Ery Mefri: Minangkabau Hari Ini

0
3688

Tegas, gesit, kuat, sekaligus lembut tapi bertenaga. Kontemporer, tetapi jejak tradisinya memberi aroma yang sangat Indonesia. Itulah gerak tari yang mewarnai koreografi Ery Mefri (57) yang berakar kuat dari budaya Minangkabau. Ia lahir, tumbuh, dan berkarya di atas pijakan tradisi. ”Saya tidak pernah meninggalkan tradisi….”

Lahir di Solok, Sumatera Barat, 23 Juli 1958, Ery Mefri menjadi salah seorang koreografer yang membawa rasa Indonesia lewat karyanya di panggung internasional. Jadwal pentasnya untuk tahun depan, misalnya, sudah penuh. Pada Juli, Ery dan Nan Jombang Dance Company mengikuti Performing Art Market di Jepang. Pada Agustus-September, mereka akan tampil di North Shore Center for the Performing Art, Chicago, Amerika Serikat. Ada pula jadwal tampil di India serta tur Rantau Berbisik di Amerika Serikat pada Oktober-November. Itu belum termasuk agenda di dalam negeri.

Menarik disimak bagaimana kekinian, kekontemporeran karya Ery yang tetap berpijak pada budaya yang melahirkannya, yaitu Minangkabau. Berayah maestro tari Djamin Manti Jo Sutan, Ery sudah menari sejak umur 6 tahun. Dia kemudian belajar tari secara ”sekolahan” di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Padang Panjang. Ia mengenal benar tari yang tumbuh di Minangkabau. Dari dasar itu, ia mengembara, terus-menerus melakukan pencarian hingga karya Ery Mefri diakui di pentas-pentas berwibawa di berbagai negara. Ia membawa rasa Indonesia dalam pergaulan kesenian dunia.

Simak karya Ery berjudul Sang Hawa yang dibawakan Angga Mefri dan Rio Mefri—mereka adalah istri dan anak Ery. Angga bertumpu pada pundak Rio, dan dalam gerakan pelan, Angga ringan melenting dengan posisi kaki di atas. Posisi itu bertahan beberapa saat. Indah, lembut, tapi juga ”keras” dan sangat susah untuk dilakukan tanpa proses latihan yang intens. Sebelum itu Sang Hawa menampilkan pergumulan yang mengingatkan kita pada gerakan silat. Rapat, kuat, lincah, bertenaga. Melompat, melenting, salto, tubuh-tubuh yang jatuh dan bangkit seketika.

”Tari Minang itu tidak harus lembut. Basic dari tarian Minang itu silat. Sedangkan karakter silat itu sendiri berbeda sesuai karakter aliran seperti silat harimau, silat buaya, dan banyak lagi aliran-alirannya. Kelembutan itu mungkin kelembutan yang ke dalam. Dulu penari tradisi (Minangkabau) itu laki-laki. Saya lihat semua penari tradisi itu pesilat, seorang pesilat yang telah mencapai tataran yang tinggi sehingga ia menari bagai bersilat. Tapi, semua pesilat belum tentu bisa menari.”

Sang Hawa ditampilkan dalam Kaba Festival yang berlangsung pada 11-13 Desember lalu di Ladang Nan Jombang, sanggar dan sekaligus kantong budaya yang dibangun Ery Mefri di Balai Baru, Padang. Kaba Festival yang mulai digelar tahun 2014 digagas Ery sebagai ruang bagi seniman untuk berproses, mencari, bereksplorasi dengan pijakan tradisi. Di ladang kreatif itu, seni tradisi diberi ruang. Para seniman diundang untuk melihat, mendengar, memperhatikan akar budaya mereka. Lalu mereka dirangsang untuk berproses dengan berpijak pada tradisi. Sebagai simpul dari aktivitas bulanan itu, Ery dan Ibrahim Ilyas, tokoh kesenian setempat, menggagas Kaba Festival.

Terima kasih tradisi

Ladang Nan Jombang, dan Kaba Festival digelar sebagai bentuk ucapan terima kasih Ery Mefri pada tradisi Minangkabau yang melahirkannya. Ladang Nan Jombang terbuka bukan saja bagi seniman tari, melainkan juga teater, sastra, musik, dan apa saja.

Seperti ”berutang budi” pada tradisi….

Ini sebagai ucapan terima kasih kami kepada tradisi. Kami tidak merusak tradisi. Saya ketuk para seniman untuk datang ke sini. Kita rangsang mereka untuk berbuat sesuatu untuk tradisi. Ada enggak? Kalau ada, proseslah.

Saya berterima kasih pada tradisi karena saya datang dari tradisi, saya belajar tari, karya saya berbasis tradisi. Jadi, saya tidak keluar dari tradisi, saya pelajari teknik-teknik yang ada di tradisi. Kemudian saya olah tanpa merusak tradisi. Tradisi sebagai perangsang. Saya pelajari tradisi untuk karya kontemporer itu sendiri. Jadi saya balik, ada orang menari tari modern untuk menggali tradisi. Saya menggali tradisi untuk menari modern. Jadi tradisi tetapi menjadi pijakan.

Dibandingkan dengan tari tradisi yang tumbuh di Minangkabau karya Anda sudah berbeda tapi masih terasa aroma tradisinya. Tampak ada pencarian intensif.

Pencarian itu sangat penting, tapi jangan berharap kita akan menemukan apa yang kita cari. Saya wajib mencari, dan saya melakukannya terus-menerus, tanpa berharap untuk ketemu. Bukankah kita sebenarnya tidak tahu apa yang kita cari. Di mana dia berada, saya juga tidak tahu. Tapi, saya percaya, dengan terus mencari, apa yang kita cari itu akan datang sendiri.

Ladang Nan Jombang dibangun di atas tanah seluas 2.500 meter persegi. ”Tanah di sini dulu bekas ladang bengkuang,” kata Angga Mefri yang mengajak Kompas berkeliling. Ladang berolah seni itu dibangun dari hasil jerih payah Ery dan Nan Jombang Dance Company.

Ey Mefri (tengah) bersama Rio Mefri (kiri) dan Angga Mefri setelah pentas "Sang Hawa" dalam Kaba Festival di Ladang Nan Jombang, Padang, Minggu (13/12). Kompas/Frans Sartono
Ey Mefri (tengah) bersama Rio Mefri (kiri) dan Angga Mefri setelah pentas “Sang Hawa” dalam Kaba Festival di Ladang Nan Jombang, Padang, Minggu (13/12).
Kompas/Frans Sartono

Seniman muda dari Padang Panjang, misalnya, menempuh perjalanan 70 kilometer dengan sepeda motor untuk ikut berdiskusi atau menyaksikan pentas-pentas. Setiap bulan digelar pentas seni tradisi. Seniman, siapa pun mereka, diajak mempelajari, mengamati, dan berproses dengan basis seni tradisi.

Apa gagasan mendirikan Ladang Nan Jombang?

Saya ingin tempat ini menjadi wadah bagi seni tradisi yang wadahnya tidak ada. Mereka (pelaku seni tradisi) bisa datang ke sini, silakan tampil apa adanya setiap bulan. Saya berharap dari tempat ini lahir Ery Mefri-Ery Mefri yang lain. Saya yakin banyak potensi yang luar biasa di Minangkabau. Saya ingin wadah untuk potensi itu, itu maka muncul ide Kaba Festival. Mereka punya kesempatan untuk muncul.

Jadi, jangkauan Kaba Festival banyak. Bukan hanya untuk diri saya, untuk Nan Jombang (Dance Company), melainkan juga untuk teman-teman seniman. Saya ingin tempat ini jadi ruang bagi teman-
teman untuk berkarya, berproses….

”Di Solo Tuhan Berbisik…”

Perjalanan Ery Mefri sampai kemudian tampil diakui di pentas internasional bukan kisah instan semalam. Kalau itu disebut ”proses”, Ery ”berproses” selama 25 tahun lebih dalam pencarian.

Pernah bergabung dengan Gumarang Sakti, kelompok tari pimpinan Gusmiati Suid, Ery kemudian mendirikan Nan Jombang Dance Company pada 1 November 1983. Setelah malang-melintang di dunia ”persilatan” tari selama hampir 25 tahun. Ery mendapat celah pertama pada 2004 saat berlangsung Indonesia Performing Arts Mart (IPAM) di Bali yang digelar Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. Ketika itu Ery menampilkan karya berjudul Sarikaik.

Cukup lama Anda ”sengsara” ya?

Dari 1983 sampai 2004, Ery Mefri berjuang dan enggak ada yang memunculkan. Tahun 2004 itu tonggak. Di IPAM orang-orang terperangah. Andrew Ross, (Direktur Brisbane PowerHouse, gedung pertunjukan di Brisbane, Australia) yang tiap tahun dua kali datang ke Indonesia, bilang kepada saya. ”Saya setiap tahun dua kali datang ke Indonesia, tetapi kok saya tidak pernah lihat yang seperti ini. Siapa yang mengurus kalian?” Saya bilang tak ada. Lalu dia pegang tangan Angga. ”Apakah saya boleh menangani kalian?” Saat itu kami semua menangis. Kami sudah lama menunggu kesempatan seperti itu. Tahun berikutnya kami ke Australia.

Ada perubahan ”nasib”?

Tahun 2007 untuk pertama kali kami tampil di Australia. Tapi, penderitaan belum selesai. Waktu itu kami mau berangkat. Subuh, bapak meninggal. Tapi, terpaksa saya tinggalkan karena saya harus berangkat, dan ini merupakan yang pertama kami akan tampil di luar negeri. Saya sudah lama bercita-cita, kalau saya sukses, saya akan satukan kembali bapak dan ibu (orangtua Ery berpisah). Tapi, begitu saya sukses, bapak telah pergi. Itu kekecewaan saya, tetapi sekaligus juga menjadi penyemangat saya.

Ery kemudian menceritakan kisah duka serupa yang terjadi tahun 1994 saat ia akan tampil di Amerika Serikat untuk mengikuti American Dance Festival di North Carolina, Durham, dan New York. Ketika hendak berangkat, salah seorang anak Ery terkena tifus. Ery sebenarnya merasa berat hati meninggalkan rumah, tetapi anaknya yang sakit itu justru memberi semangat. ”Bapak berangkat saja, ubah hidup kita agar lebih baik. Waktu hari ke-8 saya di Amerika, anak saya meninggal.”

Tonggak berikutnya terjadi di Solo, juga dalam perhelatan IPAM pada tahun 2009. Ketika itu Ery Mefri dan Nan Jombang Dance Company menampilkan karya Rantau Berbisik.

Anda menyebut itu sebagai ”Tuhan Berbisik”?

Saya selalu menyebut kepada semua orang bahwa di Solo, Tuhan berbisik. Setelah tampil di Solo, semua koran menulis RantauBerbisik di halaman satu. Dan malam itu setelah tampil banyak buyers (kurator seni dari luar negeri) yang datang ke ruang ganti. Semua bikin janji (kesepakatan untuk menampilkan). Dan janji-janji tahun 2009 itu semua kami laksanakan sampai hari ini.

Napas hidup

Ery lahir, tumbuh, dan hidup dari tari. Ayahnya Djamin Manti Jo Sutan adalah seorang maestro tari Minangkabau. Semasa usia balita Ery sering tiduran dan tertidur di pangkuan bapaknya yang sedang bermain gendang untuk mengiringi penari.

”Bapak mukul gendang, telinga saya mendengar. Sementara itu, mata saya melihat penari. Karena saya selalu melihat dan mendengar, jadi tidak ada pembatas antara melihat tari dan mendengar bunyi gendang, dan itu terbawa dalam tidur. Bertahun-tahun seperti itu, akibatnya umur 6 tahun saya sudah bisa menari tanpa belajar. Tapi, itu sebenarnya tidak aneh, dan hal itu sebenarnya proses yang biasa terjadi.”

Mengapa?

Istilah orang-orang tua dulu, melihat itu lebih dari membaca. Dan memperhatikan itu lebih dari melakukan. Nah, dari umur 6 tahun itu, saya sudah bisa menari. Jadi, mendengar, melihat, memperhatikan, dan segala sesuatunya akan berpindah ke tubuh. Bapak lalu membimbing saya ke arah yang benar. Bapak memasukkan saya ke guru silat. Itu guru silat bapak. Dan sesudah itu menari terus diajarkan.

Lahir, tumbuh, dan sampai hari ini hidup dari tari, apa makna menari bagi Anda?

Tari itu napas saya karena setiap gerakan itu ada bunyinya walau tidak terdengar. Tubuh kita selalu bergerak, dan selalu ada bunyi yang dikeluarkan ketika tubuh bergerak. Setiap bunyi yang kita keluarkan itu selalu ada gerak. Setiap gerak yang kita lahirkan, selalu ada bunyi walau tidak terdengar. Tapi, sebenarnya ada sesuatu yang selalu terdengar, yaitu napas kehidupan. Jadi, menari itu napas saya….

Sejumlah Karya Ery Mefri:

  • Rantau Berbisik
  • Sang Hawa
  • Sarikaik Pangka Sangketo
  • Adat Salingka Nagari
  • Negara Tak Berbaju
  • Tangka Sang Caka
  • Tiang Nagari
  • Rantok Piriang
  • Pitaruah
  • Bendera
  • Tunggal
  • Bundo Kanduang

(FRANS SARTONO)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2015, di halaman 13 dengan judul “Ery Mefri: Minangkabau Hari Ini”