Kondisi film lokal kita yang ”keok” di negeri sendiri merupakan isu lama yang tetap bertahan sampai sekarang. Ia kalah bersaing dengan film produk luar negeri, terutama dari Hollywood, Amerika Serikat. Bukan rahasia lagi, anak-anak muda juga lebih suka menonton film impor. Itu bukan berarti mereka meninggalkan film lokal, lho. Mahasiswa usia 17-23 tahun itu tetap suka menonton film lokal, terutama yang berbau nasionalisme. Masalahnya, belum banyak film bermutu lahir dari negeri sendiri.
Sejumlah mahasiswa berterus terang, mereka lebih senang nonton film impor dengan alasan secara umum kualitas film impor lebih baik daripada film lokal. ”Pembuatan film impor dari Amerika didukung teknologi lebih canggih,” kata Ardi Dwi Argadinata, mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur.
Meski mengaku suka film lokal dan impor, Fileksius Gulo yang kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta agak bimbang ketika ditanya, manakah yang dia tonton jika harus memilih salah satu? ”Agak susah kalau hanya boleh nonton salah satu. Saya ingin nonton dua-duanya,” jawab mahasiswa semester tiga asal Lahomi, Kabupaten Nias Barat, Sumatera Utara, ini.
Bagi Filek, nonton film adalah cara mencari hiburan sekaligus sarana belajar bahasa Inggris dan mengikuti perkembangan teknologi terkini. ”Tapi saya juga menonton film Indonesia, terutama yang ceritanya berkait dengan sejarah seperti HOS Cokroaminoto dan Jenderal Soedirman,” tambahnya.
Sementara bagi Stevan Ivana Simanihuruk, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Batanghari, Jambi, di tengah kompleksnya masalah perfilman lokal, ia memberi apresiasi kepada mereka yang konsisten dan terus berjuang menyajikan karya terbaik melalui film. Kepada mereka yang berani mengangkat tema-tema orisinal, unik, edukatif dan kreatif khas Indonesia.
Secara umum, anak-anak muda menilai kondisi perfilman nasional sudah lebih bagus. Indikasi itu antara lain mulai ada ketertarikan orang Indonesia menonton film lokal seperti sekuel Comic 8, Ainun dan Habibie, serta film bertema sejarah. Faktanya, penonton Comic 8 seri pertama mampu menembus jumlah 1,8 juta. Kemudian sekuelnya, Comic8 : Casino King yang diputar Juli lalu ditonton oleh lebih dari 1 juta orang. Penonton film Ainun dan Habibie lebih banyak lagi, mencapai 8 juta orang.
Butuh keberpihakan
Sutradara senior Garin Nugroho tak menyalahkan anak muda dan penonton lain yang lebih suka nonton film impor. Demikian pula dengan sikap pengelola gedung bioskop yang banyak menayangkan film impor. ”Itu bukan fakta baru. Dari dulu sudah begitu, tapi itu bukan salah anak-anak muda karena saya juga menghargai kebebasan mereka dalam memilih,” ujar Garin.
Ia melanjutkan, penonton dan pihak swasta pengelola gedung bioskop punya kebebasan menentukan pilihan mereka, hanya mestinya kebebasan itu menunjukkan keberpihakan kepada perfilman nasional. ”Kalau asal mau bebas, ya, bisa jadi bencana,” tambahnya.
Menurut Garin, perlu waktu panjang untuk bisa melihat film lokal sejajar dan mampu bersaing dengan film impor. Hal itu juga terjadi di banyak negara berkembang yang sumber dana dan kemampuannya masih jauh dari negara maju. Bedanya, di negara yang mutu filmnya belum sejajar dengan film impor, ada keberpihakan dari pemerintah, pihak swasta, dan masyarakatnya.
Pemerintah di negara lain, misalnya Filipina, membuat kebijakan yang mendukung film lokal. Setiap Natal dan Tahun Baru, semua gedung bioskop di negara itu harus memutar film lokal.
”Di negara kita, kebijakan seperti itu belum ada walau sudah ada langkah maju Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mulai sering mengirim film lokal ke festival film di luar negeri,” urainya. Ia mempertanyakan dukungan pihak swasta.
”Apa bentuk dukungan mereka kepada produk film lokal?” tanya Garin.
Senada dengan Stevan, Garin menyatakan, keberpihakan itu harus dilakukan secara konkret sehingga mampu mengajak masyarakat berpihak kepada produk dalam negeri. Garin sekaligus mengingatkan, mengubah pola pikir dan membuat para sineas memproduksi film berkualitas harus dilakukan secara menyeluruh kepada seluruh warga.
Hal itu bisa dimulai dari pemenuhan ruang ekspresi untuk anak muda supaya mereka terbiasa membuat kreasi baru yang tidak massal. Dengan cara itu, kebiasaan kreatif membuat karya yang tak sekadar mencontoh milik orang lain akan terbentuk sehingga suatu saat membentuk pola pikir di masyarakat yang otomatis menghindari nonton film asal-asalan.
ARGUMENTASI
Tak Berani Berbeda
Jujur, saya lebih suka film produk luar negeri, tapi lebih ke ide cerita dan sinematografi yang bagus. Film-film tersebut bisa merangsang imajinasi penonton sehingga terhanyut dalam film tersebut. Walau ada film nasional memuat pesan moral yang kuat, produser lokal masih terkesan latah sehingga tema dan pesan moral film lokal hampir seragam. Mereka tidak berani berpikir beda dan mengeksplorasi tema lainnya. Saya juga sering menonton film lokal, kok, tapi lebih ke film-film festival. Karena para produser lebih berani berekspresi sehingga tema dan jalan cerita lebih beragam serta menarik. Selain itu, pesan dalam film berkualitas festival lebih ”mengena” di benak penonton. Tak jarang, film-film festival tersebut meraih banyak penghargaan di festival film internasional, tetapi malah dicekal di dalam negeri karena isu-isu sensitif.
Kurang Membangun
Jujur saya lebih suka film lokal karena mencintai hasil usaha orang Indonesia. Juga banyak pelajaran yang saya dapat, khususnya di film-film yang membangun semangat dan perjuangan para mahasiswa. Namun, kondisi film lokal yang bermunculan sebagian kurang memberi kesan baik, misi dari film itu tidak jelas. Sebenarnya banyak film lokal yang bisa membangun semangat anak-anak muda seperti film Soe Hock Gie tentang perjuangan mahasiswa dan 5 Cm tentang persahabatan. Saya menanti film lokal yang banyak menceritakan suku-suku di Indonesia, yang mengingatkan perjuangan para pahlawan yang membangun semangat anak muda. Bagus juga apabila ada film tentang pengorbanan guru yang mengajar di pelosok Tanah Air.
Pintar dengan Film
Film bukan sebatas hiburan. Lebih dari itu, film adalah sebuah karya yang bisa menjadi ladang pengetahuan. Dengan penyajian audio-visual, penonton dapat menangkap berbagai informasi terkait dengan apa saja yang disajikan. Bahkan, film mampu mencerminkan ideologi atau pesan yang ingin disampaikan. Sebagai mahasiswa yang selalu ingin tahu dan haus pengetahuan, secara umum saya lebih suka film impor. Bukan hanya karena kualitas yang lebih baik, melainkan juga kejelasan isi dan cara penyajiannya yang unik serta penggambaran imajinasi yang tampak nyata. Karena itu, setelah menonton film, otak terisi dengan berbagai pengetahuan.
Namun, terlepas dari itu, seharusnya bukan hanya film yang membuat kita pintar, melainkan kita juga harus menjadi penonton yang cerdas!
Memberi Pesan yang Baik
Menonton film bisa menjadi salah satu cara refreshing dari segudang tugas kuliah. Ada banyak film menarik yang ditawarkan di bioskop, tetapi tidak semua film berkualitas serta sarat akan makna dan pesan yang baik.
Saya lebih senang menonton film yang memiliki isi dan pesan-pesan yang baik bagi penontonnya, tak peduli film tersebut lokal ataupun buatan luar negeri. Bagi mahasiswa, film yang seharusnya ditonton adalah film dengan pesan dan motivasi agar bisa memotivasi generasi muda untuk melakukan hal lebih baik. Saya juga bangga dengan dunia perfilman Indonesia. Semakin hari, semakin banyak produksi film lokal berkualitas dan sarat makna positif, tidak kalah dengan film luar negeri.
Becermin dari Lokal
Walaupun banyak film impor, saya lebih senang nonton film lokal. Dari film lokal, kita memperoleh gambaran kehidupan masyarakat kita yang beragam. Selain itu, munculnya film-film lokal yang mengangkat beberapa tokoh pahlawan di negeri ini dapat menjadi stimulus untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme.
Walau belum berkembang sesukses film impor, film lokal tetap menarik dan dapat memberikan nilai lebih kepada para penonton. Film berjudul Ayat-ayat Cinta merupakan salah satu film lokal yang mendapat banyak perhatian. Penjualan tiketnya pun begitu fantastis. Apabila para penggiat film lokal terus meningkatkan kualitas, pasti film lokal akan mempunyai daya tawar yang lebih di kalangan masyarakat kita.
(Soelastri Soekirno)
Versi cetak artikel ini terbit di rubrik ‘Kompas Kampus’ harian Kompas edisi 1 September 2015, di halaman 33