Sisi Lain Sang Pujangga: Sastra Dulu, Kini, dan Nanti

0
1577

60 tahun silam, puisi seorang anak dimuat di Post Minggu Semarang. Siapa sangka, sepotong teks itu mengantar sang anak kepada karya besar lainnya.

Ya, sosok itu adalah Sapardi Djoko Damono. Penyair yang berulang tahun pada 20 Maret lalu telah meluncurkan tujuh bukunya di Bentara Budaya Jakarta pada 22 Maret 2017. Peluncuran buku ini dilakukan setelah sebelumnya buku Bilang Begini, Maksudnya Begitu,  Hujan Bulan Juni, dan Trilogi Soekram diterbitkan.

Hobi menulis puisi dimulai ketika Sapardi muda pindah rumah ke daerah yang lebih sepi. Untuk mengatasi kebosanannya, seringkali ia membaca dan menulis puisi. Berbagai karya sastra milik T.S. Eliot dan Ernest Hemingway habis dilahapnya. Oleh karena itulah, ketika harus menerjemahkan karya-karya penyair kelas dunia Sapardi tak merasa kesulitan sama sekali. Baginya ketika suka, maka akan menjadi mudah.

Hal-hal yang ada di sekitar seperti benda, kondisi alam, bahkan peristiwa sehari-hari dapat dirangkai sastrawan ini lewat paduan kata yang begitu indah. Salah satunya ialah sajak favoritnya, “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari” yang ditulis ketika beliau berjalan pagi dan mengamati bayangannya sendiri.

Kebanyakan orang mengenal Sapardi sebagai sosok penyair yang romantis karena popularitas sajak bertemakan cinta seperti “Aku Ingin” dan “Yang Fana Adalah Waktu”. “Jika dikenal sebagai penyair, itu salah yang kenal,” ujar Sapardi.

“Puisi itu dinamis. Kalau tidak dinamis namanya undang-undang”

Pasalnya, Sapardi juga menulis berbagai literatur lain seperti novel. Puisi-puisi romantis yang selama ini kita kenal pun sebenarnya hanya sebagian kecil dari banyak puisi yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Arab, Hindi, Jepang, Cina, Prancis, Inggris, dan lain-lain. Hanya saja, pasar Indonesia cenderung menyukai sesuatu yang bertemakan cinta, sehingga prosa romansa milik Sapardi lebih diagungkan.

Jika sebuah karya seperti puisi dikatakan bisa mendobrak fenomena sosial politik yang ada, Sapardi menyebut itu omong kosong. Menurutnya, belum pernah dalam sejarah puisi bisa dipakai untuk melakukan perlawanan. Tidak sekadar kata-kata, tetapi bedil dan orang di belakangnya. Puisi ditujukan untuk mengekspresikan emosi, menggerakkan dan menyadarkan masyarakat akan kondisi saat itu.

Puisi hidup jika memiliki bermacam interpretasi. Sosok yang merupakan junior dari W.S. Rendra semasa kuliah ini tak mau menjawab jika ditanya soal aliran dan makna puisinya.  “Kalau kamu tanya saya soal itu hari ini dan besok, jawaban saya bisa berbeda karena saya tak ingat semua puisi yang telah saya buat. Saya menyerahkan puisi saya ditafsirkan oleh masing-masing orang secara berbeda,” jawabnya lugas.

Ada perubahan dari masa ke masa, salah satunya perkembangan teknologi. Sapardi memanfaatkan era digital saat ini untuk mencari informasi yang dapat membantu mengembangkan puisinya. “Puisi itu dinamis. Kalau tidak dinamis namanya undang-undang,” katanya.

Bagi Sapardi, sastrawan modern harus dinamis menghadapi perkembangan zaman. Bila tidak, karyanya tak akan laku. Salah jika berpegang teguh pada keyakinan kalau sastra adalah buku. Sastra memang berarti aksara, dan aksara merupakan hasil teknologi. Produk seperti e-book, audio, dan gambar kini berperan sebagai medium sastra.

Penggemar film A Matter of Life and Death ini berharap  generasi muda banyak membaca dan menulis. Membuat puisi akan mudah jika memiliki pengetahuan dan kosa kata kebahasaan yang luas. “Orang menulis karena membaca. Kita menentukan sendiri apa yang mau ditulis. Karena inti seni bukan pada ide maupun inspirasi, melainkan bagaimana kita menyampaikannya dengan kemampuan berbahasa kita,” ujarnya sambil menutup percakapan.