Setelah istirahat hampir dua tahun, Efek Rumah Kaca kembali berpentas sejak Agustus silam. Band yang memainkan musik pop dengan sedikit nuansa rock dan berusia sepuluh tahun ini sepertinya akan memetik buah manis dari konser tunggal dan dua lagu baru.

Pada pengujung September, Cholil Mahmud (gitar, vokal), Akbar Bagus Sudibyo (drum, vokal latar), dan Adrian Yunan Faisal (bas, vokal latar) melepas lagu bertajuk ”Putih”. Lagu itu berdurasi panjang, nyaris menyamai lagu ”Biru” yang diedarkan sekitar sebulan sebelumnya. Dalam catatan produksinya, lagu ”Putih” disebutkan direkam pertama kali pada 2010 berawal dari dentingan piano. Selama lima tahun, mereka memoles lagu itu sedemikian rupa di studio yang berbeda-beda. Lagu itu punya perjalanannya sendiri hingga akhirnya bisa didengar khalayak sekarang, secara gratis pula.

Kelompok Efek Rumah Kaca tampil dalam konser tunggal bertajuk Pasar Bisa Dikonserkan di Balai Sartika, Bandung, Jabar, Jumat (18/9). Konser tunggal itu adalah kali pertama yang dikerjakan langsung oleh band yang berusia sepuluh tahun tersebut. Sebanyak 1.500 orang menyaksikan pertunjukkan yang ebrlangsung sekitar dua jam itu. Kompas/Herlambang Jaluardi (HEI) 18-09-2015

Ada nuansa sendu pada musiknya. Bunyi bas pada bagian awal adalah fondasi kokoh terciptanya kesenduan itu. Ciri khas band yang tertera di dua album mereka sebelumnya tak bergeser sedikit pun. Efek Rumah Kaca (ERK) masih sebagaimana mestinya.

Liriknya pun tertata baik. Ada dua babak cerita di lagu ini, yang disebutkan masing-masing adalah ”Tiada” dan ”Ada”. Babak awal bercerita tentang kematian dari sudut pandang dia yang menuju sakratulmaut. Ia, tokoh aku di lagu itu, bisa melihat raganya terbujur dalam ambulans dan mendengar orang-orang memanjatkan doa baginya, ”terkadang tangis terdengar”.

Babak kedua, ”Ada”, dimulai dengan frasa ”lalu pecah tangis bayi” seperti menandakan perputaran fase hidup manusia. Ada yang mati dan ada yang lahir. Saat penggarapan lagu, ERK kehilangan sahabat mereka, Adi Amir Zainun, orang yang terlibat diskusi tentang lirik lagu ini. Di lain sisi, para personel ERK baru memiliki anak. Mereka menyisipkan harapan pada bayi-bayi ini. ”Ombak ombak menerpa. Rekah rekah dan berkahlah,” demikian harapan itu diembuskan.

Lagu ini dimainkan pertama kali di sebuah acara di bumi perkemahan yang terletak di kaki Gunung Gede, Sukabumi, pertengahan September. Sebelumnya, ERK membagikan berkas lagu bagi penonton konser tunggal mereka, ”Pasar Bisa Diciptakan”, pada 18 September di Balai Sartika, Bandung, Jawa Barat.

Pesan bisa diciptakan

Konser tunggal itu adalah kali pertama mereka sebagai band merancang sendiri konsep pertunjukan utuh. Banyak hal yang hendak mereka sampaikan lewat pertunjukan sepanjang dua jam dan terbagi menjadi tiga babak itu.

8875CD0A-DC42-41B6-4C1246EACBB5C321

Pesan-pesan itu tersirat pada layar besar di latar belakang panggung, selain tentu saja melalui lirik lagu. Cholil, sebagai frontperson, justru tak banyak menjelaskan cerita yang mereka sampaikan secara eksplisit. Gambar-gambar di layarlah yang menjadi penyambung pesan. Pada lagu ”Jatuh Cinta Itu Biasa Saja”, visual layar menampilkan potongan adegan drama percintaan dari serial film Korea, lengkap dengan dua tokoh laki-laki dan perempuan pandang-pandangan. Lampu panggung didominasi warna biru membawa suasana haru.

Di lagu lain, ”Kamar Gelap”, layar menampilkan potongan rekaman monitor komputer yang menunjukkan komoditas dagangan daring. Ada tas merek beken, ada sepatu trendi masa kini, dan banyak barang bermerek jadi-jadian alias KW. Lagu ”Jangan Bakar Buku” dipertegas dengan bara api dari tungku pembakaran sate klathak di tengah pasar, khas Bantul. Sementara pada lagu ”Banyak Asap di Sana” yang bercerita tentang urbanisasi, pemain piano Ramondo Gascaro naik ke panggung ala pedagang kopi bersepeda.

Benang merah dari visualisasi itu adalah pasar alias perdagangan. Sebelum konser, Cholil sempat bercerita bahwa mereka hendak menyajikan fenomena jual-beli di Indonesia yang riuh dan kadang lucu. Jual-beli batu akik bisa terjadi bersamaan dengan ramainya penjualan piringan hitam di perkotaan. Ada kuasa tertentu yang menciptakan pasar.

Pada jeda antarbabak, yang berlangsung lima hingga sepuluh menit, personel band turun panggung. Layar tak dibiarkan kosong melompong. Itu giliran produk rokok yang jadi sponsor konser unjuk taring dalam rayuan. Layar menjadi sarana beriklan. Penonton tak bisa melarikan diri dari jeda itu karena panitia mempersulit mereka yang hendak sekadar rehat ke luar gedung. Hal teknis semacam itu yang membuat konser agak sedikit tercoreng. Secara artistik, konser bertiket Rp 95.000 hingga Rp 120.000 itu menyenangkan. Namun, awak penyelenggara sepertinya tergagap menghadapi gelombang penonton yang nyaris mencapai 1.500 orang itu.

Puja-puji pada totalitas aksi ERK seolah lenyap dalam bilangan jam ditelan keluhan netizen yang menghadiri konser itu. Beberapa hari setelah konser, ERK mengeluarkan pernyataan maaf atas segala karut-marut itu. Mereka mengaku tidak mengetahui hal yang terjadi di luar panggung. Permintaan maaf itu adalah sikap rendah hati yang layak diapresiasi.

Bagaimanapun, mereka telah kembali. Jadwal pentas nyaris ada setiap akhir pekan. Dua lagu baru adalah janji kualitas album yang sedang dirampungkan saat ini. Album yang direncanakan bertajuk Sintesia itu akan jadi penyampai pesan ERK lainnya yang pantas dinanti pendengarnya.

(Herlambang Jaluardi)


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2015, di halaman 33 dengan judul “Hal-hal yang Disampaikan Efek Rumah Kaca”