Bunga Matahari, Kentang, dan Seekor Kancil

55
899

Pada suatu sore yang cerah, di perbatasan antara kebun bunga matahari dengan ladang kentang. Sore hari itu, bunga-bunga matahari bermekaran, saling merayakan hari pernikahannya, beserta para lebah madu sebagai penghulunya. Di antara semarak desir angin, dan dengung lebah yang bersorak-sorai, terdapat bunga matahari yang menyendiri dengan keadaannya yang lunglai sembari menghadapkan kelopaknya yang kendur ke jeruji besi, yang memisahkan antara kebun bunga matahari dengan ladang kentang.

Sementara di balik jeruji itu, hidup seorang tanaman kentang yang tumbuh dengan daun-daunnya yang berwarna hijau cerah. Mereka saling berpapasan dan tegur sapa. “Hai, apa kabar, Nona!”, tegur Tuan kentang. “Buruk!Tuan kentang”, balas Nona bunga matahari.

“Ya, kau tampak terlihat layu. Sepertinya mahkotamu kendur”, kata Tuan kentang kepada Nona bunga matahari “apa yang membuat Nona menjadi bersedih begini, padahal hari ini, adalah hari pernikahan bagimu dan kaummu. Seharusnya, Nona, bahagia!”

“Tidak! Tuan kentang. Sang lebah telah menaruh serbuk sari dari seorang bunga yang bahkan tak pernah kujumpai wujudnya, apalagi cinta!!!”, tegas bunga matahari “jadi! Bagaimana aku mau bahagia.”

“Kau tahu…kan itu tugas yang Tuhan berikan kepada Sang lebah madu, supaya kaummu lestari, jadi terima saja dengan senang hati”, ucap Tuan kentang. “Nona, tak perlu sampai bersusah hati begitu. Kita berdua tumbuh subur saja, aku sudah sangat bersyukur.”

“Jadi apa Tuan bersyukur! kalau kita yang tumbuh bersama yang dengan begitu Tuhan izinkan juga tumbuh perasaan di antara kita, tetapi pada akhirnya dipisahkan oleh takdir yang dibuatnya.  Bahkan dipisahkan juga oleh perbuatan manusia dengan pembatas jeruji besi yang tak berguna ini”, tukas Nona bunga matahari yang berada di tengah semilir angin.

“Cinta itu tidak hanya persoalan yang membicarakan tentang berkembang biak saja bukan! Bahkan bukan bagian darinya”, jelas Tuan kentang. “Cinta yang kupahami, adalah sebuah perasaan yang menyatukan suatu perbedaan, yang menyatukan dua hati yang berbeda dan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Jadi, tak perlulah aku risau yang sebagaimana Nona rasakan,” tambahnya.

“Lalu apa Tuan sendiri tidak mengeluh atas takdir yang Tuhan tetapkan kepada, Tuan dan kaum Tuan, bahwa seminggu yang akan datang adalah musim panen atas kaum Tuan. Oh, sungguh Tuan akan dicabut beserta tanaman kentang lainnya, dari batang sampai umbi yang mengakar oleh manusia, Tuan akan direnggut dariku untuk manusia”, ungkap Nona bunga matahari. “Dan pada akhirnya, Tuan beserta kentang lainnya hanya dijadikan hidangan makan siang, atau makan malam bagi manusia, apa Tuan tidak mau protes kepada Tuhan! Atas takdir yang ditetapkannya untukTuan dan kaum Tuan,” kata Nona.

“…Nona, aku sendiri bersyukur dengan takdir yang Tuhan tetapkan pada aku dan kaumku. Biarlah, kehidupan kaumku memberikan banyak manfaat bagi manusia..”

“Tidak! Tidak! Nona, aku sendiri bersyukur dengan takdir yang Tuhan tetapkan pada aku dan kaumku. Biarlah, kehidupan kaumku memberikan banyak manfaat bagi manusia, bisa menjadi bahan pangan pengganti beras dan gandum di kala beras dan gandum naik harganya,” jawab Tuan kentang.

“Jadi benarTuan rela kita berpisah?”, tanya Nona bunga matahari.

“Ya, walau berat, dan kutahu itu tak mudah. Tapi, Kita harus rela, Nona”, jawab Tuan kentang.

Tiba-tiba angin bertiup kencang. Kemudian Tuan kentang menjatuhkan sebatang kuncup yang masih hijau ke permukaan tanah, sehingga kuncup yang masih hijau itu, tertiup mendekat kepada Nona bunga matahari.

Seminggu kemudian Tuan kentang, beserta rombongan kaumnya dipanen oleh petani kentang, mereka diangkut dengan karung pergi menuju ke pasar. Tidak lama kemudian, seekor kancil datang hendak mencuri, Sang kancil bergumam kesal karena dia datang terlambat setelah semua tanaman telah tersapu bersih dipanen tak tersisah. Ditelusurinya ladang itu, hingga ke perbatasan kebun bunga matahari, dengan harap menemukan makanan.

Di perbatasan antara ladang kentang dengan kebun bunga matahari itu, Sang kancil tak sengaja bertemu dengan bunga matahari yang sedang layu. Dilihatnya bunga matahari sangat murung sehingga bungkuk tangkainya.

“Permisi Tuan kancil, apakah aku boleh meminta bantuanmu”, pinta Nona bunga matahari dengan memelas kepada Tuan kancil.

Tuan kancil bersimpati padanya, karena tak tega melihat keadaan Nona bunga matahari. “Boleh, Nona. Asalkan Nona dapat bahagia,” jawabnya.

“Terima kasih sebelumnya karena, Tuan, mau bantu”, ucap Nona bunga matahari “lihatlah kuncup hijau yang berada di bawah batangku, bisakah Tuan menyelinap masuk ke tempatku, untuk menancapkan kuncup itu di dekatku agar aku bisa menaunginya.”

“Haaa…aku ini kancil si pencuri, bukan manusia yang suka berladang dan berkebun!”, sontak Tuan kancil terkejut. “Jadi, aku tak bisa berbuat demikian.”

“Aku mohon pada Tuan, bantulah aku ini yang sedang bersusah hati, dan akan mati sebentar lagi”, Nona bunga matahari memohon belas kasih “lagipula Tuan sudah tersesat sangat jauh,tempat ini bukanlah ladang mentimun yang ingin kau curi, melainkan ladang kentang yang sudah dipanen bersih, oleh pemiliknya. Dan, tanah yang Tuan sedang pijak sekarang, dahulunya adalah tempat hidup bagi tanaman kentang yang telah menjadi kekasihku dalam menemaniku semusim ini.”

Tuan kancil tersentuh hatinya, sehingga ia mau menyelinap ke kebun bunga matahari melalui sela-sela jeruji besi dengan menggunakan tubuhnya yang ramping. Lalu sesampainya di kebun bunga matahari, Tuan kancil mengangkat kuncup tanaman kentang dengan mulutnya. Kemudian ia menggali tanah di dekat batang Nona bunga matahari dengan menggunakan kakinya yang runcing untuk menghentakkan tanah agar berlubang permukaannya.

Setelah berlubang permukaan tanah itu, ditaruhnya ujung patahan kuncup tanaman kentang itu kedalam lubang tanah, lalu menguburnya kembali secara perlahan menggunakan hidungnya. Tiba-tiba gerimis datang membawa rintik hujan, sedang Tuan kancil bergegas pergi setelah membantu Nona bunga matahari. Kuncup tanaman kentang pun mulai berdiri tegak, karena menyerap air hujan, dan Nona bunga matahari pun bahagia bermandikan air hujan, di sisinya.

Muhamad Abi Fadila