukan di Banten Lama. ”Mulai dari masjid, benteng, kanal, keraton, permukiman, pelabuhan, makam, hingga wihara. Bukan main,” ujarnya.

Campur tangan penjajah dan perang saudara, hingga akhirnya dihancurkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels tahun 1808, membuat Banten Lama luluh lantak. Sisa kejayaan Banten Lama yang didirikan tahun 1526 adalah puing-puing, saksi bisu musnahnya peradaban adiluhung.

Pengindelan emas kini hanya berupa reruntuhan. Bangunan itu sudah tak beratap dengan tembok yang tidak utuh lagi sehingga susunan batu bata dapat terlihat. Di tengah tembok berbentuk segi empat tampak penampungan dengan air yang berwarna hijau karena alga.

Masjid Agung

Sebagian besar kanal sudah ditimbun. Hanya tersisa beberapa ruas kanal di sebelah selatan dan timur Banten Lama. Itu pun sudah dipersempit. Namun, denyut kehidupan di Banten Lama belum sepenuhnya mati. Masjid Agung Banten yang didirikan pada abad ke-16 Masehi masih berdiri megah.

Bangunan di bagian utara Banten Lama itu menjadi tempat beribadah sekaligus melepas lelah para peziarah yang mengunjungi makam, terutama makam Sultan Maulana Hasanuddin dan Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, Kesultanan Banten yang sarat dengan aspek menarik belum mampu memikat khalayak untuk mendalaminya.

Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Banten Zakaria Kasimin mengatakan, pengunjung datang ke Banten umumnya untuk menziarahi sultan-sultan Banten. Saat ramai, jumlah pengunjung Banten Lama bisa mencapai 10.000 orang per hari.

Namun, minat untuk mengetahui sejarah lebih jauh, yang ditunjukkan dengan jumlah pengunjung Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, masih rendah. ”Hanya ada 50-100 pengunjung per hari. Kami akan melakukan langkah-langkah agar ziarah dan kunjungan ke museum bisa terintegrasi,” ucapnya.

Menurut Kepala Kelompok Kerja Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama Fajar S Burnama, pembenahan terus dilakukan. Alun-alun Banten Lama yang masih berupa tanah dan berlumpur kini sudah dipasangi paving block. Pedagang kaki lima ditata dan pelataran parkir baru akan dibangun.

”Tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelontorkan Rp 35 miliar melalui Pemerintah Kota Serang untuk merevitalisasi Banten Lama,” ujarnya.

Bayu Dwi Radius


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2016, di halaman 24 dengan judul “Banten Lama, “Amsterdam” di Barat Pulau Jawa”.