Laki-laki di Taman Senja

0
446

Pernah satu senja kau dan aku masih suka termenung memandangi langit di tengah hiruk pikuk kota. Hobi kita memastikan apakah matahari benar-benar terbenam di singgasananya. Sebenarnya itu hobi baruku,sebab aku merasakan dalam beberapa minggu kebelakang hidupku terasa sangat membosankan.

Jadi, aku gunakan waktuku untuk menantikan senja di taman kota, karena menurutku itulah kegiatan yang murah sekaligus menenangkan.

Membuatku sejenak melupakan segala harapan dan kepenatan sebagai masyarakat urban. Clubbing, laki-laki, drakor, dan alkohol sudah tidak menarik lagi buatku. Aku hanya sedang tertarik pada semua yang berhubungan dengan hobi baruku, seperti temaram senja, lampu-lampu taman, pepohonan, bunga-bunga, angin sore, dan burung-burung yang pulang ke sarangnya.

Namun dirinya pun, juga hal yang baru bagiku. Dia mengubah sudut pandangku tentang menatap langit dan pandanganku terhadap laki-laki.Tetapi akhir-akhir ini banyak orang yang khawatir kalau senja menjadi langka di kotaku. Karena musim hujan, membuat sore di kotaku tertutupi awan mendung dan hujan.

Aku heran mengapa orang-orang selalu memperhatikan langit untuk menerka-nerka datangnya hujan. Sekalipun mereka melihat ada tidaknya matahari di siang hari atau bulan dan bintang pada malam harinya, sebagai pertanda datang atau tidaknya hujan itu. Memangnya apakah awan mendung mesti izin terlebih dahulu kepada matahari atau bulan dan bintang kalau dia hendak menurunkan hujan.

Sejak bulan November senja tak lagi muncul di kotaku. Karena setiap sorenya hujan datang lebih dulu. Kau dan aku menjadi resah kalau senja punah di mata kita. Kita hanya mengenang senja melalui siaran adzan magrib di televisi. Sehingga pertemuanku dengan dirimu saat itu menjadi kali terakhir kita bertemu. Karena kau dan aku dipertemukan dengan hobi yang sama. Menantikan terbenamnya matahari ditemani segelas kopi di taman kota. Kau dengan buku-bukumu yang tidak kumengerti dan aku dengan keripik kentang.

“Sepertinya senja tak jadi datang lagi. Kita hampir tak melihat sinar matahari dari jam lima sore tadi. Hanya mendung dan angin dingin,” katamu yang agak kecewa. “Mungkin sebaiknya kita pulang saja.”

“Tapi, pasti aku akan rindu sekali saat-saat senja di taman ini,” balasku kepada matanya yang ragu-ragu. “Apa besok kamu masih mau datang lagi ke sini? Meski besok mungkin hujan.”

Tiba-tiba langit menurunkan hujan. Rintiknya yang mulai deras membasahi seisi taman. Orang-orang segera membubarkan diri dari tempat itu. Terkadang angin kencang dan kilat guntur sangat menakuti kami yang sedang berteduh di halte depan taman.

“Maaf. Aku harus pulang. Hujan besar seperti ini akan membanjiri kebun bunga matahariku,” kata laki-laki itu pergi terburu-buru. “Jaga dirimu!”

Suaranya dan langkahnya segera tenggelam dari kejauhan. Dirinya meninggalkanku di halte taman. Pergi begitu saja seperti angin. Tanpa mengerti perasaanku.

Aku masih ingat betul bagaimana pertama kali bertemu dengannya. Waktu itu, sepulang jam kantor aku sempatkan pergi ke taman. Ini bukanlah kebiasaanku. Sebenarnya aku sangat lelah. Tapi jam pulang kantor membuat jalan-jalan di Jakarta menjadi sangat macet.

Aku jadi malas pulang ke kos. Ditambah lagi di tempat tinggalku, aku sulit mendapat ketenangan. Kos-an yang murah di Jakarta membuatku bertetangga dengan orang-orang yang menyebalkan. Seringkali para keluarga yang bertengkar di samping kamarku menimbulkan kebisingan yang membuatku jenuh.

Aku tak habis pikir, apakah cara mendidik anak harus tiap hari marah-marah sampai kedengaran orang banyak. Belum lagi, para remaja dan bapak-bapak yang sering nongkrong di depan kosku, mereka genit dan aku merasa risih dengan perlakuan mereka.

Aku sudah bosan setiap harinya sama saja. Bangun tidur, makan, pergi bekerja, kemacetan, dan kembali lagi ke kosan. Setiap harinya seperti kembali ke hari yang sama dengan hari kemarin.

Aku melihat sore itu banyak orang duduk bersantai di taman. Mungkin menghindari macet sepertiku. Biasanya aku sering melihat mereka hanya dari kendaraan saja. Aku pun tertarik, menurutku duduk bersantai di taman akan membuatku lebih rileks.

Sore itu, saat taman sedang ramai seperti biasanya. Aku bertemu dengan seorang laki-laki yang duduk sendirian, sedang membaca sebuah buku di bawah pohon sawo. Kuhampiri dia karena di sanalah kursi kosong tersisa.

Aku melihatnya duduk sendirian. Buku yang sedang dibacanya waktu itu berjudul Madilog. Laki-laki ini penampilannya biasa saja. Bahkan menurutku dia seorang kutu buku. Aku punya pengalaman menarik dengan laki-laki kutu buku seperti dia waktu di sekolah.

Biasanya laki-laki seperti dia pasti anak yang pintar saat pelajaran di kelas. Tetapi bodoh soal percintaan. Aku sering memanfaatkan laki-laki seperti dia untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Maklum saja aku ini perempuan cantik. Laki-laki akan kelihatan bodohnya kalau sedang menyukai perempuan.

Mereka akan melakukan apa pun demi aku, meski pada akhirnya tak mendapat apa-apa dariku. Dia mungkin, sama saja dengan laki-laki kutu buku seperti yang pernah kupacari saat di sekolah.

“Permisi, apa saya boleh duduk di sebelah?”, pintaku kepadanya.

“Boleh, silakan saja,” balasnya.

Aku duduk di sebelahnya dan kuharap dia tidak akan merusak sore ini dengan berbicara padaku. Aku tidak suka berbicara dengan orang asing. Tetapi dia hanya fokus dengan buku yang dipegangnya.

Aku mulai penasaran dengan buku itu. Apa yang sedang dibacanya? Sehingga dia sama sekali tidak memperhatikanku. Aku ini perempuan cantik. Sepengalamanku tidak ada laki-laki mana pun yang berpaling dariku.

Sesekali dia meneguk segelas kopi. Lalu meneruskan membaca buku itu sampai tiba waktunya senja. Di sana aku melihat matahari terbenam terpancar dari matanya. Sangat indah dan dia masih tidak mengindahkan keberadaanku.

“Mas, di sini sedang menunggu seseorang?”, tanyaku tiba-tiba.

“Tidak,” jawabnya singkat.

“Berarti lagi nyantai ya. Sambil menunggu macet reda?,” tanyaku lagi.

“Senja,” jawabnya lagi. “Di sini tempatku biasa menikmati matahari terbenam.”

“Uh, berarti kita punya hobi yang sama. Kebetulan saya ini penggemar senja,” ujarku kala itu. “Saya dengar di sini tempat terbaik untuk menikmati matahari terbenam.”

“Ya kau benar sekali. Tapi apa kau tahu bagian terindahnya?”

“Mungkinkah cahayanya yang berwarna jingga,” jawabku.

“Menurutku bagian terindahnya setelah langitnya gelap,” ujarnya “Karena kau bisa merenungkannya. Melalui gelap kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah masih ada terang yang tersisa di hati kita. Sebab sepanjang hari barangkali kita banyak berbuat dosa.”

Setelah itu dia berpamitan dan langsung pergi meninggalkan tempat itu tanpa memberitahu namanya. Dalam pandanganku dia termasuk tipe orang yang kubenci. Sebab aku bisa mendengar dari kata-katanya tadi, sepertinya dia orang yang suka menggurui orang lain. Itulah sebabnya aku tak suka dengan guru-guruku dulu. Bahkan aku memilih tinggal di kos sendirian, daripada tinggal bersama ayah dan ibu di rumah.

Aku tipe orang yang tak suka dinasihati. Aku lebih suka mengerjakan hal-hal yang menurutku menyenangkan. Karena aku hidup untuk hari ini. Bukankah hidup di dunia ini hanya sebentar dan masa depan kita tiada yang tahu. Jadi di sisa hidupku akan kugunakan untuk bersenang-senang.

Tapi perkataannya tadi benar-benar membuatku merenung. Sebenarnya aku tidak membenci ayah dan ibuku. Kalau saja ayah dapat pensiun dengan uang yang cukup untuk membiayai keluarga sampai aku lulus kuliah nanti, mungkin aku tak perlu drop out dan tanpa harus membiayai sekolah adik-adikku. Sebagai anak pertama aku membencinya, karena harus mengubur mimpi-mimpiku demi mengikuti nasihat ayah dan ibu. Maka sejak saat itu aku membenci nasihat.

Aku berpikir tak seharusnya aku membenci keluargaku. Mungkin itulah sebabnya mengapa sampai detik ini aku belum bahagia. Karena masih ada rasa benci yang membuatku sulit membersihkan dosa dari hatiku. Padahal keinginan terdalamku adalah membuat ayah dan ibu merasa bangga, tapi mereka sepertinya tidak merasa begitu. Maka dari itu benci tetaplah benci.

Keluargaku masih saja menghubungiku karena mereka membutuhkan uang dariku. Dan apa yang mereka berikan padaku hanyalah nasihat.

Keesokan harinya, di jam yang sama aku datang kembali ke taman itu. Dia masih duduk di sana, di bawah pohon sawo. Tetapi tampaknya dengan judul buku yang berbeda. Waktu itu aku hanya melihat sekilas bahwa penulisnya bernama Marcus Aurelius.

Dan seperti kemarin aku duduk di sebelahnya. Aku datang kembali karena kemarin aku sungguh menikmati senja di taman itu. Rasa lelah di kepalaku agak berkurang setelah bersantai menikmati pemandangan matahari terbenam. Aku memutuskan bahwa kegiatan ini akan menjadi hobi baruku.

Sebenarnya yang membuatku kembali ke tempat itu, sebab laki-laki yang duduk di sebelahku ini tak membuatku risih. Walau mungkin aku masih membencinya, tetapi aku lebih membenci laki-laki yang genit. Seperti para tetanggaku di kosan, karena para lelakinya bermata keranjang.

Namun laki-laki yang belum lama kutemui ini sangatlah berbeda. Dia hanya sibuk membaca sebuah buku, meski perempuan cantik sepertiku duduk di sebelahnya. Karena matanya tidak menatapku sebagai objek berahi. Dan dia juga tidak menggangguku dengan tidak menanyakan namaku, meminta nomor teleponku, atau memuji parasku yang cantik. Jadi aku bisa menikmati waktuku saat senja.

Seperti kemarin, saat tiba senja dia menutup buku itu. Dan aku melihat matahari terbenam terpancar dari matanya lagi. Sesekali dia meneguk segelas kopi. Kicau suara burung-burung yang pulang ke sarangnya membuatku tersadar banyak sekali yang sudah terlewati.

Aku bisa merenung. Sebenarnya aku merindukan sebuah rumah. Kuakui kepergianku ke dunia orang dewasa, pada akhirnya yang aku butuhkan adalah tempat untuk pulang.

“Mas setiap hari datang ke sini?”, tanyaku.

“Ya,” jawabnya singkat.

“Mas datang ke sini lebih dulu dari saya, memangnya tempat kerja mas dekat dari sini?”, tanyaku lagi.

“Justru aku bekerja di sini,” jawabnya.

“Oh ya, kerja apa?”

“Aku biasa membantu orang-orang di sini menata taman bunga.”

“Oh mas, tukang kebun?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Mengapa orang yang suka membaca buku seperti mas bekerja menjadi tukang kebun?”, tanyaku lagi agak penasaran “Mas lebih cocok bekerja menjadi guru atau penjaga perpustakaan.”

“Karena aku memang menyukai bunga-bunga,” jawabnya “Misal, apa kau tahu kita bisa belajar nilai kehidupan dari kehidupan bunga-bunga yang indah itu?”

“Apa ya? Mungkin karena warna-warnanya yang cerah. Mereka membutuhkan proses dan waktu untuk mekar tepat pada waktunya,” tukasku.

“Ya kau benar, para bunga perlu bersabar untuk mekar tepat pada waktunya. Tetapi keindahan bunga-bunga juga membawa kupu-kupu yang cantik terbang menghampirinya,” terangnya. “Tahu kau mengapa?”

“Karena kupu-kupu membutuhkan nektar bunga,” jawabku.

“Ya kau benar sekali. Tetapi sebelum itu bunga-bunga harus bisa bertahan dengan beberapa ulat di sekitarnya apabila mereka ingin melihat kupu-kupu yang cantik,” ujarnya “Masih ingatkan pelajaran metamorfosis kupu-kupu?”

“Ya, itu kan pelajaran di sekolah dasar,” kataku.

“Menurutku begitulah juga dengan manusia. Kita harus bisa bertahan dengan beberapa orang yang mungkin menjengkelkan bagi kita. Karena sebenarnya kita tidak jauh berbeda dengan mereka, membenci mereka sama saja melawan hukum alam. Dan tidak ada yang bisa menyakiti diri kita, selain diri kita sendiri.”

Sesungguhnya aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang diucapkannya. Tapi aku tahu maksudnya. Seperti para tetanggaku yang menyebalkan itu, aku tidak perlu memusingkan tingkah mereka. Kalau mau, aku bisa mencari kosan yang baru. Dan meski orang-orang di kantorku sama juga menyebalkan, tetap saja aku harus bisa bekerja sama dengan mereka. Membenci mereka sama saja melawan hukum alam.

Kini aku sudah terbiasa dengan hobi baruku itu. Ternyata perempuan introvert sepertiku juga bisa merasakan kesepian. Dan sekarang aku harus bisa menerima keberadaan orang lain di sekitarku.

Terutama laki-laki itu. Menurutku dia pendengar yang baik. Aku sering menceritakan hal-hal yang membuatku jengkel kepadanya. Dan dia tidak banyak berkomentar. Bertemu dengannya membuatku sadar kalau tidak semua laki-laki bermata keranjang. Menurutku masih ada laki-laki baik seperti dirinya.

Namun musim hujan telah menghalangiku menikmati senja di taman. Aku kesal, mengapa harus setiap sore hujan melulu? Kenapa hujan tidak datang pada siang hari yang panas. Bukankah tanaman juga membutuhkan minum saat siang hari.

Tentang perasaanku, aku benci harus mengakuinya kalau aku memang menyukainya. Aku tidak tahu, tetapi sepertinya dia tidak menyadari perasaanku. Kedengarannya memang egois sekali kalau laki-laki yang harus lebih dulu mengungkapkan perasaannya kepada perempuan.

Aku mulai menyadari perasaanku itu bahwa matahari terbenam terasa menakjubkan apabila kulihat terpancar dari matanya. Aku malu mengatakannya, sebab aku ini wanita karir. Aku tidak punya waktu untuk menjalin hubungan dengannya. Aku lebih peduli dengan karirku agar tidak di-PHK. Aku hanya berharap pertemuanku dengannya berjalan seperti biasa. Aku benci hujan.

Lagi pula kalau dirinya juga menyukaiku dan mengungkapkan perasaannya, aku akan menolaknya mentah-mentah. Karena aku tidak ingin menikah dengannya. Aku dan dia sama-sama anak muda yang tidak kaya. Dia hanya tukang kebun, sedangkan aku pekerja kantoran yang rentan PHK kalau suatu saat perusahaan mengalami kerugian.

Belum nanti kebijakan pemotongan gaji karyawan yang dijadikan usul pemerintah agar anak muda bisa membeli rumah. Menurutku usulan itu juga tidak bisa disebut solusi. Sebab, di tengah tingginya harga kebutuhan hidup orang-orang justru akan lebih mementingkan urusan perut daripada menabung untuk membeli rumah.

Hubungan kami tidak akan berhasil. Karena kalau kami tetap memaksakan keadaan, kami hanya akan menambah jumlah keluarga miskin di negara kami. Kami hanya akan mewariskan penderitaan kepada anak-anak kami nantinya. Mengorbankan impian anak-anak kami karena kegagalan orang tuanya. Dan pada akhirnya kami hanya bisa menumpang hidup dengan anak-anak kami nanti.

***

Satu minggu telah berlalu. Aku memutuskan hiatus dari hobiku melihat matahari terbenam di taman kota. Karena musim hujan belum berganti. Baru beberapa hari saja rasanya rindu sekali. Sampai saat ini pun aku juga tidak tahu bagaimana kabar laki-laki itu. Terkadang sepulang jam kantor, aku sekadar berhenti di depan taman itu. Seperti orang yang linglung. Aku mau memastikan apakah dia berada di sana.

Entahlah karena setiap pertemuanku dengannya memang tidak pernah kami membuat janji terlebih dahulu. Bahkan sampai detik ini aku belum mengetahui namanya atau bertukar nomor telepon dengannya. Jadi pertemuanku dengannya terjadi secara kebetulan. Kami tidak pernah membuat rencana kalau mau bertemu. Biasanya aku langsung saja datang ke taman itu dan bertemu dengannya di sana.

Suatu sore saat gerimis aku datang ke taman itu. Langit ditutupi awan mendung dan gerimis bertambah deras. Dengan payung hitam di tanganku, aku terdiam memandangi kursi di mana kami biasa duduk di bawah pohon sawo. Hingga aku mulai menyesalinya karena setidaknya aku tidak perlu gengsi bertanya namanya atau bertukar nomor telepon.

“Mbak sendirian?”, tegur pedagang kopi keliling yang kebetulan lewat.

“Iya nih bang, lagi nunggu ojol,” sahutku.

“Aneh juga ya,” katanya. “Ada apa sih di pohon itu?”

“Nggak ada apa-apa sih. Cuma mau lihat ke sana aja,” jawabku “Memangnya aneh kenapa bang?”

“Sudah tiga hari berturut-turut ada juga laki-laki yang berdiri di sini sambil memandangi ke arah pohon gede itu,” jawab pedagang kopi itu. “Pas ditanya jawabannya juga sama kayak mbaknya. Jadi merinding, hati-hati mbak nanti kesurupan!”

“Bang, apa laki-laki yang abang lihat kemarin berkacamata?”

“Iya, mbak.” Jawabnya.

“Tingginya kira-kira sama kayak saya?”

“Iya, mbak,” jawabnya lagi. “Apa teman mbak?”

“Bukan sih, cuma pernah bertemu aja,” kataku.

Aku dan laki-laki itu mungkin akan bertemu lagi. Aku punya firasat yang baik. Tapi kapan? Aku tidak tahu. Biarkan musim berganti yang akan mempertemukan kami kembali. Aku akan datang saat dia di sana. Jadi tidak ada untungnya kalau sekarang aku memaki-maki hujan. Dan aku janji saat bertemunya lagi akan kutanyakan namanya.