Suara-suara dari Tembok

Jika kami adalah bunga

engkau adalah tembok itu

tapi di tubuh tembok itu

telah kami sebar biji-biji

suatu saat kami akan tumbuh bersama

dengan keyakinan engkau harus hancur!

 

Itu adalah penggalan sajak berjudul ”Bunga dan Tembok” bikinan Wiji Tukul. Wiji, yang entah di mana rimbanya kini, membuat sajak itu pada tahun 1983-1984 ketika pemerintah begitu bebal, susah diajak bicara layaknya tembok. Kini, melalui tembok yang menjadi simbol kebebalan, masyarakat bersuara.

Pekan lalu, komunitas Trotoart bersama Riyan Riyadi alias The Popo menggambar di tembok putih di jalan inspeksi di pinggir Kali Opak, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka mengecat tembok itu dengan warna dasar merah menyala, lantas menerakan kalimat ”Jakarta Kelebihan Beban” dengan ukuran besar.

Panjang mural itu sekitar 150 meter. Selain kalimat, ada beberapa gambar karakter The Popo, si gundul bermata belok, dalam aneka rupa. The Popo mewujud dalam bentuk murid sekolah yang yakin memiliki pengetahuan, sementara bidak catur di depannya punya kekuasaan. Ia juga menjadi petugas pamong praja yang hendak membersihkan mural itu.

Kompas/Herlambang Jaluardi
Kompas/Herlambang Jaluardi

Tembok yang digambari dan diimbuhi kalimat itu adalah pembatas antara jalan inspeksi dan halaman parkir peti kemas. Di lokasi sekitar itu memang banyak gudang. Truk besar pengangkut peti kemas berseliweran. Suasana itu sedikit banyak menjabarkan kalimat ”Jakarta Kelebihan Beban”.

”Wah, bener banget tuh, Bang. Jakarta emang kelebihan beban,” ujar salah seorang warga yang mendatangi Riyan dan anggota komunitas Trotoart saat rehat ketika hujan turun. Saat mengerjakan itu, hanya hujan yang bisa menghentikan mereka. Tak ada gangguan dari aparat pemerintah ataupun preman walau mereka mengerjakannya ketika hari sedang terang.

Sisi itu adalah tahap awal pengerjaan mural itu. Riyan dan komunitas Trotoart bersiap mengisi tembok lain di sisi seberang kali keruh kehitaman itu. Menurut rencana, tulisan di sisi lain itu adalah ”Jakarta Beton Belantara” dengan gambar sepanjang 100 meter.

Riyan mendapat kalimat itu dari pengikutnya di media sosial. Ia melontarkan sayembara itu sekitar seminggu sebelum mulai membuat mural. Pemilik akun bernama Bayu Triyanto menyumbang kalimat ”Jakarta Kelebihan Beban”, sementara Irvanhasanta mengusulkan ”Jakarta Beton Belantara”. Atas kalimat itu, keduanya mendapat uang jajan.

Riyan adalah pembuat mural yang juga aktif di media sosial. Lewat akun Instagram dengan sekitar 65.000 pengikut, Riyan sering memajang karyanya. Selain tembok, ia juga menjadikan internet sebagai galeri karyanya.

 

Timpa Sendiri

Jhons Patriatik Karlah, penggawa Trotoart, adalah orang yang mengusulkan menggambar tempat itu. Sehari-hari, Bang Joni, nama panggilannya, tinggal tak jauh dari lokasi mural itu. Ia memastikan mural bakal aman dari vandalisme timpaan.

Sebenarnya timpa-menimpa gambar di tembok adalah hal yang wajar. Riyan bahkan ”menghapus” sebagian abjad ”N”, seolah-olah dihapus oleh aparat. Di banyak tembok di sekitar Jakarta memang sering terlihat guratan cat hitam menutupi karya mural atau grafiti. Bisa jadi tujuannya agar terlihat rapi. Tapi, dengan menimpanya dengan cat warna lain, kesan yang timbul malah kotor.

Di daerah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Riyan pernah menemui pemandangan seperti itu. Di atas timpaan cat berwarna putih itu, Riyan malah menggambar karakter The Popo dengan kalimat ”Udah saya hapus tuh pak coretan di sebelah saya”.

Sineas Anggun Priambodo pernah membuat karya tentang timpa-menimpa lukisan jalanan ini. Ia menggambari tembok dengan karakter imajinasinya, lalu menutupnya sendiri ala penertiban oleh aparat. Di atas timpaannya, Anggun membiarkan orang lain menggambarinya lagi.

Trotoart yang dibentuk Bang Joni pada 2001 termasuk salah satu kelompok seni jalanan yang pertama membuat mural di Jakarta. ”Awalnya kami adalah seniman pelukis wajah yang biasa mangkal di daerah Pintu Besar, Grogol. Kami diminta panitia JakArt lewat komunitas Ruangrupa membuat mural pada 2001,” kata Joni.

 

Pesan di Atas Tembok

Akhir pekan lalu, beberapa orang dari Forum Solidaritas Jogja Damai menutup tembok di bawah Jembatan Kleringan, Kota Yogyakarta, dengan warna hitam. Di atasnya mereka menuliskan kalimat ”City of Tolerance” dengan imbuhan tanda tanya. Di sisi lainnya ada penegasan ”Penyeragaman Membunuh Keberagaman”.

Di situs Urbancult.net dijelaskan, mural itu sebagai bentuk kritik kepada Pemerintah Yogyakarta yang mengaku mengusung slogan sebagai kota penuh toleransi. Padahal, beberapa saat sebelumnya kerap terjadi pembubaran paksa sejumlah acara pertukaran gagasan kaum muda.

Mural memang tak selalu identik dengan nada protes. Ia bisa berbentuk identitas kelompok pembuatnya. Banyak kelompok suporter klub sepak bola juga menghiasi dinding kota asal klub tersebut. Ketika melihat banyak guratan Viking, misalnya, artinya kalian sedang berada di sekitar Kota Bandung.

Kota-kota lain juga punya identitas serupa yang bisa dilihat dari muralnya. Selain identitas, mural juga jadi sarana promosi produk komersial. Ya, mau bagaimana lagi, tembok sudah menjadi penyampai pesan.

 

(Herlambang Jaluardi)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2016, di halaman 24 dengan judul “Seni Jalanan: Suara-suara dari Tembok”