Agus, penjual produk rekaman berwujud kaset, cakram padat, dan piringan hitam di Blok M Square berseri-seri. Ia penuh semangat menceritakan kesibukannya mengemas dan mengirim pesanan konsumennya. Belakangan, ia banyak menjual album ”Taifun” milik grup Barasuara dan album ”Los Skut Leboys” dari Sore.

”Lima tahun saya berdagang album musik band indie, sekarang ini adalah masa paling laku,” kata Agus, pemilik sekaligus penjaga kios Warung Musik yang terletak di lantai basement itu. Ia mengaku telah menjual sekitar 400 keping album Taifun dalam waktu kurang dari sebulan sejak diedarkan di pasaran. Kondisi serupa juga terjadi pada album Los Skut Leboys, album studio ketiga dari jagoan kancah musik independen Sore.

Album Los Skut Leboys, yang diproduksi label Rooftopsound Records baru diedarkan pertengahan Oktober. Sebelumnya, versi khusus album itu dijual terbatas sebanyak 300 keping pada awal September. Pada awal November, label rekaman tersebut mengumumkan, album telah terjual hingga 2.000 keping. Angka yang cukup mengagumkan.

Selain dua album itu, Agus juga puas pada album Constellation dari duo Stars and Rabbit, Axis Mundi dari Polka Wars, Teriakan Bocah dari Kelompok Penerbang Roket, serta Dosa, Kota, dan Kenangan milik Silampukau. ”Kabarnya Efek Rumah Kaca akan mengedarkan album terbaru pada akhir tahun. Sepertinya (penjualannya) bakal pecah tuh,” katanya berseri-seri.

Nama-nama band yang disebut Agus tergolong baru. Mereka muncul ketika pola mendengar musik orang beralih ke berkas digital (MP3 ataupun yang beresolusi besar semacam AIFF dan FLAC). Namun, band-band itu tetap memproduksi album dalam wujud fisik.

Selain nama baru, band yang tergolong lama juga berani mengeluarkan lagi katalog lama album mereka. Band Naif yang genap berumur 20 tahun pada tahun ini mengedarkan tiga album terawal mereka dalam format piringan hitam. Satu album perdana mereka juga dicetak lagi dalam wujud CD.

Saat melepas tiga album piringan hitam itu, Agustus silam, David Bayu, vokalis Naif berujar, format album fisik bakal mengabadikan karya yang bisa dirasakan wujudnya. Fungsinya bukan untuk kesenangan sesaat, melainkan menjadi warisan produk budaya kepada generasi penerus. ”Ini (piringan hitam) bisa jadi warisan buat anak-cucu kalian nanti. Jangan dijual lagi ya,” seloroh David.

Ucapan itu menyiratkan, album piringan hitam sedang laris. Sejumlah band dalam negeri, umumnya dari kancah independen, melepas piringan hitam. Album itu dibeli saat peluncuran album sampai ludes dan banyak dijual lagi dengan harga berlipat.

Jajan rock

Perdagangan album musik berwujud fisik tetap ramai di toko tertentu, seperti toko yang dijalankan Agus dan belasan lainnya di sekitar Blok M. Di Bandung ada toko Omuniuum yang menjadi rujukan ketika hendak ”jajan rock”, istilah yang dipopulerkan musisi Bin Harlan Boer untuk keasyikkan belanja produk musik.

Tanda pagar (hashtag) #jajanrock di media sosial, terutama Twitter dan Instagram menjadi ”pasar maya” aneka barang musik, seperti CD, kaset, dan kaus band. Tidak semua penjual memiliki toko nyata seperti Warung Musik dan Omuniuum. Lebih banyak merupakan pedagang dadakan yang bertransaksi lewat transfer dan mengandalkan jasa pengiriman barang.

Keriuhan belanja produk fisik musik itu tampaknya hanya terasa di toko tanpa jaringan nasional. Jaringan toko Disc Tarra yang punya 40 gerai di seluruh Indonesia rupanya punya perhitungan lain. Akhir tahun ini, mereka menutup toko-toko tersebut. Banyak pihak menduga, penutupan itu disebabkan penurunan penjualan produk fisik musik, sementara harga sewa toko di mal naik.

Berdasarkan catatan Litbang Kompas, masa keemasan penjualan rekaman fisik terjadi pada pertengahan 1990-an. Pada 1996, penjualan album musik mencapai 77,5 juta kopi. Angka tersebut menurun hingga 41,6 juta kopi pada 1998 ketika resesi ekonomi. Penjualan bangkit lagi setahun kemudian, yaitu 64,5 juta keping.

Setelah itu, pasar album musik makin lesu. Catatan terakhir selama tiga tahun dari 2011 hingga 2013 total album terjual ”hanya” 15 juta hingga 20 juta. Jika dirata-rata, setiap tahun hanya sekitar 5 juta kopi terjual.

Pada tahun 2013 inilah perubahan cara dengar musik mulai terlihat nyata. Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) mencatat, orang mengunduh musik secara ilegal dari internet sebanyak enam juta kali setiap hari.

Jualan di restoran

Hal menarik lainnya, pada tahun-tahun itu, beberapa label rekaman bekerja sama dengan restoran cepat saji untuk menjual produk mereka. Dari catatan Asiri yang dikutip Kompas, album perdana Indah Dewi Pertiwi, Hipnotis, diperkirakan terjual hingga 2 juta kopi. Album tersebut dijual di gerai Kentucky Fried Chicken. Agnes Monica pada 2011 juga menggunakan sistem distribusi serupa untuk albumnya Agnes is My Name. Dan album itu diperkirakan laku hingga 1,5 juta kopi.

Menjual album musik di restoran cepat saji terlihat istimewa dari sisi penjualan. Namun, perdebatan terjadi apakah album benar-benar dinikmati dan diapresiasi pembelinya. Banyak obrolan di blog yang menyebutkan, orang ”membeli” album itu karena dijual sebagai paket makanan. Sesampai di rumah, album tersebut teronggok dengan segel masih rapi.

Toto Widjojo, Managing Director Warner Music Indonesia, menyebutkan, penjualan album musik di rumah makan dan minimarket adalah alternatif pemasaran. ”Namun, judul yang dijual di sana kan terbatas. Orang tidak punya banyak pilihan. Ini beda dengan kesenangan orang membeli CD atau kaset di toko konvensional,” kata Toto.

Penyanyi Gita Gutawa juga merasakan kesenangan itu jika mendatangi toko yang khusus menjual produk rekaman. Semasa kanak-kanak, ia sering diajak ayahnya, pemusik Erwin Gutawa. ”Sampai dewasa sekarang juga masih sering belanja ke toko CD. Waktu di Inggris, ayah sering titip dibelikan CD sebelum pulang ke Indonesia,” ujarnya.

Toko kaset dan CD memang berkurang, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di banyak negara lain, seperti di Inggris, berdasarkan penuturan Gita. Tetapi, bukan berarti sudah tidak ada sama sekali. Kita masih bisa jajan rock di internet, memesan CD, piringan hitam, atau mengunduh lagu secara benar. Bergembiralah selama musik masih dimainkan dan direkam!

(Herlambang Jaluardi)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 November 2015, di halaman 34 dengan judul BUDAYA POP: Cara Berganti, Musik Tetap Sama”