Diary Naya

0
770

Rabu, 10 Mei 2017

Di tengah perjalanan pulang, sambil merasakan angin yang membelai tubuh, kedua netraku tertuju kepada beberapa orang di pinggir jalan. Mereka terlihat lusuh dengan pakaian compang camping, rambutnya gimbal, dan tubuh kotor. Aku melihat sebuah keluarga yang tidur di gerobak dan sedang menikmati sebuah roti.

Tak perlu dari dekat, aku sudah bisa merasakan bau dari roti busuk itu menyebar dengan tidak sedap. Namun, aku melihat senyuman dari orang tuanya dan kedua mata anaknya yang berbinar-binar.

Aku bingung, bagaimana bisa mereka memakan roti busuk itu? Dan yang paling penting aku ingat, aku bisa merasakan harapan mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan bagaimana cara mereka agar dapat bertahan dalam dunia fana ini.

Diary Naya

Sabtu, 13 Mei 2017

Hari ini, rasa bingung dan sedih terus menghantui pikiranku. Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Hal ini bermula, ketika aku memulai aktivitas pagi dengan mengajar. Dengan berperang oleh rasa kantuk, akhirnya dua jam pun berlalu pada pukul 10.00.

Sebelum pulang, aku berpikir untuk membeli sarapan terlebih dahulu. Karena sedari matahari terbit, aku hanya bisa memakan angin yang berlalu lalang. Aku berhenti di salah satu warteg yang tak jauh dari tempatku mengajar.

Aku mencuci kedua mataku dengan melihat berbagai makanan disajikan di nampan-nampan. Tak hanya membeli untuk sarapan, aku pun membeli dua porsi untuk makan siang dan malam. Ya, nasib anak rantau, yang malas untuk memasak.

Setelah mengisi kekosongan di dalam perut, aku pun kembali ke rumah. Di tengah perjalanan, aku tak pernah melihat hal ini sebelumnya, karena tepat di depan mataku, aku melihat seorang kakek yang terjatuh membawa dua bakul berisikan jeruk. Saat itu, di sana hanya ada aku, sehingga dengan inisiatif aku langsung memparkirkan motorku dan membantu kakek tersebut untuk berdiri.

Melihat pula buah yang bulat berwarna oranye tersebut menggelinding bertaburan di tengah jalan pun, membuat aku dengan sigap mengambil buah-buah tersebut dan kembali memasukannya ke dalam bakul. Aku kembali dan melihat raut wajah kakek yang sudah memiliki banyak keriput dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Dengan suara yang sudah serak dan hampir habis, kakek tersebut mengucapkan, “Terima kasih, nak.”

Aku menghabiskan beberapa menit untuk berbincang dengan kakek tersebut. Sang kakek menceritakan banyak hal, mulai dari kenapa ia bisa berjualan jeruk hingga alasan ia terjatuh. Mendengar bahwa kakek tersebut belum makan dari kemarin, aku pun memberikan makanan yang dibeli di warteg dan memberikannya.

Walaupun hanya satu porsi, aku harap hal tersebut bisa membantunya mengisi kelaparan di tengah teriknya matahari. Setelah aku berpamitan, hingga malam ini, saat aku menuliskannya, aku terus memikirkan kalimat-kalimat yang beliau ucapkan. Satu hal yang membuatku tertampar oleh ucapan kakek tersebut.

Aku sangat ingin mendirikan sebuah rumah untuk tempat tinggal para  tunawisma.

 

“Nak, kami tunawisma, tak memiliki pekerjaan tetap pun masih memiliki harapan untuk hidup dengan senang. Hidup ini hanya sekali, kakek tidak ingin menyia-nyiakannya dengan menangisi kenyataan dan pasrah. Kakek ingin agar kakek bisa membahagiakan keluarga dan mengangkat derajat dari orang-orang seperti kakek,” kata kakek itu.

Kejadian hari ini membuatku teringat kembali akan cita-cita saat masih kecil. Aku sangat ingin mendirikan sebuah rumah, untuk tempat tinggal para tunawisma. Tapi, cita-cita itu dari waktu ke waktu mulai terlupakan. Dan aku rasa, Tuhan mengingatkanku kembali. Namun, bagaimana caranya?

Diary Naya. Minggu, 25 Maret 2018

Sudah lama sekali aku tidak kembali menulis di buku ini. Hai! Ini aku, Naya yang baru. Aku bukan lagi seorang pengecut yang bermalas-malasan dan tidak tahu cara mencari solusi dari setiap pertanyaanku. Setelah kurang lebih sepuluh bulan, aku baru kembali memiliki cukup waktu luang untuk menulis. Di kesempatan ini, aku ingin membagikan hal yang membuatku menjadi orang yang baru dengan kehidupan baru.

Oh ya, aku sudah tidak lagi mengajar anak-anak SMA yang akan berjuang memasuki dunia perkuliahan. Aku sudah tidak punya cukup waktu untuk melakukannya. Karena saat ini, statusku menjadi salah satu seorang pendiri dan pengelola panti, sekaligus mahasiswa yang masih berjuang dengan skripsinya.

Aku pikir, Tuhan benar-benar mewjudkan cita-citaku saat kecil itu. Ceritanya mungkin cukup rumit, tetapi mengukir kehidupan di umurku yang menginjak dua puluh empat tahun.

akhirnya, Senin, 25 Februari 2018 terbangun panti bernama “Satu Kehidupan, Beribu Harapan” sebagai tempat tinggal para tunawisma.

Singkatnya, berawal ketika aku dipilih menjadi ketua organisasi relawan di kampus. Ya tentu saja, aku menolak. Si Naya ini mengurus diri sendiri saja masih tidak benar, bagaimana mengurus orang lain? Namun, karena keterpaksaan dan tak bisa menolak, akhirnya tetap saja aku menerimanya.

Di sana aku belajar untuk membantu orang-orang yang tengah sakit dan tidak mendapatkan bantuan. Paling banyak, kami melakukannya di daerah terpencil. Satu tahun, dua tahun, dan tiga tahun berlalu, aku pun dinobatkan sebagai ketua relawan yang sukses memimpin anggotanya karena berhasil membantu banyak jiwa.

Tentu aku sangat senang saat itu. Ditambah lagi, ada seseorang yang mengajakku bekerja sama membangun panti untuk tunawisma. Ya, itu cita-citaku. Awalnya semua berjalan dengan lancar. Kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Hingga suatu hari, di hari terakhir pembagian dana, dia kabur.

Oknum tak bertanggung jawab mengambil uangku yang digunakan untuk pembangunan panti. Uang tersebut bukan dalam jumlah yang kecil, hingga membuatku frustasi. Setiap malam aku menangis, mengasihani diri sendiri. Sejak saat itu aku tidak mempunyai niat untuk kembali membangun cita-cita itu.

Hingga suatu hari, entah mengapa aku ingin pergi ke tempat dagang kakek yang pernah aku bantu. Ia menceritakan tempat biasa untuk berjualan. Namun, sampai di sana aku tidak menemukannya. Aku mencari informasi, sampai akhirnya menemukan keluarga sang kakek.

Sambil menangis, istrinya menceritakan bahwa kakek telah menghembuskan nafasnya beberapa bulan yang lalu. Kini, istri dan anaknya berusha bertahan hidup seadanya dan putus harapannya. Aku terpukul. Aku menyalahkan diriku sendiri. Jika saja panti tersebut dibangun, mungkin bisa menyelamatkan kakek.

Setelah berpikir panjang, aku bertekad memulai membangun panti tersebut sendiri. Aku berjanji kepada keluarga dari kakek itu, bahwa aku akan membantunya dan mendirikan impian kakek. Pagi hingga malam aku mencari dana, dan menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk membangun sebuah panti. Sampai akhirnya, Senin, 25 Februari 2018 terbangunnya panti bernamakan “Satu Kehidupan, Beribu Harapan” yang dibangun sebagai tempat tinggal para tunawisma.

Kini panti tersebut telah berdiri selama satu bulan. Walaupun banyak rintangan, akhirnya cita-cita ini terwujud. Sambil menegakkan kepala melihat papan panti, aku dapat merasakan kakek pun turut berbahagia dan ikut tinggal bersama kami semua di dalamnya.

Gracellea Puehwan Limjoy