Opera Tari Puisi ”Gandari” di Frankfurt

0
1391

Menjelang ulang tahun ke-100 komponis Amerika, Elliott Carter, pewawancara terkenal Charlie Rose pada 10 Desember 2008 mengadakan percakapan televisi yang melibatkan dua dirigen ternama, Daniel Barenboim dan James Levine, dan Elliott. ”Menurut Anda, apa kriteria musik berkualitas?” tanya Rose.

Komposisinya kompleks sekaligus audiobilitasnya tinggi,” kata Barenboim, yang dikenal fasih berbicara analitis soal musik. Dalam ungkapan penyair yang wartawan, Goenawan Mohamad, audiobilitas yang tinggi itu sepantar dengan ”enak didengar dan perlu”.

Saya kira Barenboim saat itu sedang berbicara tentang musik sebagai seni akustik tok. Andaikan kesadarannya ketika itu dirasuki dengan konsep musik pertunjukan, barangkali dia akan melengkapinya menjadi ”komposisinya kompleks sekaligus audiobilitas dan videobilitasnya tinggi”.

Komposisi komponis Tony Prabowo, banyak orang yang pernah mendengarnya apriori berpendapat, hampir semua terbilang kompleks. Sering pula tersebar komentar sehabis menonton pentas musiknya: saya seperti terteror, sepanjang pertunjukan pikiran dibombardir. Ada soal audiobilitas, pada mereka yang kurang menyimak, misalnya, Philip Glass dan sebagian Leonard Bernstein.

Ceritanya lain ketika Gandari dipentaskan di Frankfurt, Jerman, 16-17 Oktober lalu. Gandari adalah opera tari puisi karya kolaborasi Tony dan Goenawan. Tony menggarap musiknya, Goenawan menciptakan libretonya. Libreto itu sebuah puisi panjang yang mengetengahkan Gandari, sebuah karakter yang kurang dikenal, rudin digali dalam Mahabrata, dan kerap diasosiasikan dengan sisi gelap kisah epik ini. Ia menutup mata terhadap segala yang terjadi di sekitarnya sebab ingin seperti suaminya yang terlahir buta.

Dalam opera tari puisi ini, Goenawan memandang Gandari dari sudut berbeda: sebagai ibu para Kurawa yang saban hari menerima berita kematian anak-anaknya di tangan Pandawa. Oleh karena dukacita itu, ia menutup mata pada dunia.

”Goenawan mengambil, mentransformasikan, dan menghubungkan Gandari dengan masalah relevan hari ini,” ujar Tony. ”Di sepanjang opera ini, figur Gandari adalah sebuah ide, konsep, dan puisi itu bukanlah kisah lengkap mengenai Gandari. Ia tak berpangkal dan tak berujung.”

Tamu kehormatan

Pentas Gandari adalah mata rantai dalam rangkaian program Indonesia selaku tamu kehormatan pada Pameran Buku Frankfurt 2015. Seperti sebagian lain program kesenian yang hendak memperkenalkan Indonesia kepada publik Jerman melalui pasaraya buku Frankfurt itu, Gandari berlangsung di luar Congress Center Messe Frankfurt, tempat pameran berlangsung. Ia digelar di Frankfurt Lab di Scmidtstraße No 12. Inilah tempat sementara bagi pentas musik, tari, dan teater kontemporer di Frankfurt hingga gedung sebuah akademi musik dan seni pertunjukan di Frankfurt selesai dibangun.

Pada malam pertama, sekitar 300 penonton, sebagian besar orang Jerman, memenuhi balai pertunjukan. Saat pentas hendak dimulai, mata penonton opera konvensional menemukan suasana baru. Tak tersua properti dekorasi di sana.

Oleh penata artistik, Jay Subyakto, dari Jakarta, panggung dibagi menjadi tiga partisi bidang, masing-masing berbentuk trapesium. Trapesium kiri adalah tempat bagi International Ensemble Modern Akademie pimpinan Bas Wiegers (41) asal Belanda beranggotakan 25 pemusik; di belakangnya pada ketinggian 50 sentimeter berdiri soprano, Katrien Baerts, dari Belgia. Trapesium kanan adalah tempat bagi Batavia Madrigal Singers pimpinan Avip Priatna yang berbasis di Jalan Kartanegara, Kebayoran, Jakarta. Di depannya duduk bersila narator Landung Simatupang yang bermukim di Yogyakarta.

Dipisahkan oleh kelambu berbahan kasa nyamuk, baik dengan trapesium kiri maupun kanan, trapesium tengah adalah arena bagi dua penari, Danang Pamungkas dan Luluk Ary Prasetyo, mengolah gerakan tubuh dan anggota badan mereka dalam koreografi arahan Su Wen-Chi, yang sehari-hari bekerja di Taiwan dan London.

Danang dan Luluk sama-sama pernah berguru di ISI Surakarta. Dengan duet tari, merekalah pusat tafsir senandika kematian itu yang dimulai dengan baris, ”Dia yang tak ingin lagi melihat dunia memandang ke luar jendela untuk terakhir kali,” yang dilafazkan narator Landung.

Berkas cahaya rancangan Joonas Tikkanen yang pemetaan videonya dikerjakan Taba Sanchabakhtiar langsung dipermainkan begitu ansambel abaan Wiegers mengawali akornya yang pertama. Hanya oleh konfigurasi berkas cahaya, kelambu kasa nyamuk itu memperlihatkan beragam bentuk, kumpulan daun ataupun pohon, serta bermacam kontur topografi, tebing ataupun jurang, yang menjadi tiruan properti dekorasi panggung. Jika dalam opera konvensional dekorasi berperilaku tangible; dalam pentas Gandari ini dekorasi bertabiat intangible.

Penerus permainan berkas sinar terus-menerus melanda Danang dan Luluk, hingga mereka tampak bergerak dalam beberapa fungsi spasial di trapesium tengah yang menjadi latar bagi teks yang dilafazkan itu.

Katrien Baerts yang memproduksi suara tinggi perempuan bermelodi dalam bahasa Indonesia, oleh karena lompatan nada ataupun motif melodi seperti perca dari tangan komposisi Tony, sering hadir sebagai bunyi murni melampaui bahasa. Menjadi tak soal sama sekali mengapa teks dalam Jerman tidak disediakan, katakanlah, di suatu media di sekitar panggung.

Kontras di seberang diagonal penyanyi sopran ini terdengar suara Landung dalam bahasa Indonesia puitis yang terang-benderang. Intonasinya yang jernih merobohkan tuntutan semantik hingga tak perlu pula dialihbahasakan. Rasa, yang keluar dari bahasa oleh pengucapan yang artistik, bermain di tataran ini.

Di bagian akhir pentas, soprano Katrien Baerts keluar menembus kelambu kiri dan beberapa penyanyi Batavia Madrigal Singers meninggalkan kamar mereka menembus kelambu kanan lalu bergabung dengan kedua penari di trapesium tengah. Nyanyian dari solis dan paduan suara berpadu dengan gerakan tari. Opera tari puisi ini sejenak kembali ke opera konvensional dan adegan penutup ini hanya dalam beberapa menit.

Mengalir mengikuti teks

Tony dalam buku program mengaku, komposisi musiknya mengalir mengikuti kaidah teks yang puitis. Yang menarik, bunyi musikal yang tidak naratif justru dengan baik disampaikan baik oleh International Ensemble Modern Akademie maupun oleh Batavia Madrigal Singers. Beberapa penonton Indonesia menuturkan, mereka dapat menikmati opera itu dengan nyaman.

Avip Priatna yang duduk di bangku penonton mengatakan puas dengan pencapaian tim ansambel dan paduan suara itu. Di mana rahasianya? ”Sound engineer-nya membaca partitur saat bekerja,” kata Avip. ”Kepekaan sound engineer di Indonesia baru pada tingkat band, belum pada musik dengan partitur. Saya iri.”

Dengan durasi yang relatif pendek, Gandari oleh tim yang bekerja untuk pementasan di Frankfurt ini berhasil menaikkan audiobilitas dan videobilitas komposisi yang kompleks itu ke tingkat yang optimum.

(SALOMO SIMANUNGKALIT)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 November 2015, di halaman 01,15 dengan judul “Opera Tari Puisi ”Gandari” di Frankfurt”