Kata mereka untuk apa berharap pada yang tak pasti. Aku tersenyum kecil, siapa juga yang berharap pada yang tak pasti.
Aku berharap pada yang pasti, pasti dia tak akan kembali.
Namun, beberapa rasa selalu muncul tanpa aba. Sesekali ia datang dan membawa beberapa bayang.
Contohnya tadi pagi, saat aku mengendarai sepeda melewati jalan yang pernah kami datangi. Tak ada angin dan tak ada hujan, aku berpapasan dengan manusia dengan sorot mata yang mirip dengannya. Seketika matanya seperti mengunci mataku untuk menatap nya lebih dalam.
Pandangan yang hanya beberapa detik namun terasa seperti waktu membeku. Lebih tepatnya, aku tak ingin beranjak sedetik pun dari sorot mata yang aku rindukan itu. Sorot mata yang lembut namun fokus, hangat walau alisnya bertaut.
Sayangnya, mataku terlalu cepat mengedip hingga sosoknya sudah berlalu begitu saja. Tatapannya mengenai tepat di relung hati yang masih saja menanti. Rasanya sakit, seperti melihat apa yang kita inginkan tak bisa kita gengam. Ada sedikit harap yang meyakini itu dia, namun wajahnya tak terlihat jelas karena sosoknya menggunakan masker.
Aku kembali mengayuh sepeda, menyadarkan diri bahwa itu bukan dia. Dia yang lama pergi dan sudah pasti tak akan kembali.
–
Namun di beberapa hari selanjutnya aku berpapasan dengan sosok seperti dirinya lagi, manusia dengan tampilan yang sangat mirip dirinya. Sosoknya mengendarai motor saat semua pengendara berhenti sewaktu lampu merah. Dia berada di posisi sebelah kiri tepat dibelakang zebra cross dengan menggunakan jin hitam, kaos hitam, dan tak lupa waist bag merah yang identik dengannya.
Namun sayang kali ini wajahnya tertutup helm fullface. Sepersekian detik aku membeku, merasa dejavu dengan kejadian sebelumnya, namun kali ini benar-benar mirip dengannya. Lampu merah kali ini terasa lama bagiku karna aku bisa menatapnya lebih lama lagi.
Sesampainya dirumah, aku membuka snap whatsapp dan namanya ada diposisi paling atas. Aku mengernyitkan dahi, padahal dia jarang sekali membuat snap whatsapp sampai ku kira aku di blokir. Ketika ku buka, terpampang foto motor yang tadi aku lihat dilampu merah namun dengan background parkiran. Helm fullface nya pun bertengger tepat di jok motor tersebut. Ternyata benar yang tadi ku lihat itu dia
–
Ada rasa ingin menyapa namun hati terlalu banyak luka. Hal yang tadinya istimewa sudah ditimpa dengan setumpuk kecewa. Rasanya seperti ambivalen. Ambivalen adalah kondisi dimana seseorang mencintai dan membenci sekaligus terhadap orang yang sama. Ya benar, aku mencintainya sekaligus membencinya.
Jika ada yang bertanya apa yang membuatku mencintainya, bisa ku jawab dengan beribu paragraf. Namun jika bertanya apa yang membuatku membencinya, bisa ku jawab dengan satu kalimat yaitu “dia hanya ingin diriku sebagian, tak ingin seluruhnya”.
–
Aku mencintaimu layaknya kayu dimakan api,
tahu akhirnya akan menjadi abu, tapi tak pernah berhenti menanti.