Kau memiliki mata indah berwarna biru langit. Kau selalu duduk di taman mati dipinggir kota. Mengapa setiap kali melihatmu, keberanian untuk menghampirimu hilang sepenuhnya? Entah karena aura cantikmu yang membuat kepercayaan diriku hilang, atau memang hanya aku yang terlalu culun untuk sekedar berkenalan.
Saat keberanianku datang, mengapa kau bersedih? “Terakhir kali aku ke tempat ini, yang ku ingat hanya taman indah yang dipenuhi bunga matahari. Aku suka bunga matahari, tapi mengapa orang itu mencabutnya sedikit demi sedikit sampai tak tersisa?”.
Kau adalah seorang gadis yang sedang rapuh. Gadis yang tak tau harus kemana lagi mencari kebahagiaannya. Salah satu sisa kebahagiaan yang kau miliki telah diambil oleh orang lain. Ternyata, kesedihan itu yang selalu membawamu ke tempat usang ini.
Dengan keberanian yang tersisa, aku menawarkan diri untuk menata kembali taman kecil di halamanku, bersamamu. Ditandai dengan senyum manis di wajahmu, terlihat kalau kau juga tertarik akan ide itu.
Seiring berjalannya waktu, perlahan kau terlihat nyaman saat berada di taman baru yang telah kita tata. Kau selalu menyelipkan senyum tipis yang manis setiap kali kita bertemu. Dan aku, selalu suka melihatmu yang terlihat tulus menjaga dan merawat apa yang kita tanam.
Sampai suatu hari dimana orang yang telah merusak tamanmu datang ke halaman kita tanpa sepengetahuanku. Ia datang membawa sisa bunga dari tamanmu dengan kondisi layu dan hampir mati. “Kenapa dengan mudahnya kau mencabut bunga yang kita tanam untuk seseorang yang hanya bisa merusak taman indah yang dulu kau miliki?”.
Rasa sesak mendominasi ketika mengetahui apa yang telah kau perbuat. Kau mencabut bunga yang kita tanam sedikit demi sedikit untuk menggantikan bunga yang hampir mati di taman orang lain.
Di taman seseorang yang jelas membuat tamanmu mati. “Kenapa akhirnya aku yang menjadi sama seperti dirimu saat pertama kali kita bertemu?”.
Lama tak dapat kabar darimu. Sejak hari itu, kau tak pernah lagi terlihat di halamanku. Entah dimana kau sekarang, aku selalu menunggu di halamanku yang usang ini. Sampai akhirnya aku sadar kalau kau tidak akan kembali lagi ke halamanku.
Tak ada yang aku sesali. Justru, aku bahagia pernah bertemu denganmu walaupun di akhir cerita ini, aku yang harus merasakan apa yang kau rasakan di awal pertemuan kita.
Bedanya, tak ada kau yang menyiapkan halaman kosong untuk kita tata bersama. Terima kasih, kau adalah obat sekaligus luka untukku. Kapanpun kau ingin kembali, pagar halamanku selalu terbuka.