Si Pencari Perhatian Dalam Aksi Mahasiswa

0
322

Peningkatan kualitas dan kuantitas dari tuntutan aksi dari mahasiswa, sejalan dengan menurunnya pengelolaan pemerintah. Demikian ucapan Muhammad Muqtadir, yang biasa  disapa Fatur, ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dalam acara Mata Najwa satu tahun lalu. Kalimat itu adalah bentuk perlawanan dari para demonstran –yang diwakili oleh Fatur, ketika pemerintah memprotes aksinya tersebut.

Kalau ada pepatah yang mengatakan ucapan adalah doa, maka mungkin tahun ini adalah tahun saat doa tersebut tidak diinginkan terjadi –namun terpaksa terjadi, karena buruknya pemerintah dalam mengambil keputusan. Aksi demo besar-besaran di awal hingga pertengahan Oktober 2020 itu terjadi bukan hanya di Jakarta, namun di berbagai daerah lain, tentu karena massa kecewa atas keputusan pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law.

Namun, disayangkan, ada sekelompok orang nyeleneh ikut terlibat dalam aksi demonstrasi tersebut. Mengapa saya berani menyematkan kata nyeleneh kepada orang-orang itu ? Karena mereka, orang-orang yang ikut meramaikan aksi demonstrasi, namun tidak tahu tentang apa yang mereka tuntut. Mereka cenderung hanya terbawa arus dan menganggap jika ikut aksi demonstrasi adalah satu tren yang harus mereka ikuti agar terlihat keren.

Tanpa tahu apa yang mereka suarakan, yang penting adalah dapat berfoto dengan latar aksi demo di jalanan, upload sana-sini, memberi tahu semua orang bahwa mereka sedang ikut aksi, walaupun sebenarnya mereka tidak tahu apa yang mereka tuntut dalam aksi tersebut.  Tujuannya apa ? Tentu, agar mendapat anggapan positif dari lingkungan sosial mereka. Agar dapat dinilai sebagai seorang pejuang. Agar dapat melabeli dirinya sebagai mahasiswa sejati, dengan ikut menjalankan Tri Dharma Mahasiswa nomor tiga. Namun kembali, mereka tidak tahu apa yang mereka tuntut.

Bila diperhatikan, saya melakukan banyak pengulangan kalimat “mereka tidak tahu apa yang mereka tuntut”. Saya melakukan hal tersebut bukan tanpa alasan. Saya sempat melakukan survei kecil-kecilan kepada orang-orang yang melakukan aksi demonstrasi UU Cipta Kerja Omnibus Law. Dari 10 orang yang saya tanya mengenai UU tersebut, tujuh orang tidak dapat menjelaskan apa itu UU Cipta Kerja dengan sistematis. Mereka hanya mengatakan jika UU Cipta Kerja tersebut merugikan buruh dan masyarakat, namun tidak tahu apa-apa saja yang dirugikan.

Aksi demonstrasi tentu dibutuhkan jika kita melihat bagaimana buruknya keputusan pemerintah dan DPR RI karena mengesahkan UU Cipta Kerja Omnibus Law. Namun, semangat aksi tersebut harus dibarengi dengan intelektualitas yang mumpuni terkait isu yang didemokan. Setidaknya kita harus tahu apa yang kita suarakan, kita harus tahu apa yang kita tuntut. Karena semangat aksi jika tidak dibarengi dengan pengetahuan, hanya akan menjadi tindakan konyol. Peribahasa tong kosong nyaring bunyinya, mungkin dapat disematkan kepada orang-orang tersebut.

Disfungsi demonstrasi

Aksi demonstrasi yang seharusnya menjadi ajang menyuarakan aspirasi, justru dialih fungsikan oleh sekelompok orang yang justru tidak menjadikan aksi demonstrasi sebagai medium penegak keadilan. Mereka menggunakan aksi demonstrasi itu dengan tujuan lain. Salah satu contohnya adalah seorang mahasiswi yang bercerita di akun media sosialnya jika ia telah “ditolong” oleh seorang mahasiswa ketika aksi demo berlangsung.

Ia bercerita ketika ia sedang dalam aksi demonstrasi, ia sempat terdesak dan terdorong-dorong oleh demonstran lain. Kemudian singkat cerita ada seorang mahasiswa yang menolong mahasiswi tersebut hingga mengantar mahasiswi tersebut pulang. Menurut opini saya sebenarnya tidak ada yang salah dengan tindakan baik dari mahasiswa maupun mahasiswi tersebut. Namun disayangkan bukan fokus menyuarakan tuntutan, ia justru membagikan cerita yang mengundang orang lain untuk ikut aksi hanya agar mendapat kejadian serupa.

Lalu yang disayangkan kembali, jika kita membaca kisah mahasiswi tersebut ia menjelaskan bahwa ia sedang dalam kondisi yang kurang sehat. Dalam kondisi tersebut ia memaksakan diri untuk tetap berada dalam posisi di depan ketika aksi berlangsung. Cerita selanjutnya sudah dijelaskan, bahwa mahasiswi tersebut ditolong oleh seorang mahasiswa hingga diantarkan selamat sampai rumah.

Dari sisi ini rasanya kita dapat sama-sama menyimpulkan jika yang dilakukan oleh mahasiswi ini terasa kurang bijaksana. Selain membahayakan dirinya sendiri, ia juga turut menyeret orang lain dalam kondisinya tersebut. Alangkah lebih bijaksana jika mahasiswi itu dapat lebih memahami situasinya saat itu sehingga tidak perlu “merepotkan” orang lain ketika demonstrasi sedang berlangsung. Walaupun tetap menolong sesama apalagi ketika sedang di situasi demonstrasi bukanlah sesuatu hal yang harusnya dianggap merepotkan. Namun tetap seharusnya kejadian tersebut dapat dihindari.

Kembali ke bahasan disfungsi aksi demonstrasi, cuitan dari mahasiswi tersebut berhasil “menginspirasi” Sebagian orang untuk turut ikut aksi, tentunya, dengan tujuan yang menyimpang. Bahkan tak sedikit orang-orang yang justru menganggap cerita mahasiswi tersebut sebagai sesuatu hal yang patut ditiru. Aksi demonstrasi dijadikan sebagai ajang mencari pasangan. Sungguh pemikiran yang dangkal.

Hal itu tentu tidak bijaksana. Terlebih jika kita berkaca pada situasi pandemi Covid-19 saat ini,  penambahan kehadiran demonstran yang tidak memiliki tujuan sesuai,  justru hanya menambah jumlah kerumunan. Kembali, kebijaksanaan pribadi menjadi kunci ketika beraksi di situasi pandemi ini. Jika memang ingin turun untuk menyuarakan aspirasi, maka pelajarilah isu yang kita ingin diaspirasikan. Beraksilah sesuai dengan tujuan utama. Karena jika otak kita kosong, maka semangat dan tenaga ketika aksi hanya akan berakhir sia-sia.

Kita dapat menemukan banyak “pendemo”, atau bisa saya katakan para pencari perhatian. mereka ikut dalam aksi dengan memegang kertas karton bertuliskan hal yang sama sekali tidak ada hubungan dengan tuntutan yang disuarakan.

Tak hanya para pencari pasangan, terdapat satu fenomena nyeleneh lain yang dapat kita temukan dalam aksi demonstrasi kali ini. Kita dapat menemukan banyak sekali “pendemo”, atau bisa saya katakan para pencari perhatian. Mereka ikut dalam aksi dengan memegang kertas karton yang bertuliskan hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungan dengan tuntutan yang disuarakan. Sungguh ironi ketika banyak demonstran yang mengorbankan banyak hal demi menyuarakan dan menegakan keadilan, yang harus bertaruh akan kesehatannya pada kondisi pandemi, justru dikotori oleh para pencari perhatian.

Mereka, para pencari perhatian, banyak yang menuliskan hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tuntutan. Bahkan tidak sedikit yang menuliskan hal yang justru cenderung mempermalukan diri mereka sendiri. Hal ini semata-mata dilakukan hanya demi menjadi pusat perhatian dan meninggikan eksistensi individu atau kelompok.

Benar-benar disayangkan. Seharusnya keadilanlah yang menjadi fokus utama dalam aksi, tetapi malah dikotori oleh aksi-aksi nyeleneh oleh sekelompok orang tersebut. Mereka bukan membantu menyuarakan aspirasi. Justru hanya menambah sesak kerumunan demonstran, yang kembali harus diingat jika kita saat ini sedang dalam kondisi pandemi. Kesehatan dan keselamatan yang mereka pertaruhkan mejadi sia-sia karena aksi nyeleneh yang mereka lakukan.

Perlu saya tegaskan, jika saya sepenuhnya mendukung hal yang masyarakat tuntut dalam aksi demonstrasi terkait keputusan pemerintah dan DPR tentang UU Cipta Kerja Omnibus Law. Namun, saya menyayangkan kelakuan segelintir orang yang justru terkesan menganggap remeh aksi demonstrasi ini. Republik yang sedang sakit ini nampaknya hanya guyonan saja bagi mereka. Sungguh sebuah ironi didalam ironi.

 

Muhammad Iqbal Mawardi, mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran