Memori Bersamamu, Ayah

0
3444

Hujan gerimis membasahi jendela kamar saat Mia duduk termenung di atas meja. Matanya memandang kosong, tetapi pikirannya jauh terbawa ke masa lalu. Setiap tetesan hujan mengingatkannya pada sosok ayah yang begitu dia rindukan.

Ayahnya, seorang pria tegap dengan senyum hangat yang selalu menghiasi wajahnya. Mia merindukan saat-saat ketika mereka berdua duduk di bawah pohon rindang, mendengarkan suara gemericik air sungai yang mengalir di dekat rumah mereka. Ayahnya akan bercerita tentang petualangannya di hutan, mengajarinya kebijaksanaan hidup, dan memberikan nasihat yang berharga.

Mia memutar otaknya, berusaha mengumpulkan jejak-jejak kenangan yang ada. Dia teringat akan setiap momen yang dia habiskan bersama ayahnya. Tarian yang mereka lakukan di tengah ruang tamu, saat ayahnya berusaha mengajarinya gerakan-gerakan yang kikuk. Mia tersenyum dalam kerinduannya yang mendalam.

Saat ini Mia sedang memutar musik pop dari penyanyi legendaris Judika, “Jikalau kau cinta”. Lirik yang selalu mengingatkannya pada sosok ayah, dimana ia menyesali karena tak mengabadikan banyak momen bersama ayahnya.

Jangan sampai hingga waktu perpisahan tiba</em
Dan semuanya yang tersisa hanyalah air mata

Hanya air mata

Mungkin saja cinta kan menghilang selamanya 

Dan semuanya yang tersisa hanyalah air mata

Hanya air mata, cinta.

Ia memejamkan matanya, menarik nafas panjang. Hatinya bergetar, ingin rasanya ia menumpahkan semua air matanya, tapi tanpa disadarinya air mata itu luruh dengan sendirinya. Namun, Mia menyadari waktu tidak pernah berhenti.

Ayahnya telah pergi meninggalkannya saat Mia masih muda. Kerinduan yang terus membelenggunya seolah menjadi teman setia. Dia merindukan belaian lembut ayahnya yang mampu menghilangkan semua ketakutan.

Pada suatu hari, Mia menemukan surat tua yang disimpan di lemari. Surat itu ditulis oleh ayahnya sebelum meninggal. Mia membukanya dengan hati yang berdebar. Ayahnya menulis betapa bangganya dia pada Mia, dan betapa ia ingin bisa melihat putrinya tumbuh dewasa.

Dalam setiap baris surat itu, Mia merasakan kehadiran ayahnya. Dia merindukan suara lembut ayahnya yang tidak akan pernah lagi dia dengar. Air mata mengalir di pipinya, tetapi dalam kepedihan itu, ada kehangatan yang mengalir dalam hatinya.

Mia memutuskan untuk menyimpan surat itu di dekat tempat tidurnya. Setiap malam sebelum tidur, dia akan membacanya lagi dan lagi, seolah-olah ayahnya sedang berbicara langsung padanya. Kerinduannya semakin dalam, tetapi juga memberinya kekuatan dan keberanian untuk melanjutkan hidupnya.

Malam itu, Mia menutup buku harian lamanya dan menatap langit malam yang berselubung awan. Dia tersenyum, menyadari bahwa meskipun ayahnya tidak lagi ada di sisinya secara fisik, jejak kenangan mereka tetap hidup dalam hatinya.

Dia tahu bahwa kerinduannya akan selalu ada, tetapi dia juga tahu bahwa cinta ayahnya akan terus memberinya kekuatan untuk menghadapi hidup dengan penuh keberanian dan kebahagiaan.

Yufika Arli