“Senyum, ya bagus kerja bagus Li kamu cantik. Kamu bisa kan hari ini. Semangat Li,” ujarku pada diri sendiri di depan cermin sambil meminum teh hangat sebagai rutinitasku di pagi hari sebelum berangkat sekolah.
Aku masih mengenakan seragam abu-abu. Berangkat ke sekolah dan tiba semenit sebelum bel berbunyi. Dahlia Renjani si cerewet dan manja mungkin teman-temanku menganggapku seperti itu. Lucu sekali namun aku tidak menyangkal panggilan tersebut karena itulah kepribadian yang ingin aku tunjukkan pada mereka.
“Dahlia, maju ke depan,”. Aku terkejut namun tetap maju untuk mempresentasikan tugas yang diberikan bu guru dengan canggung dan terburu-buru karena perasaan tidak tenang yang terus menemani.
Aku menyelesaikan presentasiku bertepatan dengan bunyi bel tanda istirahat dimulai dengan tergesa-gesa aku menghampiri temanku dan mengadu “Piaaaaa, takut banget ih bu Tuti serem banget tahu gak sih. Aku tadi presentasi pelajaran beliau, tapi beliau diem saja gak ada senyumnya sama sekali jadi gak bisa memprediksi bener gak ya presentasi aku. Mana semalem aku cuman tidur 2 jam ih.”
Setelah aku menjelaskan panjang lebar mengenai diriku, Silfia, temanku sekelas menyodorkan sebungkus permen coklat. “Aku sudah tahu kamu hari ini pasti akan seperti ini. Nih makan jangan membayangkan yang tidak-tidak. Jangan berlebihan kamu sudah berusaha maksimal serahkan sisanya kepada Tuhan,”. Senyumku merekah sambil memeluk Silfia, betapa beruntungnya aku berteman dia.
“Belum cukup, gak bisa gini terus, bodoh masa seperti ini saja terlewat, bodoh, ceroboh, gak guna,”. Aku menangis dengan mengumpat pada diriku sendiri, memandangi secarik kertas yang tertera angka 99 di kanan atas dengan tinta berwarna merah.
“Tidak ada yang tahu, tidak ada yang boleh tahu. Kamu bisa, ayo belajar lagi kedepannya jangan sampai ada yang kurang. Jangan ada yang terlewat, harus sempurna. Kalau kamu nangis besok pagi mukamu akan bengkak ayo berhenti. Nangis tidak akan menyelesaikan masalah,”.
Aku menenangkan diriku sendiri di depan cermin riasku sambil mengompres seluruh mukaku untuk menghambat pembengkakan akibat tangisan semalaman yang akan terjadi esok hari. Aku belajar untuk melupakan emosiku yang meluap, aku mengantuk saat aku lirik jam sudah menunjukkan pukul 01.00 WIB aku putuskan untuk terjun ke dalam dunia mimpi sebelum hari bertambah larut.
Hari minggu yang tenang, aku berada di pantai dekat rumahku termenung meratapi indahnya matahari yang terbit sambil meminum teh hangat yang aku bawa dari rumah. Terlintas hal-hal selama seminggu yang aku alami tamparan yang mama berikan dengan perkataannya yang membekas.
“Sepupu kamu dapet beasiswa di luar negeri, saya malu sekali tidak bisa membalas dia. Kamu anak siapa sih tidak ada yang bisa dibanggakan sama sekali malu-maluin saja bisanya seperti papa kamu. Tahu tidak sih saya tuh capai dan pusing. Sudahlah percuma saya ngomong sama kamu anak tidak berguna”, kata-kata mama terngiang dibenakku.
Setiap mama pulang kerja apapun itu menjadi jembatan untuk menjadi umpatan yang diutarakannya padaku untuk mengekspresikan kekesalannya. Papa? Apakah papa anggap aku ada?
Kenapa papa teman-teman Lia menjadikan teman-teman Lia tuan putrinya? Apakah Lia tuan putrinya papa? Oh iya ya papa kan ga sayang sama Lia, berdekatan dengan Lia saja sepertinya enggan.
Kenapa sih orang tua Lia punya anak, kalau mereka tidak sayang sama anak mereka. Aku menertawakan hidupku, mau sampai kapan seperti ini menangispun aku tidak bisa. Bulan sudah menggantikan matahari, aku melihat ponsel yang aku tinggalkan seharian ini tidak ada pesan masuk.
Sudah aku duga berteman denganku hanyalah formalitas, menakutkan sekali cara kerja dunia ini. Halloooo… apakah ada yang benar-benar sayang denganku? Sudah percuma tidak akan ada yang menanggapi.
Aku terkejut melihat surat pembelian racunku berada di tangan Silfia.
Keesokannya pada saat jam istirahat tiba “Woi Dir, kamu sadar gak sih Dahlia aneh banget siapa yang mau temenan sama dia udah sok cantik, cari perhatian terus ke guru-guru godain anak laki-laki, dih murahan. Kasihan banget Silfia temenan sama Dahlia pasti capek ngadepin kekanak-kanakan Dahlia ewhh,”.
Aca yang sedang bergosip dengan Dira di toilet terdengar ketika aku dan Silfia hendak memasuki toilet. “Hahahaha iya lagi kurang kasih sayang banget mana si Dahlia cerewet banget bikin risih apalagi oversharingnya, emang kita peduli iya gak,”.
Aku hanya bisa tersenyum ketika memasuki toilet namun tidak dengan Silfia yang hendak memarahi Aca dan Dira. “Gak usah pi, semua orang bebas berpendapat,”. Silfia mengurungkan niatnya untuk memarahi kedua orang yang sudah keluar dari toilet itu.
“Lia, aku pinjem buku catetan kamu ya kemarin aku ketinggalan materi bu Tuti,”. Silfia menghampiri diriku yang sedang minum teh dari termos yang ku bawa dari rumah. Aku hendak menuju kantin sekolah. “Ambil saja di tasku,” jawabku.
Silfia mengangguk dan aku melanjutkan perjalanan menuju kantin. Sepulang sekolah Silfia mengajakku berbicara setelah bersifat aneh “Kamu bisa jelaskan apa ini?”. Aku terkejut melihat surat pembelian racunku berada di tangan Silfia.
“Kenapa kamu bisa menemukan itu? Dari mana kamu dapat?” tanyanya membuatku panik. “Tidak penting aku dapatkan ini dari mana. Untuk apa kamu beli ini? Tidak mungkin kamu beli ini tanpa alasan tolong berikan jawaban yang jujur. Aku akan tahu kamu bohong. Tolong Lia jangan bohong padaku katakan saja sejujurnya aku tahu sifatmu,” kata Silfia dengan nada bergetar.
“Haha…” aku tertawa. Tawa yang pilu dan canggung. “Racun itu untuk diriku sendiri pi, aku masukkan sedikit demi sedikit ke dalam tehku agar kematianku tidak seperti bunuh diri. Orang mungkin akan sedih namun aku yakin. kurang dari setahun mereka akan melupakanku. Bahkan kamu juga pasti sudah mendapat banyak teman yang lebih baik dari aku. Tidak ada yang sayang sama aku pi.
Orang tuaku saja mungkin tidak menginginkan aku hidup untuk apalagi aku berjuang dunia ini terlalu menakutkan. Enak ya punya banyak dukungan sedangkan aku? Mereka hanya tahu menuntut aku untuk ini dan itu, apakah mereka memikirkan perasaanku?”, jawabku panjang. Senyum yang selalu ku tampilkan memudar digantikan oleh ekspresi datar dan sinis ekspresi yang selalu ku gunakan ketika berada di rumah.
“Lia… sayang, mama tidak tahu kamu semenderita itu sayang. Maafin mama yang mentingin keinginan mama sendiri. Maafin mama sayang.” Aku terkejut melihat kehadiran mama yang berada di belakang kursi tempatku duduk.
Mungkin karena terburu-buru datang kemari aku sama sekali tidak menyadari bahwa kedua orang tuaku tepat berada di belakangku dari awal pembicaraanku dengan Silfia. “Nak? Maafin papa ya selama ini papa buta dan mementingkan ego papa sendiri. Melupakan ada seorang tuan putri yang menunggu papa. Sekarang kamu boleh minta apa aja sama papa ya sayang,”. Papa memelukku segera, tangisanku membasahi baju yang dikenakan papa, pelukkan papa yang selalu aku dambakan.
“Terima kasih pah, terima kasih mah,” jawabku. Terlalu banyak hal yang ingin aku utarakan, kekesalan hingga keinginan yang selama ini aku pendam. Namun semua itu tertutupi oleh rasa syukur saat ini dan harapan papa dan mama akan berubah, terima kasih Silfia.
“Pia, astaga demi apapun aku sudah muak melihat kelapa tolong jauhkan aku dari kelapa. Sudah cukup papa dan mama memberikanku air kelapa setiap hari, kamu jangan ikutan juga lagian itu sudah terjadi 6 bulan yang lalu. Aku sudah bahagia tidak ada lagi alasanku untuk meninggalkan kalian yang menyayangiku,” kataku kepada sahabatku itu.
Enam bulan sudah berlalu tidak terasa semuanya sudah berakhir dan terganti dengan kasih sayang, mama tidak pernah lagi memarahiku, setiap papa pulang selalu menyempatkan dirinya berbincang denganku.
Memang benar tidak semua bisa diselesaikan sendiri, komunikasi adalah hal terpenting baru aku pelajari dan mengutarakan perasaan kita bukanlah hal yang salah. Aku takut, tidak ada cahaya di jalanku, sakit yang selalu menemaniku meronta menginginkan kebebasan. Hanya satu langkah, mengutarakan perasaanku semua terasa bebas dan terasa berjalan menuju cahaya.