Video Game: Berlayar Menyambut Badai

0
1506

Bukan sekadar keinginan sesaat yang mendorong Dodick Zulaimi Sudirman memutuskan untuk berhenti sebagai dosen tetap di sebuah universitas swasta di Kabupaten Tangerang, Banten. Di antara waktu luangnya karena kini hanya menjadi dosen tidak tetap, dia mencurahkan segenap kecintaanya untuk membuat permainan interaktif elektronik atau ”video game”.

Ascender, sebuah permainan yang mengisahkan robot bernama Sky yang bertualang dan menyelesaikan teka-teki, adalah karya yang sedang dirintis studio tempat Dodick berada, yakni Gambreng Games. Karyanya saat ini baru mencapai 30 persen. Namun, dia yakin, tim berisi 11 anak muda ini akan mampu merampungkan permainan tersebut pada tahun 2016. ”Keinginan kami adalah membuat permainan dengan genre teka-teki tanpa harus menampilkan kekerasan,” ujar Dodick saat ditemui di Game Developer Gathering 2015 di Bandung, Jawa Barat, awal November.

Sebagai pengembang permainan interaktif elektronik, Gambreng Games memutuskan untuk membuat karya yang akan didistribusikan melalui kanal digital Steam untuk dijalankan di komputer pribadi (PC). Pilihan tersebut bukan tanpa alasan. Mereka bisa membuat permainan untuk perangkat bergerak seperti ponsel pintar. Namun, mereka menghadapi persaingan yang tinggi.

Di kanal distribusi aplikasi perangkat bergerak seperti App Store saja terdapat 300.000 judul yang diunggah setiap bulan. Mereka pun harus bersaing untuk mendapatkan perhatian para pengguna yang mayoritas menggunakan skema gratis dengan transaksi di dalamnya.

Gambreng Games yang berdiri tahun 2013 sudah mengerjakan 10 judul permainan dan mengumpulkan orang dari berbagai latar belakang, seperti dosen yaitu Dodick, pustakawan, ataupun mahasiswa. Proyek Ascender ini juga diawali dengan modal yang dikumpulkan dari dana pribadi ataupun bantuan dari perseorangan atau kerap dijuluki istilah angel investor dalam dunia perusahaan digital.

Di kanal digital Steam, lanjut Dodick, judul yang dijual masih terbatas atau sekitar 4.500 buah dengan pengguna yang bersedia membayar. Dari sisi bisnis, lebih masuk akal untuk menjual karya di jalur ini karena bisa dilakukan sendiri ketimbang harus memanfaatkan jasa pihak ketiga apabila ingin menjual aplikasi permainan untuk perangkat bergerak.

Pengunjung Game Developer Gathering 2015 mencoba karya para pengembang permainan yang ditampilkan di sana, Sabtu (7/11).  *** Local Caption *** GDG 2015 menjadi ajang untuk memperkenalkan purwarupa dari karya pengembang dalam negeri berikut potensi dari pasar dalam negeri.
Pengunjung Game Developer Gathering 2015 mencoba karya para pengembang permainan yang ditampilkan di sana, Sabtu (7/11).

Dalam sunyi

Pada Jumat lalu, karya lain berjudul Nusakana sudah dirilis di kanal digital Steam untuk bisa dibeli secara bebas. Permainan tersebut adalah buah dari diskusi dua anggota studio ini, yakni Rizki Andhika dan Jason Vendy, pada tahun 2012. Semula keduanya hanya bertemu lewat internet dan berangan-angan membuat permainan dibantu perangkat lunak RPG Maker. Dari sana konsep Nusakana terbentuk. Pemain dihadirkan pada era tahun 1950-an dan mendatangi pulau misterius untuk menguak misteri di dalamnya.

”Pengerjaannya dilakukan setelah saya lulus dan bekerja, sementara Jason masih berkuliah,” kata Rizki.

Melalui skema Greenlight di kanal digital Steam, Rizki dan Jason bisa menawarkan karya mereka untuk dijual meski baru sebatas purwarupa. Kesempatan tersebut memberikan mereka dana yang cukup untuk merampungkan permainan elektronik ini dan menyempurnakannya berdasarkan masukan para pemain.

Keduanya bekerja dalam sunyi. Rizki bahkan mengaku belum memberi tahu keluarganya mengenai inisiatifnya ini. Dia masih dikenal sebagai karyawan di sebuah bengkel.

Kecenderungan untuk membuat karya digital seperti permainan interaktif elektronik kian meningkat sejak dua tahun terakhir. Semua tidak akan lupa dengan keberhasilan Digital Happiness, studio asal Kota Bandung, yang sukses menggalang dana secara daring melalui layanan Indiegogo untuk merampungkan karya mereka berupa permainan genre horor DreadOut dan diikuti dengan kesuksesan untuk dijual di kanal digital Steam setelah sebelumnya lolos skema Greenlight.

Saat bertemu dengan Rachmad Imron, Manajer Proyek DreadOut, pada Agustus lalu, dia mengungkapkan, biaya produksi 25.000 dollar AS sudah tertutup setelah bulan kedua muncul di Steam. Dari data penjualan permainan mereka, mayoritas konsumen berasal dari Amerika Serikat atau sekitar 48 persen, diikuti dari Rusia sebanyak 22 persen, sementara Indonesia sendiri masih 4 persen.

”Harus dimaklumi karena penetrasi kartu kredit yang dipakai untuk pembayaran Steam masih rendah di Indonesia. Kami juga mengupayakan metode lain seperti voucher untuk mengisi saldo dan lantas dipakai berbelanja,” ujar Rachmad.

Setelah DreadOut, muncul judul-judul permainan lain untuk komputer dengan membawa kisah sukses. Ada yang sukses menggalang dana seperti dilakukan studio Artoncode yang mengumpulkan 70.832 dollar Kanada untuk proyek mereka, yakni Winterflame: The Other Side yang akan dirampungkan pertengahan 2016 mendatang.

Indra Gunawan, CEO Artoncode, ikut optimistis. Keberhasilan dalam penggalangan dana ini membuktikan potensi tenaga ahli di Indonesia mendapatkan pengakuan dari luar negeri. Keberhasilan sebuah kampanye penggalangan dana berarti ide cerita ataupun gaya visual sebuah permainan berhasil memikat orang-orang dan menggerakkan mereka untuk ikut membantu mewujudkan konsep tersebut.

Tantangan

Berdasarkan pemetaan studio pengembang permainan interaktif elektronik yang dilakukan harian Kompas sejak Juli, terdapat setidaknya 87 studio yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia. Setiap tahun, bermunculan studio baru yang membuat karya untuk PC ataupun perangkat bergerak.

Hasil pemetaan yang bisa dibaca secara utuh di id.infografik.print.kompas.com/gamedev mengungkapkan, kemunculan studio-studio baru makin marak sejak tahun 2013 dan umumnya berukuran kecil, yakni 1-3 orang dan 4-7 orang. Jumlah karya yang mereka pasarkan sedikitnya mencapai 100 judul pada tahun 2014 dan 120 judul hingga November tahun ini.

Maraknya geliat industri yang terbilang masih bayi ini juga ditingkahi potensi ekonomi yang dihasilkannya. Riset dari Newzoo menyebutkan, industri game sebagai bagian dari industri digital terus bertumbuh. Penerimaan dari sektor ini mencapai 312,7 juta dollar AS dan Indonesia menempati peringkat ke-25. Sebagai pembanding, Thailand ada di posisi ke-23 dengan pemasukan lebih tinggi, yakni 337,5 juta dollar AS, dari penduduk sebanyak 67,4 juta jiwa.

Besarnya potensi tersebut memunculkan harapan yang tinggi untuk tumbuhnya industri yang dipenuhi anak muda ini menjadi raksasa di negeri sendiri. Harapan tetap besar meskipun saat ini sektor itu belum dianggap serius. Ketidakseriusan tersebut salah satunya terlihat dari industri permainan yang tidak menjadi subsektor sendiri dalam Badan Ekonomi Kreatif, tetapi bergabung bersama aplikasi dan animasi.

Arif Widhiyasa, CEO Agate Studio, mengatakan, industri permainan interaktif elektronik di Indonesia masih belum matang. Keberadaannya belum diakui di peta industri serupa di tingkat global. Kondisi tersebut mirip dengan di Jepang 15 tahun lalu saat masih tumbuh.

”Yang dibutuhkan saat ini adalah kolaborasi-kolaborasi dengan pemain internasional agar ada perpindahan pengetahuan,” ujar Arif.

Kolaborasi seperti itu saat ini sudah dirintis beberapa studio, seperti Touchten yang bekerja sama dengan situs 9gag untuk membuat dua judul permainan, yakni Redhead Redemption dan Ramen Celebrity, atau Artoncode bersama perusahaan Malaysia untuk membuat permainan pendidikan, hingga kerja sama dengan perusahaan global seperti Namco Bandai untuk merilis permainan untuk pasar global.

CEO Touchten Games Anton Soeharyo optimistis menyebut era keemasan industri permainan interaktif elektronik Indonesia akan datang dua tahun mendatang. Alasannya adalah penetrasi ponsel pintar yang terus meningkat sejak tiga tahun terakhir dan segera mencapai puncaknya. Begitu pula dengan pertumbuhan kelas menengah yang mampu berbelanja dan menggerakkan ekonomi dari industri ini.

Dia mencontohkan, Vietnam memupuk industri permainan mereka dengan sejumlah regulasi dan sokongan kepada pemain lokal. Dukungan ini memampukan mereka berdikari dan kemudian bisa bersaing secara adil dengan pemain dari luar negeri yang datang.

Hal senada diutarakan Dien Wong, CEO Altermyth Studio, yang menyatakan, industri permainan di sebuah negara setidaknya membutuhkan satu kisah sukses untuk menginspirasi kepercayaan dari para investor akan sektor ini. Salah satu contohnya adalah film Petualangan Sherina yang sukses secara komersial dan menumbuhkan harapan bahwa industri film dalam negeri bisa bangkit kembali. Kepercayaan tersebut penting karena belum banyak investor yang memahami dunia industri permainan yang berisiko tinggi dan investasi mereka tidak bisa kembali dalam waktu singkat.

Sebelum sektor lain sudah meributkan tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu ketika perpindahan jasa, orang, dan produk lintas negara di Asia Tenggara kian mudah pada awal tahun 2016, para pelaku industri permainan interaktif elektronik sudah bergulat dengan pasar internasional. Mereka sudah berlayar menyongsong badai yang mendekat dan tetap bisa berlayar.

(DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO)