Butiran air mata jatuh dan luruh di pipiku. Bibirku bergetar, dadaku berdebar. Dunia tampak kembali berubah menjadi kepingan kaca yang pecah berkeping-keping di mataku.
Apakah ini yang pantas aku dapatkan? Aku terlalu benci mengatakan ini, tetapi aku sudah benar-benar tidak sanggup. Sejak dahulu, permintaanku hanya satu dan tidak pernah berubah. Namun, entah mengapa Tuhan begitu enggan untuk mengabulkannya. Apakah di kehidupan sebelumnya aku telah melakukan dosa yang begitu besar hingga Tuhan dan dunia ini begitu benci padaku?
Hari ini, seperti biasanya, di kelas XII-5 aku duduk diam mendengarkan pelajaran sosiologi. Mungkin tubuhku memang berada disana, tetapi pikiranku entah sudah berjalan seberapa jauh. Dengan mata lebam yang ditutupi oleh sedikit tata rias akibat tangis pecah kemarin malam, aku menunduk melihat buku pelajaran yang terbuka.
Aku tertawa kecil setelah membaca salah satu kalimat. Kalimatnya di tuliskan seperti ini, “Jadi, kita harus mencintai satu sama lain agar dapat hidup dengan sejahtera.” Kemudian aku mulai berpikir, bagaimana caranya aku mencintai orang lain sedangkan aku sendiri belum pernah merasakannya? Sama saja seperti memberi tahu warna putih kepada orang buta, ia tidak akan mengerti, karena ia tidak pernah melihatnya.
Aku menghela nafas panjang dan mengusap wajah pelan. Aku sadar, “topeng” yang sejak dahulu aku gunakan sudah mulai luntur. Semuanya sudah hampir terbuka, hanya tinggal menunggu waktu yang menyuarakan.
Ah, tidak, aku harus tetap menjaga “topeng” ini. Aku tidak ingin semua orang mengetahui hal yang sebenarnya. Aku tidak mau, dan tidak akan pernah. Kamu tahu? Aku tidak pernah takut terhadap apapun, kecuali satu terhadap satu hal, yaitu takut memberitahukan apa yang aku rasakan kepada orang lain. Sekarang, apakah dimatamu aku adalah seorang pecundang? Jika ya, itu memang benar dan sangat benar.
Sepulang sekolah, aku kembali ke rumah tanpa ada satu orang pun di sana. Aku beristirahat di tempat tidur sambil melihat langit-langit. Jujur, ini adalah situasi terfavoritku. Di mana tidak ada orang-orang disekitarku, dan tidak ada hal apapun yang harus aku pikirkan. Namun, hal tersebut akan sirna ketika kedua orang tuaku telah berada di rumah.
Bagaikan rumah di dalam neraka, setiap hari pertengkaran terjadi di sini. Aku berbohong, jika mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Rasa bahagia telah hancur dan hilang ketika mendengar bahwa aku tidak diinginkan ada di dunia ini oleh kedua orang tuaku sendiri. Ya, aku tak sengaja mendengarnya langsung ketika aku masih kecil.
Keesokan harinya, aku pergi berjalan-jalan di sekitar rumah. Aku cukup menikmatinya. Ini menyenangkan bagiku. Beberapa waktu kemudian, aku duduk di sebuah kursi taman dengan sebotol air putih di genggamanku. Pandanganku tertuju pada sebuah keluarga dengan satu anak kecil yang sedang bermain.
Mereka terlihat bahagia, mungkin? Karena aku pikir, mungkin ada beberapa orang yang sama sepertiku. Menggunakan topeng kebahagiaan yang pada faktanya tidak ada kebahgaiaan, ya ‘kan? Mereka terlihat tertawa bersama, berbagi cerita bersama, makan bersama. Bolehkah aku merasakannya walaupun hanya satu kali? Bagaimana rasanya dicintai?
Minggu berganti minggu, akhirnya kelulusan sudah tiba. Aku akan mengambil kuliah di luar negeri tanpa sepengetahuan orang tuaku. Mereka memang tidak pernah menanyakan mengenai kuliahku, dan aku pun tidak mau mengungkitnya.
Di dalam pikiranku, yang hanya aku fokuskan adalah bagaimana caranya agar aku keluar dari lingkungan keluarga dan hidup bebas sendiri. Ya, sendirian. Pikirku, aku hanya butuh kebebasan dan kebahagiaan daripada kasih sayang yang mereka berikan. Karena, mustahil bagi mereka memberikan kasih sayang kepadaku.
Aku sudah membereskan semua bajuku untuk dibawa ke bandara besok. Aku akan meninggalkan semuanya, dan membuat kenangan terakhir di rumahku ini. Aku tidak akan membawa ataupun memakai topeng yang sudah ku kenakan selama ini.
Di sana, aku akan menjadi diriku yang sepenuhnya dan memulai kehidupan baru. Itulah yang kupikirkan dan rencanakan. Di malam hari, aku bertekad untuk memberitahukan perihal kuliah kepada orang tua. Aku pikir, mereka tidak akan peduli mengenai hal ini. Namun, ternyata aku salah. Mereka marah besar kepadaku.
“Kamu sudah merencanakan semuanya tanpa memberitahu kita? Apakah kamu gila? Kenapa kamu sangat ingin meninggalkan kami?” tanya ibu sambil meninggikan nadanya. “Apakah kamu sudah tidak sayang lagi kepada orang tuamu?” lanjut ibu.
“Sayang? Memangnya apakah aku pernah mendapatkan kasih sayang dari kalian?” sahutku. Aku menatap mata mereka dengan tegas. “Untuk apa tinggal dengan orang yang tidak ingin aku ada di dunia ini? Lebih baik aku pergi dan mencari kebahagiaan sendiri.”
“Kamu tidak pernah mengatakan hal ini sebelumnya.”
“Ya! Karena aku takut,” ucapku sambil membendung air mata. “Aku ingin hidup sendiri. Aku hanya butuh mencari obat dari luka-lukaku ini.”
Malam itu, menjadi malam yang panjang untukku dan kedua orang tuaku. Orang tuaku meminta maaf dan berjanji untuk tetap saling berhubungan dan memberikan kasih sayangnya walaupun jarak kita jauh. Aku tidak terlalu berharap untuk itu, dan kini aku sudah berada di dalam pesawat untuk lepas landas.
Beberapa tahun kemudian, aku sudah lebih baik. Aku memiliki banyak teman dan hubungan dengan kedua orang tuaku sudah membaik. Terpenting dan terutama pula, aku sudah tidak menggunakan topeng lagi dan pada akhirnya aku tahu bagaimana rasanya dicintai.