Twaalf Uur Van Semarang: Antologi Film Kota Atlas

Film "12 Jam Di Semarang"

0
1984

Lopen Semarang merupakan sebuah komunitas pegiat sejarah di Semarang yang didirikan pada 27 Desember 2012 lalu. Komunitas ini mempunyai visi misi yaitu mengenalkan sejarah Kota Atlas kepada anak muda, para pendatang baru di Semarang, dan khalayak umum. Kata “Lopen” sendiri mengacu pada bahasa Belanda yang berarti jalan kaki, merujuk pada kegiatan utama Lopen Semarang yakni berjalan-jalan sembari menelusuri kembali peninggalan sejarah Semarang.

Pada Maret 2015, Lopen mempersembahkan film antologi perdana mereka bertajukTwaalf Uur Van Semarang (Dua Belas Jam di Semarang) yang mengangkat kisah tentang sisi lain kemolekan dan keberagaman kota Semarang. Sebagai kota pelabuhan utama di Jawa Tengah, Semarang dianggap sebagai “Kota Yang Tak Pernah Mati”. Bahkan di beberapa tempat seperti di pelabuhan, pasar dan stasiun, geliat aktivitasnya justru dimulai dikala sebagian besar warga Semarang sedang terlelap dalam tidurnya.

Mengambil beragam lokasi di sejumlah tempat di Semarang, “Twaalf Uur Van Semarang” mendeskripsikan seperti apa Semarang dan kejadian-kejadian yang terjadi ketika Semarang memasuki pukul 6 petang hingga pukul 6 pagi, waktu dimana konon Semarang menunjukkan pesona terindahnya. Film yang secara keseluruhan hanya diselesaikan dalam kurun waktu empat bulan ini, terhitung mulai akhir Desember 2014, memiliki empat cerita berbeda di dalamnya yaitu “Makan!”, “Kuli(ah)”, “Kakeane”, dan “Ver Van Huis”.

Di film ini, potensi-potensi lokal Semarang dilibatkan untuk mengisi beberapa adegan dalam tiap part film; diantaranya Ragil Wijokongko, salah satu sineas muda Semarang sebagai sutradara; Rizki Rengganu Suri Pradana, finalis Eagle Award Documentary Series sebagai editor; Gatot Hendraputra, musisi jazz Semarang sebagai penata musik; dan lain-lain.

Dukungan penuh diberikan dari Yayasan Budaya Widya Mitra sebagai lembaga yang kerap menyelenggarakan beberapa kegiatan budaya bersama Kedutaan Besar Belanda, Pusat Budaya Belanda Erasmus Huis, dan Pusat Bahasa Belanda Erasmus Taalcentrum; serta Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia melalui program Shared Heritage Fund.

Penayangan film garapan Muhammad Yogi Fajri (24), produser “Twaalf Uur Van Semarang” sekaligus koordinator komunitas Lopen ini, dilakukan di PIN SEMAR Balai Kota Semarang pada Sabtu (28/3) lalu dalam empat sesi. Sesi pertama pada pukul 10:00 WIB, sesi kedua pada pukul 11:30 WIB, sesi ketiga pada pukul 13:00 WIB dan sesi terakhir pada pukul 14:30 WIB. Sehari sebelumnya, premier film diselenggarakan di E-Plaza Cinema.

Animo pengunjung yang memadati Balai Kota dari pagi hingga menjelang sore membuat pihak panitia kewalahan dalam meladeninya. Pasalnya, kursi yang disediakan dari penyelenggara acara terbatas untuk 32 orang saja. “Paling ramai ada pada sesi pemutaran terakhir. Banyak yang nggak kebagian tempat duduk, tapi mereka tetap nekat lesehan.”, papar Yogi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Lopen mengadakan screening film yang dilakukan pada Sabtu malam harinya bertempat di Clapper Movie Cafe, Jalan Jati Raya nomor 51 Banyumanik pukul 19:00 WIB.

Selain itu, Lopen juga telah menyambangi beberapa kota untuk mengadakan roadshow film seperti di Momento Yogyakarta pada 11 April 2015, Taman Film Bandung, pada 18 April 2015, Erasmus Huis Jakarta pada 25 April 2015, dan EAR House Pamulang pada 27 April 2015.

Sadar Akan Kepemilikan Sejarah

Melestarikan peninggalan bersejarah dan memahami sejarah kota itu sendiri, menjadi sebuah tantangan besar yang dihadapi pemuda bangsa dalam menghadapi generasi teknologi. Sebagai penerus muda bangsa, Yogi dan kawan-kawan sadar betul akan pentingnya menjaga situs budaya di Kota Semarang dengan mengadakan pendekatan kepada masyarakat melalui komunitas Lopen.

“Twaalf Uur Van Semarang” menyiratkan pesan tersembunyi yang mengundang decak kagum akan sejarah Semarang. Mulai dari unsur intrinsiknya seperti tema yang mengangkat 12 jam-nya Semarang; setting waktu dan tempat yang dilakukan hanya pada malam hingga pagi di lokasi-lokasi yang menjadi ikonik Semarang; gaya bahasa yang menggunakan dialek Semarang, mengingat bahasa daerah merupakan “senjata” dalam melestarikan budaya daerah; dan amanat yang lebih condong ke humaniti dan penyampaian pesan moral.

Sedangkan unsur ekstrinsik yang tergambar dalam “Twaalf Uur Van Semarang” yaitu latar belakang masyarakat, mengingat Semarang merupakan sebuah salad bowl yang kental akan budaya Jawa, Tionghoa, Belanda, dan juga Arab dimana mereka mampu hidup rukun dalam satu lingkaran. Kemudian keadaan sosial dan ekonomi di Semarang yang diceritakan dengan gamblang, seperti sektor perkebunan, perdagangan, agrobisnis, dan maritim dimana urat nadi Semarang terpusat.

Dengan adanya film ini, Yogi berharap dapat menambah semarak perkembangan dunia perfilman di Kota Semarang serta mampu mengedukasi masyarakat yang menonton, terutama kaum muda, agar sadar akan kepemilikan budaya dan sejarah kotanya. Memang, jangan sampai tersindir oleh pepatah yang mengatakan: “Kita benar-benar merasa memiliki sesuatu ketika kita sudah kehilangannya.”

Simak penggalan “Twalf Uur Van Semarang” di sini.