Komposisi Dan Sebuah Doa

“Tentang Doa Yang Terucap Biasa”

0
1971

Warung kopi itu terlihat sederhana dari kejauhan. Tak begitu ramai, juga tak begitu sepi. Terang cahaya lampu neon dan jingga menyapa sepasang mata ketika tiba di halaman parkirnya. Di sisi luar warung kopi, tepatnya di beranda depan, nampak seorang pria duduk tenang membaca sebuah buku. Ia berada di samping sebuah meja yang berisi banyak buku bacaan, di antaranya buku-buku Pram. Ternyata, meja tersebut merupakan lapak koleksi buku milik Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS). Menarik, mereka mencoba membumikan budaya literasi di lokasi.

Sedikit informasi, RBSS ini didirikan oleh mahasiswa, dosen, dan alumni Universitas Negeri Semarang (Unnes). Hingga kini, RBSS telah dijadikan ruang alternatif persemaian ilmu. Maka, siapa pun boleh datang, baik untuk berdiskusi, menggelar pelatihan, atau hanya sekedar membaca. Ingat, bukan hanya mencari eksistensi dengan berfoto dan diunggah ke akun sosial media saja ya. Namun juga apa yang bisa kita dapatkan dari ruang alternatif tersebut sebagai ilmu yang sangat bermanfaat dan menambah wawasan.

Setelah duduk sejenak di luar karena kami tak tau persis apakah acara sudah dimulai atau belum, kami memutuskan untuk pindah tempat. Kami masuk dan duduk di bangku yang disandingkan dengan meja kayu. Memang, sebagian besar kursi dan meja di warung kopi ini terbuat dari kayu. Lalu, kami memesan dua gelas minuman dan sepiring camilan kesukaan guna menanti sesuatu yang akan “dihidangkan” di warung kopi tersebut. Mata kami mencari-cari, dimanakah letak “hidangan” inti kami? Kami hanya menemukan sebuah lilin di meja.

Kemudian mata kami tertuju pada sebuah panggung kecil yang berada di sisi dalam warung kopi ini. Panggung kecil itu berada kurang lebih 5 meter dari tempat duduk kami. Dengan konsep outdoor membentuk huruf O, panggung tersebut terlihat sangat sederhana dan hanya diisi oleh beberapa alat musik, sebuah layar proyektor, dan beberapa kursi. Di depannya, berjajar pasangan meja kursi pula. Meja kursi lesehan, sofa, dan dapur dari warung kopi ini terletak memutari panggung.

Seorang pemuda duduk tenang di sebuah bangku dengan membaca buku.
Seorang pemuda duduk tenang di sebuah bangku dengan membaca buku di beranda depan E-Kopi, Patemon, Gunung Pati pada Rabu malam (21/10/2015) dalam acara “Doa”. Koleksi buku-buku tersebut merupakan koleksi milik Rumah Buku Simpul Semarang (RBSS). Selain membudayakan membaca, secara tak langsung, RBSS juga mengenalkan tentang dunia kesusastraan.

Lantas, kami mengamati ada seseorang yang berdiri di sana menghadap ke arah para pengunjung yang duduk di hadapannya. Mengenakan daster motif berwarna kuning, tutup kepala, dan tanpa alas kaki, dia seperti sedang berbicara. Tapi entah ke siapa karena dia hanya sendiri. Gestur tubuhnya berganti ganti. Mimik mukanya terlihat jelas dan tegas. Namun, suaranya tak begitu keras. Hal tersebut mungkin dikarenakan kelakar orang-orang yang mulai ramai berdatangan, remang lampu warung kopi.

Rupanya, dia sedang bermonolog. Perempuan itu merupakan salah satu anggota dari Laboratorium Teater Usmar Ismail Universitas Negeri Semarang (Unnes). Dia adalah salah satu dari “hidangan” utama kami. Ternyata, acara baru saja dimulai. Beruntungnya kami bisa datang tepat waktu malam itu, Rabu (21/10/2015) ke E-Kopi yang beralamat di Jalan Patemon Raya nomor 69, Gunung Pati, guna menyaksikan sebuah suguhan persembahan kawan-kawan Komposisi berjudul “Doa”.

“Doa” merupakan acara pentas seni beradasrkan kesatuan visi misi komunitas Komposisi dalam menyikapi ketidakadilan di bidang agraria, ekologi, sosial, budaya, politik, dan sebagainya. “Doa” sendiri diimplementasikan sebagai gambaran tentang sebuah awalan dimana titik mula dari sebuah pergerakan dimulai. Merangkul seni musik, rupa, sastra, tari dan film, “Doa” diharapkan mampu menyebarkan energi positif untuk siapa saja agar membuka mata terhadap dunia yang sedang tidak baik-baik saja.

Jam menunjukkan pukul 20:11 WIB, panggung sudah digantikan oleh sang pemandu acara. Tak tau berapa lama perempuan tadi memainkan perannya ketika monolog, namun sebagian besar penonton yang berada tepat di hadapannya memberikan tepuk tangan ketika dia menuruni panggung sandiwaranya. Entah mengerti jalan ceritanya, entah hanya sekadar apresiasi semata. Setelah itu, tampilah pemusik-pemusik yang kami rasa cukup mampu memeriahkan suasana. Sembari menikmati minuman dan makanan, perbincangan dengan teman-teman yang kami temui pun dimulai.

For You All membawakan beberapa lagu yang masih bisa dinyanyikan oleh kebanyakan orang, seperti “Fix You” milik Coldplay. Disusul kemudian, duo akustik Bucket Hat Project yang membawakan beberapa lagu dari band kesukaan kami, Efek Rumah Kaca. Pamungkasnya, ada kuartet pentolan Semarang, Absurdnation yang memanaskan panggung dengan sentuhan-sentuhan eksperimental jazz mereka. Setelah para musikus tersebut usai, tiba-tiba seseorang mematikan beberapa buah saklar lampu di dalam E-Kopi dengan sengaja.

Kami pun sedikit kebingungan, mengapa ia membuat tempat menjadi kian gelap?
Barulah kami tau kalau lilin yang tergeletak di tiap meja E-Kopi merupakan sebuah indikasi. Tak ingin kehilangan momen, kami bergegas menyulut sumbu lilin di meja kami. Dan yak! Seketika itu juga, kami menyadari, segerombol pemuda berjumlah lima orang tengah berada di altar panggung dengan mengenakan kaos oblong hitam polos dan seluruh tubuh bagian atas mereka ditutupi oleh lakban layaknya mumi berjalan.

Di situ juga tersedia papan tulis hitam bergambar sebuah tangan yang terlihat seperti sedang berdoa. Beberapa cat berwarna merah, putih, hitam, kuning dan hijau muda juga turut disediakan. Mereka berteriak-teriak seperti orang gila yang marah, mencorat-coret papan tulis hitam tadi dengan telapak tangan mereka, bahkan mereka juga melumuri tubuh mereka dengan cat tersebut.

Dengan iringan musik angker dan petikan gitar suram dari Tries Supardi, teatrikal tersebut makin terlihat mencekam. Salah satu di antara mereka, ada yang berjalan mengelilingi kursi-kursi pengunjung sepanjang sisi bagian dalam E-Kopi. Setelah melumuri tubuh dan “memporak-porandakan” gambar tangan di papan tulis dengan penuh emosional, mereka lalu meminum cat tersebut dan menyemburkannya ke sesama pemain lainnya. Aksi ini kadang mengundang gelak tawa bagi pengunjung karena mereka saling memaki dalam bahasa Jawa.

Aksi teatrikal kawan-kawan Kompoisi ketika mementaskan "Doa", Rabu malam (21/10/2015) di E-Kopi, Patemon, Gunung Pati. Aksi tersebut merupakan gambaran seseorang dalam mencari jalan keluar dari berbagai permasalahan yang ada di kehidupan dengan menyertakan nama Tuhan.
Aksi teatrikal kawan-kawan Kompoisi ketika mementaskan “Doa”, Rabu malam (21/10/2015) di E-Kopi, Patemon, Gunung Pati. Aksi tersebut merupakan gambaran seseorang dalam mencari jalan keluar dari berbagai permasalahan yang ada di kehidupan dengan menyertakan nama Tuhan. Hal tersebut disimbolkan dengan papan tulis hitam bergambar “Tangan Berdoa”, aneka warna cat, dan lakban yang membungkus para pemain teater ini.

Puncaknya, para pemain melepaskan jeratan lakban yang membungkus tubuh mereka dengan brutal. Teriakan makin kencang. Suara mereka juga lantang dengan mulut penuh cat. Ken Kausar, selaku ketua acara dan anggota Komposisi, menjelaskan bahwa teatrikal tersebut dideskripsikan sebagai sebuah gambaran ketika manusia mempunyai masalah, ketika manusia ingin menemukan solusi dari permasalahan tersebut, mereka harus berusaha dan berdoa. “Saat banyaknya permasalahan yang terjadi dan kita sudah berusaha untuk memecahkannya, saat itu juga kita tetap membawa nama Tuhan di dalamnya. Dalam mencari solusi.”, jelasnya.

Kolaborasi Puisi, Film, Tari

Setelah dihebohkan dengan pertunjukkan yang tegang, kami memesan dua cangkir kopi agar perbincangan makin menjadi. Lampu urung nyala lagi. Entah apa yang akan ditunjukkan selanjutnya, tapi itulah bagian yang ditunggu pada dasarnya. Penasaran yang belum berhenti hingga malam kian larut di Gunung Pati. Kami memperhatikan para pemain teater yang beristirahat dan duduk di pinggir panggung. Bagaimana rasanya berkumur dengan cat? Rambut, kaos, wajah, badan, hingga rongga mulut mereka penuh dengan cat.

Acara dilanjutkan dengan pemutaran dua buah film karya sineas muda Unnes, Relungimaji Films. Sesi pertama disebutkan sebagai sinema puisi, yaitu sebuah puisi yang dimaknai melaui audio visual si pembuat film. Sesi kedua adalah pemutaran dokumenter Rawa Pening yang dewasa ini banyak ditumbuhi tanaman eceng gondok. Eceng gondok dianggap sebagai gulma bagi ekosistem perairan karena mampu mengurangi kadar oksigen di air. Di film dokumenter berdurasi pendek tersebut, terlihat para nelayan dan petani yang memanen eceng gondok untuk kemudian dijadikan kerajinan rumahan.

“Pemerintah belum mau membantu. Padahal para nelayan dan petani daerah setempat sudah ngewanti-wanti kalau mau membersihkan harus memakai alat berat. Maka dari itu, kami coba membantu dengan mengangkat isu ini agar bisa disuarakan.”, papar Ken. Secara keseluruhan, penyampaian pesan dari film tersebut memang mengedukasi dan informatif. Namun, ditilik dari segi penyajian, film tersebut dirasa kurang menarik sehingga banyak penonton yang mengacuhkan dan tidak memperhatikan jalan cerita. Sesekali melihat layar proyektor, beberapa kali beralih ke hal lain.

Tak apa, setidaknya kami masih sangat betah berlama-lama hingga akhir acara. Jarum jam sudah mengarah ke angka 11, pembawa acara memberikan kode kalau acara harus diakhiri. Lampu sudah menyala. Di panggung, sudah ada seorang perempuan dengan rambut kuncir kudanya. Namanya Dwi Octaviani. Dia menari. Wajahnya polos, tanpa dirias sama sekali. Dia mengenakan kaos abu-abu berlengan panjang dan celana panjang coklat. Sang maestro gitar, Tries, turut duduk di pojok kiri panggung. Memainkan nada-nada ganjil yang pas dengan gerakan-gerakan luwes si penari.

Lalu muncul seorang pemuda dari bangku penonton dengan membawa secarik kertas dan mikrofon ke arah panggung. Rupanya, ia membaca puisi. Ia menguasai panggung tersebut sebelum kemudian berjalan mengitari ruangan E-Kopi sisi dalam, seperti apa yang dilakukan oleh rekannya di aksi teatrikal sebelumnya. Intonasinya bulat dan penuh energi. Namun, karena pencahayaan ruangan yang redup, ekspresi dari si pembaca ini jadi tak jelas terlihat sehingga penghayatan puisi seperti kurang khusyuk. Tapi kami percaya, ada pesan tersembunyi di balik kombinasi puisi dan tari ini.

Afriza Ardias, selaku pembaca puisi, mengatakan bahwa puisi yang ia ciptakan dengan judul “Aku Adalah Doa (Kata-Kata)” merupakan “serangan” terhadap “kursi” yang ia sebut berkali-kali dalam puisinya dimana kursi ini dijabarkan sebagai jabatan para petinggi. Berikut puisi karyanya:
Aku Adalah Doa (Kata – Kata)

Aku adalah kata yang tercipta oleh musim buruk
Tidak lebih dari keadilan yang diadili
Dari secangkir kopi hingga ‘kursi – kursi’ penuh distorsi.
Aku adalah kata – kata pahit dari sisa kopi tempo hari
Kata – kataku adalah dusta, serapah, bagai bangkai berdiri tegak
Tak lain karena secangkir kopi, lantas…
‘Kursi – kursi’ seperti kaca pada daun jendela
Di hempas musim buruk, luluh berantakan.
Aku adalah kata yang menerjang hingga mengerip, patah
Melepas keadilan yang diadili.
Kata – kataku pada secangkir kopi masih merdu dalam seribu keadilan
Di muka pintu, kata – kataku bersama tuhan
Menangkap udara bersama deru deria, membawa udara pada doa.

Afriza menambahkan, visualisali puisi yang disajikan dalam tari merupakan caranya dalam menyerukan perlawanan. Melalui puisi dan tari, Afriza dan Octavian mencoba mengungkapkan kemarahan kepada si “kursi” melaui sebuah doa. Ya, semoga saja, kesatuan lini seni ini mampu tetap berkarya dan menyerukan suara-suara lain yang pernah atau sempat dibungkam sebelumnya. Penampilan tari dan puisi menandakan acara telah diakhiri. Namun, pertunjukan mereka di lain hari tetap akan kami nanti.