Di meja itu, meja yang bertuliskan dokter Indrawati dalam ruang tenang berlampu redup bersuarakan gelembung aquarium, tempat seorang anak menemukan tempatnya untuk bercerita. Dia Jefri, remaja berusia 20 tahun yang mengidap skizofrenia sejak kecil akibat trauma masa lalunya.
Setiap dua bulan sekali Jefri mengunjungi dokter Indra dan bercerita tentang perkembangannya, dia cukup dekat dengan dokter Indra dan nyaman saat bercerita dengannya, Jefri memiliki sifat yang introvert dan sulit bergaul dengan sekitar karena kelainan yang dideritanya sampai-sampai hanya sedikit orang yang bisa diterimanya termasuk dokter Indra.
Di meja itu, Dokter menanyakan dua pertanyaan yang biasa ia tanyakan kepada Jefri “bagaimana kabarmu Jefri? Apa yang kamu rasakan belakangan ini?”. Jefri bercerita banyak kala itu dan mengatakan perlahan-lahan emosinya sudah bisa ia kontrol dan beberapa delusi sudah tidak ia rasakan lagi, sebuah perkembangan yang cukup signifikan mengingat dua tahun yang lalu tepatnya Jefri dirundung beberapa kejadian yang membuatnya trauma berat.
Rasanya sudah dua tahun semenjak kematian kedua orang tua Jefri. Sejak kecil Jefri hidup bersama kedua orang tuanya dalam rusun yang kumuh daerah Jakarta Timur, ayahnya bekerja sebagai mucikari dan ibunya bekerja sebagai penjual minuman keras. Ayah Jefri adalah seorang pemabuk.
Suatu hari Jefri tidak sengaja menjatuhkan botol minuman ayahnya yang sedang mabuk. Sontak ayah Jefri pun marah dan memukul anaknya menggunakan sabuk kulit tebal, semakin ia menangis semakin kencang pula ayahnya memukul. Ibunya seolah tidak perduli akan itu.
Ia tetap menghitung uang hasil berjualan miras hari ini, Jefri yang kala itu berusia 18 tahun hanya bisa menunduk dan mendengarkan ocehan ayahnya yang berkata “Dasar anak bajingan! anak tak berguna! seolah kehadiranmu membuat dunia ini lebih kacau!” sambil menunduk ia terdiam. Saat kejadian itu terjadi dari luar rumah seorang gadis remaja cantik bernama Verronika menyaksikan semuanya.
Verronika adalah teman Jefri sejak kecil. Ia dan keluarganya sudah cukup lama tinggal di rusun yang sama dengan keluarga Jefri tepatnya sudah 20 tahun keluarganya tinggal di rusun itu. Sebagai tetangga, Verronika sering kali mendengar suara keributan dari kamar keluarga Jefri. Kali ini sudah kedua kalinya Verronika melihat secara langsung Jefri dipukuli ayahnya karena hal yang sepele.
Ia hanya bisa terdiam dan tidak bisa mencampuri urusan keluarga Jefri. Saat suasana sudah kondusif Verronika mengajak Jefri keluar bermain. Verronika dan Jefri sering menghabiskan waktu bersama sejak kecil, hal yang paling disukai keduanya adalah melihat langit sore di rooftop rusun kumuh itu dan melihat gedung-gedung kota sambil bermimpi suatu saat akan memiliki salah satu dari gedung itu.
Saat Verronika sedang bercerita tentang impiannya, Jefri malah terfokus melihat wajah Verronika yang cantik berseri yang tertiup angin. Verronika berkata “Aku ingin sekali kita berdua keluar dari tempat kumuh ini. Suatu saat Jeff suatu saat kita akan meninggalkan tempat ini dan memulai hidup yang lebih baik lagi,”. Jefri hanya tersenyum dan mengangguk, dimatanya seolah mengatakan “Aku tidak ingin apa apa lagi, aku hanya ingin bersama Verronika”. Berdua mereka menikmati indahnya matahari yang tenggelam dimakan malam.
Malam itu malam saat Jefri kesulitan untuk tidur karena menahan lapar, Jefri memeluk perutnya sendiri sambil meringkih dan berkata “lapar aku sangat lapar sekali!”. Kelaparan itu disebabkan karena orang tuanya enggan memberi makan Jefri sebagai hukuman karena dia tidak menghabiskan dagangannya.
Sebagai anak tunggal, Jefri bekerja dengan berjualan tisu di perempatan lampu merah. Tengah malam itu Jefri keluar kamar sambil berharap bisa menghilangkan rasa laparnya dengan berjalan-jalan mengelilingi rusun. Di tengah langkahnya, Jefri bertemu dengan Verronika yang membawakan sebungkus nasi goreng dan memberikannya kepada Jefri sambil tersenyum.
Jefri terkejut dan langsung menerimanya, sambil duduk ia dengan lahap memakan nasi goreng pemberian Verronika, “Aku tahu kamu pasti belum makan seharian karena daganganmu belum habis. Tadi sore aku melihatmu pulang sambil membawa tisu yang belum terjual itu sebabnya aku membelikanmu nasi goreng ini,”. Sambil tersenyum Jefri melihat kearah Verronika dan berterimakasih kepada dia, pasalnya Verronika bak malaikat penolong untuk Jefri.
Jefri tidak mengerti benar atau salah, pemikiran yang ditanamkan orang tuanya sejak kecil hanyalah patuh, patuh dan patuh.
Keesokan harinya ibu Jefri keheranan menghitung uangnya yang tiba tiba saja berkurang, semalam sebelum tidur ia sudah memastikan jumlah yang didapat dari berjualan miras. Ibu dan ayah Jefri sontak menuduh Jefri mencuri uang tersebut. Seolah mengiyakan hal tersebut Jefri hanya menunduk dan terdiam menerima makian, pukulan dari kedua orang tuanya.
Jefri tidak bisa melawan kedua orang tuanya, sejak kecil ia sudah ditanamkan untuk tidak melawan orang tua dan menerima segala hukuman. Jefri tidak mengerti benar atau salah, pemikiran yang ditanamkan orang tuanya sejak kecil hanyalah patuh, patuh dan patuh. Hari pun berganti Jefri pulang lebih cepat dari biasanya sebab barang yang ia jual sudah habis lebih cepat.
Sesampainya di rumah ternyata rumah dalam keadaan kosong, ayahnya sedang bekerja di kelab sebagai mucikari dan ibunya sedang berjualan miras di warung belakang rusun. Di rumah, Jefri hendak membersihkan diri setelah lelah berjualan. Ia membuka lemari dan hendak mengambil handuk. Tanpa sengaja pintu lemari yang ia buka menyenggol kardus yang berada di atas lemari, kardus itupun terjatuh dan banyak dokumen berserakan.
Jefri takut sekali dan langsung membereskan dokumen yang berserakan. Dua dokumen tersisa di lantai. Saat membersihkannya, dokumen pertama adalah akta kelahiran dirinya, dan dokumen kedua membuat Jefri sangat terkejut. Sambil bergetar memegang dokumen tersebut ia membacanya, ternyata itu adalah surat adopsi yang bernamakan Jefri Dwi Sasono.
Masih dalam rumah susun itu Jefri membaca dokumen tersebut, sambil bergetar ia memegang dokumen itu dan tertunduk lesu menyadari fakta yang sangat mencengangkan. Jefri tak tahu apa yang harus ia ekspresikan. Apakah harus merasa senang? Jefri tertawa dengan keras terbahak-bahak menyadari orang tuanya saat ini bukanlah orang tua aslinya.
Tak lama Jefri merasa takut dan menanyakan siapa sebenarnya dirinya? Jefri menangis sejadi-jadinya dan merasa marah akan ketidakadilan dunia ini. Perlahan, ia keluar dari rumah dengan tatapan kosong.
Semua sudah tampak tidak keruan dalam kondisi ini. Dari jauh ia melihat Verronika yang menenteng tas belanjaan. Dia, wanita yang Jefri sukai dan selalu Jefri damba-dambakan menjadi kekasihnya, “Jangankan menjadi kekasihnya. Impianku hanyalah bisa duduk berdua di atas rooftop rusun ini bersamanya,”.
Jefri mengikuti Verronika sampai masuk kedalam rumahnya secara diam-diam. Verronika tersadar dan terkejut saat sudah di dalam rumahnya, pasalnya ia mengetahui ada orang asing yang masuk kerumahnya. Sambil berteriak dia berkata “Siapa kamu? ke- kenapa bisa kamu masuk kesini?!” sambil menghirup nafas Verronika melanjutkan perkataannya.
“Tunggu! aku tahu kamu, kamu Jefri kan? dari blok sebelah?!”, sambil ketakutan Verronika menatap Jefri. Jefri hanya melontarkan senyum sambil berkata “Verronika, seolah hidupku sudah terlalu buruk, ayo temani aku di rooftop rusun ini,”. “Apakah kau lupa saat saat itu?” Verronika memasang wajah yang kebingungan karena dia tidak pernah mengenal Jefri dan hanya tahu dia sebagai tetangganya. Akhirnya percakapan disudahi senyuman Jefri yang entah apa artinya.
Sekeluarnya Jefri dari rumah Verronika, Jefri membawa sebilah pisau yang entah ia dapat dari meminjamnya atau mencurinya dari rumah Verronika. Tidak ada yang tahu bagaimana ia mendapatkannya. Sambil membawa pisau itu, ia berjalan dengan penuh emosi menuju rumah seorang anak penjual tisu.
Dia selalu melihat anak itu dianiaya oleh kedua orang tuanya. Jefri tahu bagaimana sakitnya dipukul, dicambuk menggunakan sabuk. Sambil marah Jefri mendobrak pintu rumah si lelaki mucikari dan wanita penjual miras itu dan menusuknya dengan kejam. Semua warga di rusun tersebut seketika keluar rumah dan berlari menuju rumah tersebut karena mendengarkan teriakan yang begitu keras.
Warga rusun terkejut melihat darah yang berceceran dan sontak mengeroyok Jefri secara membabi-buta karena dia menenteng sebilah pisau yang berlumuran darah. Mereka memukuli Jefri dengan brutal sampai anak muda itu pingsan dan dalam hatinya berkata “Aku tak mengerti apa-apa, kenapa aku bisa dipukuli seperti ini?,”. Jefri terkulai lemah dan melihat aquarium ikan di depannya dan berkata dalam hatinya “Aku selalu suka suara gelembung aquarium ikan”, sebelum akhirnya dia pingsan.
Dua tahun berselang setelah kejadian itu kehidupan berangsur-angsur membaik, Jefri kembali ke kehidupan biasanya. Kembali ke rutinitasnya semula, bertemu dengan dokter ahli kejiwaan langganannya. Sesampainya di ruangan dokter itu, ruangan yang sangat ia sukai, ruangan yang damai yang menenangkan pikirannya dengan lampu redup dan suara gelembung aquarium.
Di meja itu, meja yang bertuliskan dokter Indrawati tempat seorang anak bercerita tentang masalah jiwanya, anak yang mengidap skizofrenia sejak kecil akibat trauma masa lalunya, anak yang sopan yang selalu menanyakan dua pertanyaan kepada dokter itu sebelum sesi tanya jawab.
“Bagaimana kabar Anda, dok ? Sedang sibuk apa belakangan ini?”, dengan senyum dokter itu menjawab “baik-baik saja Jef, banyak yang menarik belakangan ini”. Dokter itupun selalu menanyakan dua pertanyaan pada anak tersebut “Jefri bagaimana kabarmu? apakah delusimu masih sering kambuh?”, Jefri tersenyum menunduk dan menengok dengan senyuman yang entah artinya apa “Aku tidak tau, apakah ini hanya delusi atau realita, yang kutahu setengah dari ceritaku atau mungkin ceritaku ini hanyalah delusi”. Dia adalah Jefri pengidap skizofrenia.