Menjelajahi titik-titik ”snorkeling” dan ”diving” di Wangi-Wangi dan Hoga di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, seperti mengonfirmasi slogan wisata kabupaten itu: ”Surga Nyata Bawah Laut”. Namun, daya tarik wisata itu juga berpotensi mendatangkan konflik multidimensi apabila tidak segera ditata dengan baik.

Indah, itulah kata yang pantas disematkan di empat pulau yang membentuk nama Wakatobi, yakni Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Kekayaan alam bawah laut di kawasan ini boleh dikata merata.

Dari empat pulau itu, Wangi-Wangi umumnya menjadi titik masuk awal wisatawan pengguna pesawat terbang. Sejak 2009, bandar udara perintis yang dibangun Pemerintah Kabupaten Wakatobi, yaitu Bandara Matahora, mulai beroperasi. Dari Wangi-Wangi, pengunjung bisa menggunakan kapal motor untuk menuju tiga pulau lainnya.

Di Wangi-Wangi, ada banyak titik penyelaman dan snorkeling. Pantai Waha dan Sombu termasuk lokasi favorit karena mudah diakses. Hamparan terumbu karang di kedua lokasi itu hanya beberapa meter saja dari tepi pantai.

Di kedalaman 2-5 meter, wisatawan bisa ber-snorkeling menikmati warna-warni terumbu karang. Ikan nemo atau clown fish serta napoleon yang berenang lincah membuat pemandangan alam bawah laut makin cantik. Apabila beruntung, di titik yang lebih dalam, peselam bisa mengamati hiu.

Di Hoga, pulau kecil yang menjadi area satelit Pulau Kaledupa, selain wisatawan, peneliti dari luar negeri juga kerap datang untuk mengobservasi alam bawah laut kawasan ini. Wakatobi memang kaya jenis karang. Dari 850 jenis terumbu karang di dunia, 750 jenis di antaranya ada di Wakatobi dan kawasan sekitarnya.

Selain ”surga” di bawah laut, Wakatobi kaya potensi kultural. Daerah ini menjadi satu dari empat basis pertahanan terluar Kesultanan Buton yang berjaya di abad ke-16 dan abad ke-17. Jejak 35 benteng pertahanan dari susunan batuan menyerupai karang bisa ditemui di sini.

Dahulu, Wakatobi punya nama lain, yakni Pulau atau Kepulauan Tukang Besi. Di Pulau Binongko, jejak para pandai besi itu masih bisa ditemui. Dari penuturan warga Wakatobi, pandai besi Binongko adalah pemasok parang yang digunakan Pattimura bertempur melawan penjajah.

Wakatobi juga menjadi daerah bermukim suku Bajo. Jika mendatangi perkampungan Bajo Mola di Wangi-Wangi, pengunjung akan diajak ”menonton” lumba-lumba di tengah laut atau belajar ilmu perbintangan.

Kekayaan kultural juga datang dari kearifan lokal warga. Di Waha, Wangi-Wangi, berkembang legenda Untu Waode, gurita yang dikisahkan bersaudara dengan penduduk Waha, meminta agar terumbu karang tidak dirusak. Keindahan alam dan pembangunan infrastruktur yang terus berlangsung membuat kunjungan wisatawan mancanegara ke Wakatobi terus naik dalam enam tahun terakhir, dari 2.274 orang pada 2011 menjadi 6.626 orang pada 2015.

Bupati Wakatobi periode 2006-2016, Hugua, mengatakan, pemerintah daerah mempunyai visi membuat ”surga” bawah laut bisa dirasakan di daratan. Dengan kata lain, sektor pariwisata didesain memakmurkan masyarakat. ”Saat saya awal jadi bupati, ini daerah dengan tingkat kriminalitas tinggi. Perlahan, Wakatobi berubah. Ekonomi membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 9 persen per tahun,” ujarnya.

Potensi konflik

Namun, potensi ini bukan tanpa persoalan. Konflik antarpemangku kepentingan di bidang pariwisata bisa meruncing jika pertambahan wisatawan ini tak diikuti penataan yang lebih baik.

Potensi konflik horizontal antarpemangku kepentingan terlihat dari munculnya persaingan tak sehat antarpelaku wisata, seperti perang harga di persewaan alat-alat selam dan mobil.

Potensi konflik antara pelaku usaha kecil dan pemodal besar juga mulai muncul. Ada operator selam dan snorkeling yang dilarang mendekati titik-titik penyelaman tertentu oleh pemodal asing di salah satu resor. Konflik ini pun sudah dilaporkan ke Pemkab Wakatobi.

Benturan antarpemerintah juga bisa terjadi. Hampir seluruh area Wakatobi merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Wakatobi. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan, karcis masuk kawasan suaka alam berkisar Rp 150.000-Rp 250.000 per orang per hari untuk wisatawan mancanegara (wisman) dan Rp 5.000-Rp 20.000 untuk wisatawan Nusantara (wisnus), tergantung rayon kawasan.

Sementara itu, Pemkab Wakatobi juga menarik retribusi registrasi menyelam Rp 150.000 untuk sepekan bagi wisman dan Rp 75.000 untuk wisnus.

Hal ini dikhawatirkan bakal menjadi-jadi akibat target 500.000 wisman pada 2019 yang ditetapkan pemerintah pusat untuk Wakatobi. Angka ini jauh dari skenario optimistis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wakatobi sekitar 100.000 wisman pada 2025.

”Kami tetap harus optimistis. Rencana pembentukan badan otorita pariwisata bisa membantu kami mencapai target itu dan menyelesaikan persoalan industri wisata kami,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Wakatobi Nadar.

Namun, masyarakat terbelah menyikapi pembentukan otoritas wisata itu. Sebagian khawatir hal itu akan membuat penduduk setempat terdesak di tanah mereka sendiri karena kebijakan pemerintah berpihak kepada investor bermodal.

”Kami tak mau nanti jadi penonton,” kata sopir mobil sewaan yang mengantar kami berkeliling Wangi-Wangi di pengujung Juni lalu.

Sumber daya manusia

Soal kue wisata yang belum merata ini tak terlepas dari persoalan sumber daya manusia. Sejumlah warga lokal sudah mulai masuk ke industri wisata, dengan menyewakan alat selam dan snorkeling atau kapal. Ada pula yang menjadi pemandu wisata bawah laut. Namun, jumlahnya belum seberapa.

Usaha yang tak perlu modal besar, seperti kuliner dan suvenir, belum banyak dilirik. Salah satu bukti, sebagian besar kaus, jaket, serta celana suvenir didatangkan dari Bandung, Jawa Barat. Sumber daya manusia sektor wisata yang masih kurang ini dikhawatirkan membuat penduduk setempat tidak mampu mengikuti pertumbuhan industri wisata yang pesat.

”Pemerintah tak terlalu hadir. Padahal, sumber daya manusia itu sangat penting untuk wisata berkelanjutan. Justru lembaga dari luar negeri yang punya kepedulian, misalnya melatih pembuatan tenun, pemandu wisata, dan homestay,” tutur Mursiati (30), anggota Forum Kahedupa Toundani, di Pulau Kaledupa.

Hanya lewat penataan lebih baik, masyarakat di ”Surga Nyata Bawah Laut” itu tak hanya menjadi penonton di tanah sendiri.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 22 dengan judul “Jadi Pemain di Negeri ”Surga” Bawah Laut”.