Kaki Tangan Gemetar Dengar Goyang Kendang

0
1518

Alam yang kering dan keras melahirkan seni yang terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Menyalakan api, membuka kebun, panen, hingga injak padi menjadi tradisi berbalut seni yang hingga kini masih dijaga lestari di tanah Flores.

Menyaksikan upacara injak padi di Flores Timur tak ubahnya melihat serangkaian tari tengah dipentaskan. Gerakan ritmis kaki dan tangan yang ditingkahi mantra dan juga lagu pemberi semangat adalah unsur yang membuat rangkaian upacara menjadi seperti pentas seni. Hanya saja panggungnya berupa ladang yang pada musim kemarau tanahnya retak-retak. Ladang ini sebenarnya lebih mirip lahan bebatuan dengan tanah di sela-selanya. Bahkan, pada puncak musim kemarau, rumput pun mengering dan enggan tumbuh kembali.

Kami berkesempatan menyaksikan ritual injak padi atau hamama ketika melewati Desa Wato Tika Ile di Kecamatan Demon Pagong atau sekitar 45 menit dari Larantuka, pusat kota Kabupaten Flores Timur. Kain-kain tenun dengan motif primitif yang dikenakan tampak indah ketika dikontraskan dengan pemandangan ladang padi gogo yang kering dengan siluet gunung dan perbukitan. Dalam kelaraan kemarau tersembunyi keindahan.

Rangkaian upacara diawali dengan para tetua suku berkumpul di kolong lumbung padi. Di hadapan mereka tersaji tampah atau wadah dari anyaman daun lontar, berisi sirih, pinang, telur, kain tenun, kelapa hijau, tuak, gading, hingga lilin yang dinyalakan. Setiap pemimpin suku punya peran masing-masing. Misalnya, saat hendak memotong babi atau kambing sebagai persembahan, keluarga Koten bertugas memegang kepala hewan, keluarga Hurit memotong kain, dan keluarga Kelen memegang bagian ekor.

Pemimpin doa memulai rapalnya yang pada bagian tertentu diikuti oleh para hadirin sambil mengunyah sirih pinang. Ia menyebut dan memanggil semua leluhur hingga tujuh lapis ke atas. Ia berusaha meminta restu para leluhur yang berhimpun di sawah, ladang, gunung, hingga lautan agar ritual ini berjalan lancar. Dalam beberapa kesempatan, mereka meneguk tuak sebagai sarana komunikasi dengan alam lain.

Lewat tarian

Di salah satu sudut, duduk tiga ina (ibu) dengan bakul-bakul berisi penuh beras dan nasi. Mereka menjaga beras dan nasi itu agar tidak ”dimakan” oleh roh jahat. Dengan begitu, nasi yang akan disantap dan beras yang akan dimasak cukup untuk dimakan bersama-sama oleh puluhan orang yang terlibat dalam ritual ini. Dalam banyak tradisi etnis Lamaholot yang diyakini di Flores Timur, sosok perempuan dipentingkan. Ini karena masyarakat yang lebih dekat dengan kultur agraris ini sangat menghormati sosok dewi padi atau nini peni. Semua upacara dilakukan sebagai penghormatan atau meminta restu dari nini peni.

Bersamaan dengan itu, sebagian orang mulai menggelontorkan batang-batang padi yang masih lengkap bulir-bulirnya dari dalam lumbung yang dibangun di tengah ladang. Lalu dimulailah acara injak padi yang musikal. Sekelompok pemuda kemudian bergerak dalam lingkaran. Kaki kanan dan kiri melangkah bergantian satu-satu, lantas pada langkah keempat, kaki dientakkan lebih keras. Begitu terus secara berulang-ulang. Gerakan ini membantu bulir padi terlepas dari batangnya. Gerakan kedua, masih dalam posisi melingkar. Kali ini, setiap orang bergerak menyamping. Kaki kanan dan kiri secara bergantian menyeret batang-batang padi dari arah luar ke dalam mendekati posisi tubuh lantas dijejak-jejak. Gerakan ini membuat seluruh bulir benar-benar rontok dari batangnya.

Sisa batang lantas diambil dan dikumpulkan di sisi terluar lumbung. Bulir-bulir padi dikumpulkan ke arah lumbung dengan gerak kaki yang juga seperti orang menari. Rangkaian gerakan tadi dilakukan berulang-ulang sampai seluruh batang padi dari dalam lumbung selesai dirontokkan. Gabah hasil perontokan lantas dikumpulkan ke dalam sebuah wadah besar seperti tong, namun dibuat dari kulit kayu yang dijalin dengan kulit bambu. Pekerjaan menjadi ringan karena dilakukan sambil menyanyi. Isinya kisah tentang nini peni. Sengatan matahari yang rasanya seperti di atas kepala pun tak dirasa. Sayangnya, kali ini tidak ada bunyi kendang karena lupa tidak terbawa.

”Saya punya kaki dan tangan sudah gemetar. Tidak tahan untuk goyang. Apalagi kalau ada kendang, pasti saya sudah ikut menari,” kata Ina Tari (35) sambil ikut bersenandung namun dengan tangan tetap merajang sayuran.

Ia bersama beberapa ibu tengah meracik lawar yang terdiri dari irisan tomat, kubis, bawang merah, belimbing wuluh, dan daun kesambi yang ditaburi garam dan potongan lombok. Ibu-ibu lain memasak nasi dan lauk-pauk lainnya.

Rangkaian acara akan diakhiri dengan makan bersama. Ketika bapak-bapak sibuk dengan upacara dan menginjak padi, ibu-ibu mempersiapkan makanan. Hidangan utama berupa babi dan kambing yang sebelumnya diperlakukan sebagai sesaji. Darah yang tertumpah ketika menyembelih hewan ini kemudian dioleskan di tempat-tempat tertentu sebagai persembahan kepada roh leluhur.

Kecerdasan

Di masa kini, pekerjaan merontokkan butir padi dilakukan oleh mesin dalam waktu sekejap. Namun, di Flores Timur, tradisi injak padi masih dipertahankan dalam suasana gotong royong yang kental. Ritual ini semacam kecerdasan tersendiri sebelum munculnya mesin perontok padi. Bekerja dalam nuansa seni. Kali ini yang punya gawe adalah Yohanes Mai Tobin yang juga kepala desa setempat. ”Tradisi ini dilakukan bergantian, bergantung pada siapa yang tengah panen. Biasanya beberapa orang digabung padinya. Lantas dilakukan injak padi,” kata Yohanes.

Beberapa orang membawa ayam atau kebutuhan lainnya. Setiap keluarga yang terlibat nantinya pulang membawa gabah. Ritual bisa berlangsung sehari suntuk, bahkan hingga malam.

Panen sebenarnya sudah berlangsung pada pertengahan lalu dan kemudian hasilnya disimpan di lumbung. Selama awal musim kemarau, lahan tadah hujan hanya bisa mengakomodasi tanaman palawija. Ketika hujan tidak lagi turun, ladang dibiarkan bera karena tidak ada lagi yang bisa ditanam.

”Kehidupan alam yang keras membuat warga punya cara tersendiri untuk menyikapinya. Di antaranya lewat seni yang sebenarnya hasil reka estetika gerakan sehari-hari,” kata Silvester Hurit, pegiat seni budaya setempat.

(Sri Rejeki)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2015, di halaman 25 dengan judul “Kaki Tangan Gemetar Dengar Goyang Kendang”