Mungkin Kita Masih Berteman

0
471

“Bagaimana kabar temanmu yang dapat beasiswa itu?”

Aku masih memainkan ponsel bersikap acuh atas pertanyaan orang tuaku, “Teman yang mana?”

Saat di sekolah dulu, aku bukan tipe anak yang suka bergaul. Bukan juga tipe yang pintar dalam hal seni atau olahraga. Aku hanya anak standar rata-rata dengan sedikit kepintaran di bidang matematika, jadi saat pemilihan ekskul, aku mengikuti klub tersebut.

Terdengar sangat kutu buku, tapi percayalah, aku juga tidak sepandai itu dibidang matematika. Buktinya jarang materi yang aku bisa kuasai saat ekstrakulikuler, dan tiap kali dikirim lomba, aku selalu gagal di babak penyisihan awal.

Pernah suatu kali sekolah mengadakan seleksi untuk lomba matematika bergengsi. Sekolah hanya akan mengirimkan empat anak. Pengikut ekskul matematika pun berlomba-lomba untuk belajar demi seleksi, tapi tidak denganku. Aku sudah patah arang terlebih dulu. Aku tidak belajar untuk seleksi lomba tersebut, tapi entah bagaimana aku disertakan dalam lomba bergengsi itu. Satu angkatan, hanya dua orang yang terpilih, yakni aku dan Sam.

Ah, aku belum bercerita.

Sam adalah murid yang cemerlang dalam prestasi belajarnya. Konon katanya, nilai matematikanya tidak pernah meleset dari angka 100.

Aku tidak terlalu mempedulikan gosip yang mungkin fakta itu. Hingga suatu hari, aku selesai presentasi pelajaran bahasa, aku menyadari bahwa nilaiku lebih unggul dari Sam.

Hari itu, ia mengatakan dengan angkuhnya bahwa aku tidak akan lebih baik darinya dan aku sama sekali bukan saingan baginya. Terhina, aku memperbaiki diri sebaik mungkin. Perlahan Sam sering kali mencuri informasi tentang berapa nilai ujian-ujianku. Sebaliknya, ia tidak pernah mengizinkanku melihat nilainya. Ia seolah tersaingi, tapi aku tidak begitu peduli.

Terkadang, Sam mengirimiku pesan bertanya tentang tugas ini itu, dan kapan waktu harus mengumpulkan. Lambat laun, berbicara dengannya menjadi salah satu saat yang ku nanti.

Matematika menjadi topik yang sering kubahas dengannya, terutama setelah selesai ujian. Aku dan Sam akan saling mencocokan hasil jawaban yang kami dapat, yang teman sekelas kami menganggap bila kedua jawaban kami sama, itu berarti sudah menjadi kunci jawaban termutakhir.

Lucu terkadang, aku dan Sam saling menganggap satu sama lain adalah saingan, tapi Sam menjadi orang yang suka menyemangatiku saat nilai pelajaran seniku babak belur. Saat gambarku terlampau jelek, hanya ia yang memuji karyaku, dan kuyakin itu tulus.

Terkadang Sam juga suka memintaku mendengarkannya memainkan gitar sebelum ambil nilai. Aku ingat saat ia memainkan gitar, tepat setelah lagu yang ia mainkan selesai, aku bergegas lari ke kantin untuk membeli makanan. Tapi agaknya Sam salah paham, buktinya wajahnya menjadi merah padam dan ia menolak berbicara denganku berhari-hari.

“Kayla, menurutmu, apakah Sam cocok denganku?”

Aku agak menjadi gugup sendiri mendengar pertanyaan Yoren. Yoren itu teman sekelasku, rambutnya selalu dikuncir. Itu juga yang membuat Sam suka mengusili Yoren dengan menarik ikat rambut dan menyembunyikannya.

“Kayla?”

Aku berdahem, “Kau menyukai Sam?”

Yoren senyam senyum sendiri, membuatku yakin kalau Yoren memang menyukai Sam.

Astaga, aku jadi merasa menghalangi Yoren dari Sam.

Tiap malam, menjadi rutinitas bagi Sam mengirimiku pesan. Kami sering berbalas pesan, membahas apa saja yang terlintas dalam pikiran. Hingga aku menjadi bingung dengan sikap Sam.

“Menurutmu Kayla sempurna bukan?”

Perkataan Sam pada Ben waktu itu membuatku terkejut. Aku tidak mengerti apa maksud Sam, tapi aku pura-pura tidak mendengar saja walau aku tahu Sam sengaja mengatakan itu di depanku.

“Kayla, hati-hati pulangnya.” Senyum Sam saat itu setelah pulang lomba matematika.

“Kayla, aku mau memainkan satu buah lagu untukmu, dengarkan ya?”

Ah, Sam membuatku gila. Hal-hal kecil yang dilakukannya bahkan dapat dengan mudahnya membuat pipiku memerah dan udara di sekitarku menjadi panas.

“Sam?”

Aku mengiriminya pesan, perkataan Yoren tadi siang sungguh mengusikku. Aku bisa mati penasaran, apa Sam juga menyukai Yoren?

“Ya? Kenapa Kay?”

Aku segera membalas pesan Sam tersebut, “Apa kau sedang menyukai seseorang?”

“Hm, aku ragu, sepertinya aku menyukai dua orang sekaligus. Apa itu mungkin? Ini terdengar gila.”

“Kalau kau benar menyukai yang pertama tentu tidak akan yang kedua kan? atau, siapa yang lebih kau sukai?”

Aku sudah gila mengirimkan sainganku pesan seperti itu. Mau ditaruh dimana mukaku saat besok bertemu Sam di kelas?

“Oke baiklah, aku tahu aku suka siapa. Coba tebak,”

“Di kelas kita?”

“Tepat. Namanya adalah Kayla,”

Mataku membulat membaca pesan Sam, tapi aku tahu, ia hanya bercanda. Sam suka bercanda.

“Maksudku, serius. Ini tidak lucu, jangan bercanda, aku penasaran.”

“Aku tidak bercanda, aku menyukai seseorang di kelas kita bernama Kayla. Kau kenal?”

Aku tercengang mendengar kabar Claire berpacaran dengan Sam

Esok paginya aku masuk ke dalam kelas dengan canggung. Fakta aku duduk di baris paling belakang dan bersebelahan dengan Sam membuatku grogi.

Semalam Sam pasti bercanda.

Aku yakin itu walau separuh dariku berharap itu bukan lelucon belaka dan berharap agar Sam mengatakan perkataannya semalam padaku secara langsung.

Esok, dan esok.

Hari itu tidak pernah terjadi.

Malah, aku menjadi terseret menjauh dari Sam. Ia menjauh tanpa sebab yang jelas, hingga saat itu, ia keluar sebagai juara kelas dan aku juara keduanya.

Aku tahu Sam salah paham padaku, ia memblokir nomorku setelah mengatakan aku hanya memanfaatkannya. Selama ini Sam hanya merasa aku dekat dengannya karena bertanya ini itu tentang matematika.

Hari bergulir dan kami berpisah kelas.

“Sungguh? Kalian? Sejak kapan?”

Aku ikut mendengar gosip tersebut. Ah, ralat. Itu bukan gosip. Fakta.

Aku tercengang mendengar kabar Claire berpacaran dengan Sam. Oh, maksudku, bagaimana mungkin Sam yang dekat dengan Yoren dan mungkin aku, malah berakhir dengan Claire teman Yoren?

Ini persis seperti lelucon siang bolong.

Bulan silih berganti menjadi tahun.

Aku benar-benar tidak berhubungan lagi dengan Sam. Pertemanan yang semula dekat menjadi jauh, dan yang kudengar Sam menerima tawaran beasiswa keluar negeri.

Aku juga mendapat tawaran tersebut, hanya saja aku tidak berminat dan tidak menghadiri ujian seleksi.

Aku memilih masuk ke sekolah swasta bergengsi di kotaku. Jadwalku sibuk, tapi aku masih sempat bermain sosial media. Saat itulah aku melihat nama pengguna mirip Sam muncul di laman sugestiku.

Dengan sisa keberanian yang aku miliki, aku mengikuti akun sosial medianya. Hanya butuh waktu kurang dari satu menit untuk Sam –ya, ternyata ia benar Sam yang kukenal– untuk balik mengikuti akunku.

Aku mencari nama pengguna tersebut di akun aplikasi pesan, dan menemukan akun Sam.

Iseng, aku mengiriminya pesan setelah lebih dari dua tahun hilang kontak.

“Hi,” sapaku singkat.

Dua hari kemudian Sam membalas pesanku, begitu seterusnya hingga dua bulan tidak terasa terlewati. Kami kembali mengobrol tentang segala hal yang terlintas dalam benak, bertukar kabar tentang studi dan rencana ke depan yang sebenarnya belum kami ketahui seutuhnya. Selalu ada yang bertekad memanjangkan percakapan.

Tiap kali pesannya muncul, ada perasaan senang yang hinggap menyertai.

Lambat laun Sam mulai jarang membalas pesanku. Aku mencoba cara nekat yakni hanya membalas pesannya dengan stiker tersenyum yang biasa Sam akan tanggapi dengan bertanya sesuatu tentangku atau membahas topik menarik lainnya.

Tapi tidak hari itu, Sam hanya membaca balasan stikerku.

Beberapa hari setelahnya, Sam berulang tahun. Aku ingat betul hari ulang tahunnya, meski aku tahu ia tidak mengingat ulang tahunku sama sekali.

Aku mengucapi Sam selamat, dan ia hanya membalaskan pesan terima kasih singkat.

Hari itu, aku tahu, aku akan kembali kehilangan kontak dengan Sam.

Lagi, sebuah perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal yang akan kulalui, tapi tidak dengannya. Perpisahan hanya terjadi saat merasa kehilangan, tentu Sam tidak akan merasakan hal itu.

Sam hanya merasa aku memanfaatkannya selama duduk di bangku sekolah dulu.

Ia cemerlang, tapi tidak cukup cemerlang untuk menyadari aku tidak pernah memanfaatkannya. Tidak cukup cemerlang untuk menyadari, bahwa aku pernah menunggunya mengulang ucapannya malam itu.

Ia tidak cukup cemerlang, untuk menyadari bahwa dulu aku pernah menyukainya.

“Kau tahu, temanmu yang sering muncul saat kita makan di mal.”

Orang tuaku memperjelas maksud mereka. Sebenarnya tanpa perlu diperjelas, aku tahu betul maksud orang tuaku. Maksud mereka adalah Sam.

“Aku tidak tahu,” jawabku sekenanya.

Itu benar, aku sudah lama hilang kontak dengan Sam, lagi.

Mungkin, bila dulu tidak ada kesalahpahaman, dan aku cukup berani mengatakan perasaanku, mungkin kita masih berteman.

Ah, kalau kau membaca ceritaku ini, aku yakin kau tahu persis bahwa kau kutulis dalam ceritaku ini dan selalu kubahas bersama teman-temanku. Kau tahu itu kan?

 

 Patricia Alika