Cakra Khan: Jalani Apa yang Kini Bisa Dijalani

0
1997

Sejak lagu ”Harus Terpisah” dirilis pada November 2012, penyanyi asal Pangandaran, Jawa Barat, Cakra Khan jadi terkenal. Selain mendatangkan banyak penghargaan, kehidupan baru sebagai artis penyanyi pun menjadi keseharian Cakra Khan. Dia sibuk melayani tawaran menyanyi di sejumlah tempat.

Dia tak pernah mengira sebagai penyanyi, jadwalnya akan luar biasa padat dan sangat melelahkan. Penyanyi bernama lengkap Cakra Konta Paryaman ini sepanjang Agustus antara lain tampil di Dreamfields Festival 2015 di Bali, di Istana Negara untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Ke-70 Republik Indonesia, dan konser amal di Sasana Budaya Ganesha, Bandung. Dia juga bolak-balik menyanyi di Malaysia dan Singapura.

Pelantun ”Setelah Kau Tiada” dan ”Mengingat Dia” ini juga terlibat dalam album Bebi Romeo berjudul Signature Bebi Romeo dan menyanyikan lagu ”Bubar”. Dia juga tengah berusaha merampungkan album baru yang tetap berirama blues yang bertema cinta dan kehidupan.

 

Siapa yang menginspirasi Cakra bermusik dan jika ada proyek duet dengan penyanyi lain, Anda ingin berduet dengan siapa? (Amran Hutahaean,  Jakarta Utara)

Inspirasi saya dalam bermusik dan bernyanyi adalah orang- orang berkulit hitam yang dulunya dijadikan budak dan untuk mengekspresikan dirinya mereka bernyanyi serta membuat musik. Intinya bermain musik itu bisa dilakukan siapa saja, tak terkecuali, asal ada niat kuat.

Selama ini dengan siapa pun saya siap berduet selama pasangan duet tersebut mengasyikkan. ☺

Siapa orang yang memotivasi Cakra menjadi penyanyi hingga sekarang ini Anda dapat menjadi seorang artis penyanyi terkenal? (Febriwan Harefa,  Yogyakarta)

Motivator utama saya adalah keluarga saya karena dulu saya pernah diragukan akan sukses dalam bidang ini. Mereka khawatir perjuangan saya akan sia-sia. Syukur alhamdulillah perjuangan keras saya akhirnya membuahkan hasil.

Dear Cakra, siapa musisi atau penyanyi yang paling kamu impikan untuk tampil satu panggung suatu saat nanti? Mengapa? (Gratia Situmorang, Jakarta Selatan)

Saya ingin bernyanyi duet dengan Chaka Khan karena saya fans beratnya, ha-ha-ha….

Anda salah seorang penyanyi pria bertipe suara serak. Penyanyi serak itu ada yang sukses ada juga yang gagal. Anda termasuk salah seorang penyanyi serak yang sukses di Indonesia. Andai boleh memilih, Anda ingin mempunyai suara serak atau tidak? (Aan P, Garut)

Apa pun yang saya punya sekarang saya sangat bersyukur karena serak atau tidak itu bukan patokan untuk kita ke depannya berhasil atau tidak. Jadi, mau serak atau tidak saya, mah, terima dan yes saja, ha-ha-ha.

Saya lahir dan besar di Ciamis, satu daerah dengan Cakra sebelum Pangandaran menjadi kabupaten baru di Jawa Barat. Apa cita-cita atau kontribusi yang akan atau sudah Anda perbuat untuk Pangandaran selama ini? (Asri Nuraeni, Ciamis)

Saya mencoba memperkenalkan daerah saya yang notabene daerah pariwisata. Pangandaran mempunyai pantai yang bagus dan beberapa tempat menarik lainnya. Saya juga sekaligus memberikan motivasi buat semuanya yang berasal dari daerah, termasuk daerah kecil dan jauh dari ibu kota Jakarta seperti saya untuk terus berjuang di berbagai bidang yang diminati. Kalau saya, karena punya kemampuan di bidang musik, ya, berjuang di jalur musik. Dari mana pun kita berasal, jika memiliki tekad kuat dan mau bekerja keras, insya Allah akan ada jalan.

Halo Cakra Khan, selain di bidang musik, apakah ada ambisi lain yang ingin Anda raih? Saya penasaran, apa arti nama ”Khan” dalam nama Anda?(Alfredo Saragih, Pematang Siantar, Sumatera Utara)

Saya tidak terlalu berambisi pada hal yang belum pasti dan tidak saya kuasai. Tentu saja saya punya mimpi seperti orang lain juga. Hanya saja, sekarang saya ingin selalu membahagiakan keluarga saya. Arti ”Khan” di nama saya karena saya penggemar berat penyanyi Chaka Khan. Sama sekali bukan gelar seperti yang biasa dipakai pemimpin negara atau militer di Asia Tengah atau negara lain.

Mengapa Anda sangat berambisi mendirikan sekolah musik? Adakah hal lain yang Anda perbuat selain pentas sana-sini untuk mengumpulkan uang demi ambisi Anda tersebut? (Hayyun Kamila Humaida, Medan)

Sebetulnya bukan sekolah musik, melainkan lebih ke yayasan musik dan tanpa dipungut biaya apa pun alias gratis. Selama ini kita tahu biaya sekolah musik sangat tinggi dan tidak semua orang mampu, apalagi masuk ke sekolah itu. Saya ingin membuat yayasan musik tempat para musisi dapat berkumpul serta berbagi ilmu dan pengalaman satu sama lain dengan orang-orang yang ingin belajar dan mengetahui, baik dalam praktik maupun teori bermusik.

Ini salah satu impian saya, jika ada yang mau ikut mendanai atau berbuat serupa di daerahnya silakan. Namun, karena saya ingin membangunnya di daerah saya, ya, saya harus mencari dana, dong. Pastinya melalui ngamen ke sana-kemari saya bisa memperoleh dananya, ha-ha-ha.

Sebagai seorang penyanyi solo yang masih tergolong baru dalam belantika musik Tanah Air, apa yang mendorong Anda untuk tetap eksis? Terkait dengan impian Anda mendirikan sekolah musik, siapa saja orang-orang atau pihak yang mau terlibat bersama Anda di dalamnya? (Reginald Izaac, Gading Serpong, Tangerang)

Karena saya yakin apa pun yang kita kerjakan dengan maksimal, pasti minimal akan ada yang mengapresiasi walau saya tahu ada orang yang suka dan ada yang tidak suka dengan karya saya. Jadi, apa pun kata orang tentang saya, apa pun pendapat orang terhadap saya, saya akan tetap berkarya semampu saya. Saya berkonsultasi dengan para dosen saya dan insya Allah kalau lancar, mereka juga ingin membantu karena jujur saya tidak akan bisa melakukannya sendiri jika kelak yayasan musik itu terlaksana. Saya juga mendiskusikan hal ini dengan teman-teman saya yang mempunyai satu misi dengan saya untuk mengajak dan berbagi ilmu dengan yang lain. Semoga keinginan dan mimpi saya ini dapat terwujud secepatnya dan semoga tiada halangan.

Sebagai lulusan Sekolah Tinggi Musik, sebenarnya Anda lebih memilih menjadi penyanyi atau pencipta lagu atau pemain musik? (Paul Sutaryono, paulsutaryono2004@yahoo.com, Depok)

Untuk sekarang, saya pilih menekuni dan fokus ke nyanyi saja, he-he-he.

Saat ini Cakra Khan sudah go international. Nah, dengan niat Anda membangun sekolah musik agar terjangkau anak-anak di desa, mampukah Anda memproyeksikan anak-anak didikan Anda untuk go international seperti Anda? Karena hal itu berguna untuk diplomasi Indonesia melalui musik. Tahun 2015 kita menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Anda bercita-cita membangun sekolah musik, lantas apakah hanya fokus ke musik? Apakah suatu saat nanti Anda juga akan fokus dalam pemberdayaan perekonomian terhadap anak-anak didikan sekolah musik itu? (Hilmi Fauzy, Kabupaten Sidoarjo)

Saya tidak dapat menjanjikan apa pun untuk kesuksesan seseorang. Namun, saya bisa mengatakan dan terus menyemangati mereka. Suatu saat nanti jika saya sudah punya yayasan musik seperti yang selama ini saya impikan, saya akan memotivasi murid-murid saya untuk terus bekerja keras dan jangan mudah menyerah karena setiap hal yang kita lakukan dengan sungguh-sungguhinsya Allah akan membuahkan hasil suatu saat nanti. Jangan gampang putus asa dan berhenti.

Karena saya pun tidak pernah menyangka dapat sampai ke titik ini, yang saya pikirkan hanya saya harus terus memberikan yang terbaik dalam setiap karya saya. Saya hanya akan konsentrasi di musik saja dulu. Sungguh mengurusi bidang ekonomi membuat puyeng. Jadi, jalani apa yang kita bisa jalani saja dulu.

Sebagai seorang figur publik, bagaimana menghadapi para hater? Hal apa yang paling ekstrem yang pernah dilakukan penggemar atau hater kepada Anda? Menurut Anda, industri musik di Indonesia saat ini seperti apa? (Frans Layendra, BSD Tangerang Selatan)

Biarkan saja, yang penting saya tidak pernah merugikan mereka. Mengurusi dan membahas tentang mereka sama sekali tidak menghasilkan duit yang saya perlukan untuk membangun yayasan musik, ha-ha-ha. Selama ini masih dalam batasan wajar, hanya di media sosial. Menurut saya, industri musik Indonesia sekarang berangsur membaik, tetapi belum baik benar karena pembajakan masih tetap juara.

 

(Ida Setyorini)


Versi cetak artikel ini terbit di rubrik ‘Kompas Kita’ harian Kompas edisi 1 September 2015 halaman 33