Tren Bisnis Sosial

53
2910

Menjalankan bisnis dan wirausaha tengah menjadi tren di kalangan anak muda. Didukung kemajuan teknologi, berbisnis sambil sekolah, kuliah, sudah bukan hal baru lagi. Namun, kini muncul tren bisnis yang tidak hanya melulu berorientasi keuntungan dalam bentuk materi, tetapi lebih untuk memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu dan ramah lingkungan. Sebutan model bisnis itu ialah ”social enterprise” atau bisa kita bahasakan sebagai bisnis sosial.

”Di Indonesia, bisnis sosial (social enterprise)sudah banyak berkembang. British Council Indonesia berkomitmen mendukung pengembangannya dengan mengadakan beragam kegiatan untuk peningkatan pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan terkait bisnis sosial,” kata Ari Sutanti, Senior Programmes Manager British Council Indonesia, di London, Inggris, akhir September lalu.

Menyasar kaum muda yang tengah mengembangkan bisnis sosial, sejumlah ajang kompetisi digelar British Council Indonesia. Pada 27 September hingga 3 Oktober lalu, British Council Indonesia didukung sponsor membawa tiga pemenang Diageo-British Council Social Enterprise Challenge for Arts, Creative and Tourism Organization (Diageo-BC SEC) 2015 untuk studi banding soal bisnis sosial di London. Selain ketiga pemenang, British Council Indonesia juga mengikutsertakan perwakilan dari Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, media, serta pemenang dan panitia Ideas for Indonesia yang diadakan Ideafest 2015.

Para pemenang

Para pemenang Diageo-BC SEC 2015 diwakili sosok-sosok muda dan kreatif. Ada Trisa Melati dari Torajamelo, Maya dari Ruangrupa, dan Dwinita Larasati dari Bandung Creative City Forum (BCCF). Kemudian ada Anang Setiawan dari Ekonomi Lokal, pemenang Ideafest Competition. Finalis Community Entrepreneurs Challenge III, yang diselenggarakan juga oleh British Council, Egar Putra Bahtera, sebagai pendiri Chevalier turut ikut dalam rombongan ini.

Torajamelo selama ini berkiprah di bidang pembinaan perajin tenun asli Indonesia, khususnya di Toraja, Sulawesi, serta pengembangan produk dan pemasaran kain khas itu. Torajamelo bertujuan agar tenun tradisional lestari dan para perajinnya hidup tercukupi.

Ruangrupa, yang beranggotakan seniman, desainer, dan pemerhati masalah urban, konsisten melihat urban sebagai ruang yang harus dihidupi sambil terus dikritisi lewat aneka karya seni. Lewat karya seni itu, masyarakat bisa terhubung dan punya persepsi atau pikiran baru yang berhubungan dengan fenomena atau masalah urban di Indonesia

BCCF adalah forum dan organisasi lintas komunitas kreatif yang menjadi sebuah organisasi mandiri dengan tujuan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dalam setiap aktivitasnya, BCCF menggunakan pendekatan pendidikan berbasis kreativitas, perencanaan, dan perbaikan infrastruktur kota sebagai sarana pendukung pengembangan ekonomi kreatif dan menciptakan wirausaha-wirausaha kreatif, baik individu maupun komunitas. Ekonomi Lokal berupaya membuat gerakan kembali ke desa dengan memperkuat perekonomian di daerah, yaitu dengan pengembangan usaha lele booster dan merekrut para pemuda serta warga setempat. Chevalier menarik perhatian dengan terobosan produk sepatu lokal hasil kerja profesional para perajin sepatu, khususnya dari Bandung, yang mampu menggaet pasar dunia.

Meski tergolong cukup sukses, Egar, Anang, Trisa, Dwinita, dan Maya mengakui masih butuh guyuran ilmu agar bisnis sosial yang mereka jalankan langgeng dan makin bermanfaat bagi banyak orang. Tak heran kesempatan langka bertemu dan mengikuti lokakaryadengan para pegiat bisnis sosial terkemuka di London, termasuk Cockpit Arts dan Red Ochre, pun dilahap habis.

Di Cockpit Arts, mereka berbagi ilmu dengan CEO Vanessa Swann, Head of Business Incubation David Crump, dan Business Coach Associate Nigel Rust. Cockpit Arts berkantor pusat di Northington Street, London, yang sekaligus bengkel kerja sejumlah pelaku bisnis sosial. Di Cockpit Arts, tiap bulan ada lebih dari 60 orang atau tim yang memiliki ide-ide segar atau usaha terkait bisnis sosial ini. Oleh para ahli, para pendaftar itu diseleksi ketat dan hanya 1-2 orang atau tim yang akhirnya diterima.

Di Cockpit Arts, sejumlah ahli mendampingi pelaku bisnis sosial, termasuk dalam menentukan pengembangan produk, branding, menyasar pasar, merencanakan modal, dan cara menggaet bank agar mau mengucurkan pinjaman. ”Mereka menyukai yang mereka buat, sebuah hobi yang kemudian dikembangkan menjadi bisnis yang menjanjikan. Produk yang dibuat haruslah unik, berkualitas tinggi, dan jelas menyasar kalangan tertentu sebagai pasarnya,” kata Vanessa

Untung tak tabu

Bersama Vanessa dan David, mereka mengunjungi ruang kerja para pelaku bisnis sosial yang dibina Cockpit Arts. Pasangan suami istri, Deborah Carré and James Ducker, adalah salah satu pelaku bisnis sosial yang diasuh Cockpit Arts. Keduanya sudah lebih dari 10 tahun mengembangkan Carréducker, merek sepatu berkelas. Mereka menggunakan bahan-bahan khusus, seperti kulit pilihan, untuk membuat sepatu sesuai dengan ukuran kaki setiap pelanggan dengan model pilihan konsumen sendiri. Harga setiap pasang sepatu bisa menembus puluhan juta rupiah dan dijamin awet hingga 20

tahun. Robert Foster dari Red Ochre, dalam pertemuan sekitar dua jam, menegaskan, ada perbedaan mendasar antara bisnis biasa dan bisnis sosial. Setidaknya ada beberapa hal yang harus dipastikan ada dalam skema bisnis sosial, yaitu struktur pembiayaan yang meliputi keuangan, sosial, lingkungan, serta aliran keuntungan yang juga meliputi keuangan, sosial, dan lingkungan. Tidak tabu untuk menangguk untung besar dari bisnis yang dijalankan. Namun, tujuan utama adalah pemberdayaan masyarakat dan lingkungan yang lestari.

Joshua Simandjuntak, Deputi Bidang Pemasaran Badan Ekonomi Kreatif Indonesia, mengatakan, ada banyak hal menarik yang didapat selama lokakarya dengan para ahli bisnis sosial di London. ”Untuk di Indonesia, kami perlu memetakan dulu apa permasalahan dan yang dibutuhkan. Ada banyak ilmu yang didapat di sini dan tentu akan bermanfaat bagi kami untuk membantu membuat program yang tepat bagi pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia,” katanya.

(NELI TRIANA, dari London)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Oktober 2015, di halaman 33 dengan judul “BISNIS SOSIAL: Memberdayakan dan Menangguk Untung“